Berita Kampus

Kekerasan Seksual Kembali Terjadi, Mendesak Satgas Penanganan Kekerasan Seksual Hadir di Unmul

BEM FISIP bentuk tim khusus untuk kawal dan jamin keamanan korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh Menteri Kajian dan Strategis.

Sumber Gambar: Jalastoria.id

SKETSA – Pada Sabtu (26/2) lalu, BEM FISIP Unmul mengunggah surat keputusan pemberhentian Menteri Kajian dan Strategis (Kastrat) berinisial GAI secara tidak terhormat lantaran kekerasan seksual yang dilakukannya berdasarkan laporan korban kepada Menteri Gender pada 27 Januari.

Pelecehan itu dilakukan GAI saat korban bertandang ke indekos pelaku. Tak sampai di situ, ia mengirimkan video vulgar dari salah satu platform media sosial. Setelahnya, korban melaporkan kejadian ini kepada Menteri Gender BEM FISIP. Sementara dalam unggahan BEM FISIP, tercantum pula surat pernyataan dari pelaku yang saat ini menuai banyak tanggapan lantaran isi surat dinilai 'mentah' dan blunderReski selaku Presiden BEM FISIP pun mengaku isi surat tak sesuai dengan apa yang seharusnya disampaikan. Hadir konflik di balik surat pernyataan tersebut. 

“Kalau dari BEM FISIP sendiri itu sampai pada tahapan pendiskusian pemberhentian dia saja sebagai Menteri Kajian dan Strategis, untuk tahapan-tahapan selanjutnya misalnya dibawa sampai tindak pidana hukum dan sebagainya, kita masih berkonsultasi dan berdiskusi dengan beberapa jajaran BEM itu sendiri dan khususnya korban,” kata Reski kepada Sketsa, pada Rabu (2/3) lalu.

Pihaknya berupaya menanggulangi kasus kekerasan seksual ini berdasarkan kronologi dan permintaan korban. Mengingat prosedur penanganan kekerasan seksual di Unmul belum ada karena masih berkutat pada tahapan pembentukan panitia seleksi. Akhirnya BEM FISIP membentuk tim khusus langsung di bawah pengawasan Kementerian Gender yang dibentuk berdasarkan Permendikbud PPKS dan menjamin keamanan korban.

Hal itu turut disampaikan Wahyuni selaku Menteri Gender ketika ditemui Sketsa pada Senin (28/2) lalu. Ia mengaku bahwa pembentukan tim khusus ini berkaca pada Permendikbud PPKS setelah melihat kurangnya respons dari fakultas terkait kasus ini.

“Kami melihat SOP (prosedur operasi standar) dari beberapa referensi dan kami bercermin saat ini ke Permendikbud, jadi untuk penanganannya kami lebih ke cara bagaimana menangani korban, bagaimana korban tetap aman, bagaimana korban tidak merasa takut dan lebih ke penanganan korban dan untuk SOP-nya lebih ke permendikbud walaupun Permendikbud saat ini belum direalisasikan di kampus.”

Kementerian Gender turut menjadi pihak yang berhubungan langsung dengan pelaku dan menjembatani kesepakatan tuntutan antara korban dan pelaku. Salah satunya terkait surat permohonan maaf yang diberikan pelaku. 

Meski surat pernyataan pelaku menuai komentar, Wahyuni mengaku ia dan tim telah lakukan perbaikan. Terlebih surat itu telah penuhi legal standing sebab terdapat materai dan diunggah atas persetujuan korban.

“Dan ternyata korban itu termakan sama manipulatif kata-kata di surat itu, saat ini korban belum menjawab aku, mungkin korban butuh berpikir panjang, jadi untuk saat ini baru sampai itu sikap BEM. Karena sebenarnya surat itu tanggung jawab pelaku dan sebenarnya pelaku sudah dapat ganjaran sosial karena ini udah sampai kemana-mana.”

Kekosongan peran birokrasi kampus baik fakultas dan universitas turut disayangkan. Sketsa meminta tanggapan DPM FISIP atas kasus ini. Dennis selaku Ketua DPM FISIP menuturkan pihaknya telah berupaya untuk memfasilitasi kasus kekerasan seksual dan juga memprosesnya sesuai dengan aturan di AD/ART. Namun, hingga kini, DPM hanya menerima laporan saja.

“Terkait dengan riset sendiri itu sudah dilakukan dengan BEM karena kasusnya masuk di BEM, kami di DPM hanya menerima laporan dari BEM,” tulisnya melalui pesan WhatsApp pada, Kamis (3/3) lalu.

“Kita di DPM juga sebisa mungkin dalam menangani kasus kekerasan seksual sesuai dengan ranah kami," tambahnya.

Dosen Psikologi Unmul, Ayunda Ramadhani pada Rabu (2/2), lewat sambungan telepon menjelaskan kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus erat dengan relasi kuasa. Adanya ketimpangan antara pelaku dan korban sehingga korban mengalami perasaan inferior dan ketakutan-ketakutan tertentu untuk melawan. Lebih lagi pasca kejadian memungkinkan korban mengalami krisis seperti shock atau keterkejutan.

“Jadi tidak langsung mengalami trauma karena kan ada fasenya. Gejala psikologis itu bisa berkembang kan kalau tidak mendapatkan penanganan yang tepat dan itu akan menjadi simtom-simtom seperti mimpi buruk, selalu teringat akan kejadian, atau teringat pada pelaku.”

Hal tersebut disebutnya dapat mengganggu korban juga menghambat perkuliahan. Selain itu, secara umum dapat mengembangkan trust issue, yakni kondisi  seseorang tidak merasa aman yang nantinya bisa mengganggu fungsi kehidupannya. Dalam hal ini tentu diperlukan asesmen awal pada korban untuk mengetahui sejauh apa dampak yang dirasakan oleh korban.

“Ini pentingnya ada Satgas ya di setiap kampus. Kalau di FISIP itu kan ada psikologi ya, di psikologi itu juga ada layanan konsultasi dan konseling. Bisa saja kalau mau melapor dan akan dibantu. Atau kalau mau melapor ke unit pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak UPTD PPA juga bisa, itu pasti akan dibantu karena rahasianya terjamin.” (vyl/sya/khn)



Kolom Komentar

Share this article