Berita Kampus

Diskusi AJI: Mati karena Berita

Kasus kekerasan pada jurnalis Indonesia yang berujung pada hilangnya nyawa menjadi perhatian AJI.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber gambar: Youtube AJI Indonesia

SKETSA Tak ada berita seharga nyawa. Itulah kredo yang konsisten digaungkan oleh organisasi profesi jurnalis, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dalam berbagai kesempatan. Meski jurnalis menempati posisi sebagai pilar keempat demokrasi, kasus demi kasus kekerasan terus menimpa jurnalis. Beberapa di antaranya ditemukan tewas terbunuh ketika menjalankan tugas jurnalistik atau dampak dari penerbitan karya jurnalistiknya.

Dari sembilan kasus kematian jurnalis Indonesia, tercatat hanya satu kasus yang pelakunya diproses hukum. Masing-masing: Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin (1996), Naimullah (1997), Agus Mulyawan (1999), Muhammad Jamaluddin (2003), Ersa Siregar (2003), Herliyanto (2006), Ardiansyah Matrais Wibisono (2010), Anak Agung Prabangsa (2009), dan Alfred Mirulewan (2010).

Hal itulah yang kemudian menjadi ihwal bagi AJI Indonesia untuk kembali melakukan riset tentang posisi delapan dari sembilan kasus dengan penyelesaian yang masih gelap. Seluruhnya kemudian dirangkum ke dalam sebuah buku berjudul “Mati Karena Berita: Kisah Tewasnya Sembilan Jurnalis Indonesia” yang kemudian digelar diseminasi dari e-book tersebut melalui Zoom Meeting dan Live YouTube Aji Indonesia.


Shinta Maharani, salah satu yang berkesempatan menyajikan presentasi hasil temuannya pada Rabu (12/10). Dirinya merupakan periset kasus kematian Udin, Jurnalis Harian Bernas Yogyakarta.

Hasilnya, penanganan kasus pembunuhan Udin macet selama 26 tahun. Menurut Marsiyem, peristiwa pembunuhan suaminya terjadi ketika malam hari, 13 Agustus 1996 di rumah kontrakan yang juga menjadi studio foto di Kabupaten Bantul.

“Pada malam itu orang tak dikenal menggunakan sebatang besi sebesar jempol manusia untuk memukul kepala Udin. Dia koma setelah menjalani perawatan intensif di RS Bethesda karena pendarahan hebat. Udin meninggal sore hari pada 16 Agustus 1996,” beber Shinta dalam Zoom Meetings.

Pada kesempatan yang sama, Shinta juga menjelaskan beberapa karya jurnalistik milik Udin yang ditengarai berhubungan dengan kematiannya. Selama menjadi jurnalis, Udin memang kerap kali mengkritisi pemerintahan Kabupaten Bantul. 

Menjelang pemilihan Bupati Bantul misalnya. Udin menulis tentang Sri Roso yang menyanggupi membayar upeti sebesar satu miliar kepada Yayasan Dharmais pimpinan Presiden Soeharto agar dirinya dapat kembali terpilih.

Meski pada 2 Juli 1999 akhirnya Sri Roso terbukti bersalah dan divonis sembilan bulan penjara karena kasus tersebut, kasus Udin juga tak kunjung menemui titik terang. Kasus kematiannya bahkan telah resmi kadaluarsa sejak 16 Agustus 2014 silam.

Kasus dark number sebagai sebuah preseden buruk

Wakil Ketua Dewan Pers, M. Agung Dharmajaya menyebut pengungkapan kasus-kasus kematian jurnalis seyogianya perlu terus didorong dan harus menjadi tanggung jawab bersama.

”Kasus dark number (jumlah kejahatan yang tidak terungkap) ini, meskipun sudah lama, akan menjadi catatan preseden buruk dan barangkali bisa menjadi pembenaran.”

”Jangan ada satupun pembenaran. Siapa pun pelakunya, siapa pun korbannya, wartawan atau bukan, menghilangkan nyawa orang ada konsekuensi hukumnya,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Agung memberikan rekomendasi untuk membentuk tim independen guna menuntaskan kasus dark number ini. Agung menilai, komposisi tim di dalamnya haruslah melibatkan seluruh aspek tak hanya dari perwakilan organisasi jurnalis agar dalam prosesnya menjadi beban moral dan tanggung jawab bersama.

“Tidak hanya terdiri dari perwakilan organisasi jurnalis, tetapi juga melibatkan instansi lain seperti Polri, Komnas HAM, serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK),” usulnya.

Jaminan keamanan dalam meliput bagi pers mahasiswa

Di penghujung sesi, awak Sketsa meminta pendapat Mona Ervita dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers. Bagi Mona, jaminan keamanan dalam peliputan bagi pers mahasiswa maupun media independen juga tak kalah penting dengan keamanan bagi jurnalis profesional.

“Tentu ini akan menjadi PR bagi kita semua bahwa, mereka dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik itu berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum. Sebagaimana yang ada di dalam Undang-undang Pers,” terang Mona.

Pers sebagai sarana wahana komunikasi masyarakat, juga berlaku bagi pers mahasiswa, jurnalisme warga, serta media independen yang disiplin menerapkan kerja-kerja jurnalistiknya.

“Kalau kita ingat, ini seperti layaknya kasus teman-teman Project Multatuli yang mengungkapkan adanya dugaan kasus kekerasan seksual di Luwu Timur.”

Bagi Mona, ketika terdapat pihak yang memperoleh intimidasi akibat menjalankan kerja-kerja jurnalistik, kehadiran negara perlu dipertanyakan. Apalagi hal ini terkait pada kebebasan pers yang seharusnya dijamin oleh negara.

Perspektif pers mahasiswa di Samarinda

Dalam menjalankan tugas-tugas kejurnalistikan di tataran kampus, persma tak luput dari kerentanan intimidasi dari pihak-pihak tertentu. Ini pula yang disampaikan Indra Ade Setiawan, Ketua Umum UKM Jurnalistik Polnes Samarinda.

“Untuk intervensi masih ada, singkatnya karna LPM itu pasti berdiri di bawah naungan instansi yang menaungi LPM tersebut sehingga masih saja ada beberapa intervensi,” tulisnya melalui pesan Whatsapp Kamis (13/10).

“Menjadi jurnalis juga memiliki risiko yang tinggi dan harus bisa sesuai dengan kode etiknya. Beberapa kejadian terakhir kembali mengingatkan kita akan pentingnya untuk lebih berhati-hati dalam bertugas sebagai jurnalis. Semoga kasus-kasus saudara kita bisa dengan cepat menemukan titik terang di mata hukum.”

Tanggapan lain juga datang dari Nur Baiti, Pimpinan Redaksi LPM Cakrawala Uinsi Samarinda. Secara pribadi, dirinya belum mendapati intimidasi kala menjalankan kerja-kerja jurnalistik di lembaga pers tempat ia bernaung. Namun, dirinya juga getol terhadap jaminan keamanan bagi jurnalis. 

“Harapannya ya para jurnalis ini lebih diberi ruang bebas dan aman dalam bergerak di bidangnya. Karena menurut saya, namanya pers wajar saja memberitakan segala hal yang sedang terjadi, baik itu berita baik atau buruk selama masih tidak melanggar kode etik jurnalistik. Jadi menurut saya ya tidak sepantasnya seorang jurnalis mendapat masalah hanya karena tulisannya yang dinilai membawa kontra maupun pro ke beberapa pihak,” tulisnya melalui pesan Whatsapp Kamis (13/10) kemarin. (nkh/khn)



Kolom Komentar

Share this article