Berita Kampus

Halal Haram LGBT di Mata Mahasiswa

LGBT alias Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender sudah ada di Indonesia sejak 1960-an. (Sumber ilustrasi suffolklgbtnetwork.org.uk/index.php)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA - Omong-omong soal LGBT yang kini tengah ramai diperbincangkan. Setelah seorang wanita yang mengira dua pria di atas motor adalah pasangan homoseks ternyata saudara kandung, hingga perdebatan panas di meja acara Indonesia Lawyers Club kian memantik hawa pro dan kontra menyikapi fenomena LGBT.

LGBT alias Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender sudah ada di Indonesia sejak 1960-an. Kemudian terus berkembang pada 80-an, 90-an, dan meledak pada era milenium 2000. 2017, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak melakukan uji materi terhadap Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ketiga pasal tersebut mengatur tentang kejahatan terhadap kesusilaan.


Sebagai sebuah fenomena, pro dan kontra wajar terjadi. Dua pihak saling adu argumentasi. Tidak hanya melibatkan pemuka agama maupun tokoh adat. Fenomena LGBT juga membuat pakar kesehatan, pengajar, LSM, pegiat HAM, dan segenap elemen masyarakat bersuara, tak terkecuali mahasiswa.


Monica Maulyda, mahasiswi Ilmu Komunikasi ini mengaku kontra LGBT. Menurutnya, LGBT adalah penyimpangan agama, menjijikkan, sekaligus sumber penyakit.


"Big no! Karena melenceng dari apa yang ada, yang harusnya wanita dengan lelaki, kenapa diubah-ubah lagi. Dan sumber penyakit sih, karena mereka melakukan seks melalui dubur jadi bisa menularkan penyakit karena kotor," ucapnya.


LGBT yang kerap diberi embel-embel dan mengatas namakan Hak Asasi Manusia (HAM), bagi Monica tetap harus memperhatikan kerugian yang dialami lebih banyak orang, terutama di Indonesia yang mayoritas muslim. Sehingga bagi Monica, kaum LGBT tidak bisa diterima walau dengan dalih HAM sekalipun. 


"Semua orang punya hak, tapi jika sesuatu ngasih dampak buruk, belum lagi dampak sosial yang ditimbulkan itu sangat besar. Akan ricuh di mana-mana, apalagi kita mayoritas Muslim," imbuhnya.


Sementara itu, Yuliani Saputri mahasiswi Sosiologi berpendapat lain. Menurutnya, LGBT sama seperti kaum heteroseksual yang sudah sepatutnya diperlakukan sama dan mendapatkan hak yang juga sama tanpa diskriminasi.

"LGBT adalah bagian dari masyarakat Indonesia yang punya hak-haknya sebagai warga negara, termasuk hak untuk hidup dan mengekspresikan orientasi seksual mereka yang tidak bisa kita paksa. Karena setiap manusia orientasi seksualnya beda-beda," kata Putri.

Lebih lanjut Putri menjelaskan, homoseksualitas yang sebelumnya dikategorikan gangguan jiwa sudah dibantah, dibuktikan dengan dikeluarkannya keputusan dari organisasi kesehatan sedunia atau World Health Organization (WHO) pada 17 Mei 1990.

Kemudian, didukung aspek hukum yang dikeluarkan Departemen Kesehatan RI dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) di Indonesia edisi II dan III tahun 1983 dan 1993 disebutkan bahwa homoseksualitas bukan penyakit kejiwaan, melainkan varian biasa dari orientasi seksual manusia.

"PPDGJ ini menjadi acuan para medis, seperti dokter, psikolog, dan psikiater di Indonesia sampai sekarang," imbuhnya.

Memosisikan diri sebagai pihak yang pro LGBT menurut Putri bukan sesuatu yang keliru, meski saat ini cenderung dipandang sinis masyarakat. "Semua manusia terlahir dengan martabat dan hak yang setara. Orientasi seksual dan identitas gender merupakan integral dari martabat dan kemanusiaan masing-masing manusia dan tidak dapat dijadikan dasar melakukan diskriminasi atau kekerasan," tandasnya. (snh/aml/els)



Kolom Komentar

Share this article