Berita Kampus

Laki-laki yang Menari Kerap Tuai Stigma, Dosen FIB Unmul: Kaji Ulang Konsep Gender

Menarinya Maba laki-laki dalam PKMMB 2023 dan tanggapan yang menyertainya

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: The Lantern

SKETSA —  Perhelatan Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) Unmul 2023 beberapa waktu lalu diwarnai oleh sejumlah kejadian yang menyita perhatian. Salah satunya ketika seorang mahasiswa baru (Maba) menarikan koreografi dari grup wanita asal Korea Selatan. Kejadian itu pun berhasil terekam dan kemudian diunggah di media sosial. Sontak, video tersebut menjadi ramai diperbincangkan.

Tak sedikit dari warganet yang memberi respons positif terhadap video tersebut. Sebaliknya, ada pula dari mereka yang melontarkan komentar negatif hingga muncul berbagai kontroversi. Sejumlah warganet berpendapat, aksi menari tersebut tak pantas dilakukan sebab alasan yang berkaitan dengan gender.  

Muhamad Aripudin, salah satu panitia dari PKKMB Unmul 2023 mengaku bahwa aksi menari itu semata-mata dilakukan sebagai hiburan belaka ketika jam istirahat tiba.

“Apa salahnya jika di saat Maba sedang suntuk lalu dihibur (dengan tarian)? PKKMB itu justru harus seru, karena ini acara penyambutan mereka sebagai mahasiswa baru,” ujar Aripudin ketika diwawancarai Sketsa pada Kamis (17/8) lalu.

Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2021 itu pun mengutuk komentar negatif yang dilontarkan oleh pengguna internet. Ia menilai jika menari merupakan sebuah bakat yang berhak dilakukan oleh siapa saja tanpa pandang gender.

Dance itu merupakan salah satu bakat, dan untuk memiliki bakat itu hak semua orang, tidak perlu mempermasalahkan gender,” sambungnya.

Indrawan Dwisetya Suhendi, Dosen FIB Unmul pun turut berikan pandangannya terhadap berbagai reaksi negatif dari video tersebut. Masyarakat yang kontra terhadap laki-laki yang menari menurutnya merupakan salah satu bentuk dari toxic masculinity.

Lebih lanjut, pandangan terhadap suatu pekerjaan yang harus dikotak-kotakkan berdasarkan gender mesti diubah, seperti halnya tarian yang dilakukan oleh laki-laki. Hal tersebut bisa saja  menjadi salah satu ajang untuk berekspresi.  

“Laki-laki menari, apapun tariannya, adalah ekspresi. Mungkin dia meluapkan kegembiraannya melalui menari. Apa yang salah dari itu?” tutur Indra pada Jumat (18/8) lalu.

Dalam perspektif gender normatif, tari memang dikenal sebagai sesuatu yang kerap berkaitan dengan perempuan. Namun Indra turut menjelaskan, seiring dengan perkembangan zaman, peran gender pun ikut mengalami perubahan. 

Contoh lainnya adalah pekerjaan koki yang identik dikerjakan oleh perempuan. Namun, dalam ranah kerja gender normatif, kini profesi tersebut sudah banyak diisi oleh para laki-laki.

Begitu pun sebaliknya, banyak pula pekerjaan lain yang masuk dalam kategori maskulin, namun digandrungi oleh para perempuan di masa kini.

“Pelan-pelan harus dikonstruksi ulang. Bahwa tari adalah seni mengolah tubuh, berkaitan dengan estetika. Semua manusia berhak mempunyai itu.”

Indra turut berpesan agar mahasiswa kembali menafsir ulang arti kata kodrat terhadap suatu stigma yang terjadi di sekitar, di mana menari bukanlah kegiatan yang hanya dikodratkan bagi perempuan, layaknya sepak bola yang tidak selalu dimainkan oleh laki-laki.

Mahasiswa yang disebut-sebut dipercaya sebagai agen perubahan pun diharapkan mulai memperbanyak literasi dan berpikir secara kritis dalam menghadapi pandangan yang berkaitan dengan stigma negatif pada gender.

“Peran gender itu semata konstruksi sosial budaya yang akan terus berubah seiring perkembangan zaman, teknologi, dan kekuasaan,” kunci Indra. (zrt/ner/tha/dre)



Kolom Komentar

Share this article