Berita Kampus

Isu RUU KUP dan PPN Pendidikan di tengah Pandemi, Bagaimana Tanggapan Civitas Academica Unmul?

Pendapat civitas academica Unmul terkait polemik RUU KUP dan PPN Pendidikan.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Kompas

SKETSA – Beberapa waktu lalu, muncul wacana dari pemerintah terkait pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk barang kebutuhan pokok. Kebijakan ini sendiri direncanakan akan tercantum dalam perluasan objek PPN yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Adapun pemberlakuan pajak akan diatur dalam Pasal 4A draf revisi UU Nomor 6. Tentu hal ini memunculkan pro dan kontra di masyarakat, terutama karena sembako merupakan bagian penting dalam kehidupan sehari-hari.

Terkait hal ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa pemerintah tak akan memungut PPN Sembako yang dijual di pasar tradisional. Dilansir dari tempo.co, ia menjelaskan jika pemerintah hanya mengenakan pajak bagi sembako yang bersifat impor dan premium. Seperti beras basmati, shirataki hingga daging sapi Wagyu.

“Itu asas keadilan dalam perpajakan, di mana yang lemah dibantu dan dikuatkan dan yang kuat membantu dan berkontribusi,” sebutnya, Senin (14/6).

Di lain sisi, jasa pendidikan dihapus dari daftar jasa yang tidak dikenakan PPN dalam draft Perubahan Kelima Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Apabila Rancangan Undang-Undang (RUU) KUP disahkan, maka jasa pendidikan berpotensi dikenakan PPN.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Neilmaldrin Noor menyebutkan jika pemerintah memastikan bahwa pengenaan PPN Pendidikan tidak akan membebani warga masyarakat golongan menengah ke bawah terutama di tengah kondisi pandemi Covid-19. Dalam pelaksanaannya nanti, pungutan PPN tersebut hanya dikenakan untuk jasa pendidikan yang bersifat komersial.

“Ini bukan pendidikan seperti yang disampaikan selama ini. Misalnya, ‘wah, ini bisa putus sekolah.’ Tentu bukan pendidikan yang seperti itu. Ini pendidikan yang dikonsumsi masyarakat dengan daya beli jauh berbeda, sesuai ability to pay,” kata Noor, masih dari tempo.co pada Senin (14/6).

Tanggapan Civitas Academica 

Cornelius Rantelangi, dosen Akuntansi Perpajakan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) memberikan tanggapannya terhadap polemik tersebut. Jika benar wacana mengenai RUU KUP akan disahkan, menurutnya akan memberatkan masyarakat di tengah pandemi. Ini disebabkan karena harga barang dan jasa yang dikenakan PPN pasti mengalami kenaikan.

“Andai kata dikenakan PPN pada jasa pendidikan, jasa medis dan juga barang konsumsi masyarakat yang selama ini tidak dikenakan PPN yang bukan merupakan objek PPN, maka menjadi beban bagi masyarakat. Tarif berobat di rumah sakit ikut naik, tarif pendidikan juga akan naik, begitu juga beras serta barang konsumsi umum akan naik,” jelas Cornelius ketika dihubungi Sketsa melalui telepon, Sabtu (19/6) lalu.  

“Intinya barang yang dikenakan PPN pasti harganya naik. Pada situasi seperti sekarang, jika dikenakan PPN pastinya berdampak pada daya beli masyarakat. Terutama untuk masyarakat berpenghasilan di bawah rata-rata. Terlebih lagi, akibat dari pandemi ini membuat perekonomiam masyarakat lesu," lanjutnya.

Ia menambahkan bahwa kebijakan pengenaan PPN pada bahan pokok ini hanya akan jadi wacana dan tidak akan diterapkan dalam situasi saat ini. Sebab sejatinya sembako merupakan hal vital bagi masyarakat.

“Sebagai konsultan pajak serta dosen perpajakan, saya tidak yakin bahwa pemerintah akan mengenakan PPN atas jasa pendidikan, medis serta barang konsumsi utama masyakakat seperti gula, beras, dan sebagainya pada situasi sekarang. Mungkin akan dikenakan apabila pertumbuhan ekonomi bagus, masyakarakat memiliki penghasilan meningkat (baru) cocok dilaksanakan pengenaan PPN,” tuturnya.

 Menurutnya, masih ada alternatif lain jika pemerintah ingin menaikkan pendapatan dari sektor pajak. Yaitu dengan cara mengintensifkan pemasukan dari wajib pajak yang potensial. Selama ini, masih banyak wajib pajak yang tidak disiplin membayar pajak dan harus dimaksimalkan,

“Intensifikasi itu maksudnya wajib-wajib pajak potensial yang selama ini melakukan pembayaran pajak. Itu dioptimalkan secara maksimal, karena banyak wajib pajak yang selalu menekan pembayaran pajak dengan berbagai cara. Misalnya tidak melaporkan sebagaimana keadan bisnisnya yang sebenarnya, pendapatan tidak dilaporkan dengan baik, menurunkan laba pendapatan pada perusaahan, dan lain-lain.”

“Kedua, fungsi ekstensifikasi adalah menelusuri masyarakat wajib pajak. Banyak yang selama ini belum mendaftarkan diri sebagai wajib pajak, padahal ia memiliki pendapatan atau penghasilan. Tapi tidak pernah mendaftarkan diri secara sukarela untuk diberikan NPWP," tukasnya.

Tidak hanya dari dosen, tanggapan juga datang dari mahasiswa. Sempat dihubungi Sketsa pada Senin (14/6), Muhammad Upi Arjuna asal Program Studi Manajemen 2019 ini berpendapat bahwa isu tersebut penting untuk dibahas. Masyarakat memerlukan penjelasan, sebab menyangkut kondisi ekonomi masyarakat di tengah pandemi.

"Masyarakat yang seharusnya butuh subsidi lebih dengan kondisi sekarang, malah diberi kabar dengan isu (pengenaan) pajak sembako sekolah dan pelayanan medis. Misal pajak tersebut diberlakukan, besar kemungkinan harga bahan pokok masyarakat pasti naik sehingga menekan masyarakat menengah ke bawah. Dengan kemungkinan tersebut, sudah jelas masyarakat butuh penjelasan lebih mendetail terkait informasi pajak pertambahan nilai ini," ujarnya.

Ditambahkan olehnya, jika memang kebijakan ini menyasar pada masyarakat menengah ke atas maka harus ada informasi kebijakan yang jelas. Jangan sampai hanya disampaikan setengah-setengah dan berakhir membingungkan.

“Menurutku, misalnya PPN ini menyasar rakyat menengah ke atas pun harus jelas bagaimana konsep dan sistemnya. Jangan sampai nanti sudah terlaksana, tapi malah ikut berimbas ke masyarakat yang memiliki pendapatan menengah ke bawah,” pungkasnya.

Menutup pernyataannya, Upi dengan tegas mengatakan jika ia menolak kebijakan tersebut. Menilik dari potensi yang memberatkan rakyat, dirinya menyarankan agar pemerintah dapat mengkaji kebijakan ini lebih dalam lagi. Penting untuk memutuskan hasil yang adil bagi rakyat, khususnya pada situasi pandemi. (nov/nkh/hdt/len)



Kolom Komentar

Share this article