Berita Kampus

FKIP Wacanakan Gabung KKN dan PPL, Ketua LP2M: Harus Ada Dasar Hukumnya

Ketua LP2M, Prof. Susilo. (Sumber foto: Humas Unmul)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA – FKIP melalui Wakil Dekan (WD) I menyatakan telah menjalin kerja sama dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) untuk menggabungkan program Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan Program Pengalaman Lapangan (PPL). 

Namun, ditemui Sketsa pada Rabu (14/3) lalu, Prof. Susilo selaku Ketua LP2M mengaku bahwa belum ada komunikasi resmi. Ia menyebut bahwa belum mendapat kepastian jawaban ketika dirinya bertanya prihal dasar hukum, naskah akademik, serta aturan bagaimana menggabungkan KKN dan PPL.

“Umpama di sekolah berapa hari? Yang dihitung KKN itu berapa hari? Kan itu harus jelas. Ini etika SKS (Satuan Kredit Semester). Yang jelas PPL itu punya SKS juga, dan kalau dicampur yang hari dan waktunya sama (dengan KKN) ya tidak bisa dong. Kegiatannya satu, tapi dinamainya dua kan tidak bisa,” lanjutnya.

Sebelumnya wacana penggabungan KKN dan PPL di FKIP dibenarkan oleh Wakil Dekan (WD) I Bidang akademik FKIP, Lambang Subagiyo. Melalui keterangannya kepada Sketsa, ia menyebut bahwa wacana penggabungan KKN dan PPL akan segera direalisasikan.

(Baca, https://sketsaunmul.co/berita-kampus/dekan-fkip-sebut-integrasi-kkn-dan-ppl-bisa-terjadi/baca)

Namun, sampai saat ini FKIP masih dalam tahap merancang program sembari menunggu persetujuan dari beberapa pihak. Di antaranya Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M), WD II, dan Dekan FKIP Muhammad Amir Masruhim.

Prof. Susilo menyebut, jika ingin membuat formula KKN, harus ada naskah akademiknya. Lalu, jika memang ingin dilaksanakan fakultas, Fakultas Kedokteran (FK) dan Farmasi adalah contohnya. Namun, pihak fakultas tersebut mendanai program KKN-nya sendiri.

Dua fakultas di atas memang menjalankan KKN sendiri, namun telah memiliki dasar hukum yang jelas, yakni SK Rektor. Kalau kelak FKIP ingin melakukan hal serupa, maka harus terlebih dahulu mengurus dasar hukum semisal SK Rektor, karena saat ini FKIP belum memiliki itu.

“Kalau tidak ada dasar hukumnya, kasihan yang ikut program itu. Tidak diakui oleh rektorat, tidak diakui oleh LP2M. Kan repot juga. Saya sudah bicara dengan dekan FKIP, kalau mau menggabung dan membuat formulasi KKN sendiri, silakan. Tapi harus ada dasar hukumnya. Kalau mau seperti Farmasi dan Kedokteran tidak ada masalah,” tambahnya.

Prof. Susilo menjelaskan, dua fakultas tersebut telah punya aturan tertulis yang konkret dalam melaksanakan KKN yang telah mereka kelola dan jalankan. Sehingga, FKIP pun harus punya aturan tertulis sendiri jika ingin mengintegrasikan KKN dan PPL. Perihal pembekalan KKN, masih LP2M yang bertanggung jawab untuk membekali.

Mekanisme Pengatutan Anggaran KKN

Jika FKIP ingin mengikuti jejak FK dan Farmasi, maka FKIP harus menyiapkan anggarannya sendiri. LP2M tidak akan memfasilitasi masalah anggaran.

“Begini, dana yang dari rektorat, itu untuk dana yang dilaksanakan di LP2M. Kalau di fakultas, mahasiswanya yang bayar sendiri (ke fakultas). Jadi kalau FKIP mau, silakan saja jalan. Tapi kalau mau mengambil dana dari LP2M, tidak bisa,” terang Prof. Susilo.

Ia menambahkan ibaratnya anggaran satu pintu melalui LP2M. Jika semua anggaran KKN diberi ke LP2M, lalu FKIP meminta anggaran, maka akan kacau urusannya. Sebab itu, Prof. Susilo menyampaikan ke Dekan FKIP jika ingin KKN dari fakultas, maka tidak perlu mengurus anggaran ke LP2M, langsung saja ke rektorat.

Karena fakultas yang menyelenggarakan KKN tidak boleh mengambil anggaran yang dialokasikan rektorat untuk LP2M, Farmasi dan Kedokteran mengambil bayaran sendiri per mahasiswa.

“Kalau yang laksanakan FKIP, yang tanda tangan itu saya, nanti yang diperiksa BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) itu saya. Tidak adil,” tegasnya. (dan/els)



Kolom Komentar

Share this article