Berita Kampus

Berguru kepada Guru dan Menggurukan Calon Guru

Program Pengalaman Lapangan (PPL) merupakan tahapan penting yang di dalamnya seluruh mahasiswa FKIP dilatih sebelum bertemu dengan siswa di sekolah . (Sumber ilustrasi: docplayer.info)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA – Program Pengalaman Lapangan atau lebih dikenal PPL merupakan tahapan penting yang harus ditempuh oleh mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP). Dalam pelaksanaannya PPL terbagi dua tahapan, yakni PPL I dan PPL II. PPL I dilaksanakan pada semester enam, sedangkan PPL II di semester tujuh.

PPL I merupakan tahapan bagi mahasiswa sebelum bertatapan langsung dengan siswa di sekolah. Kegiatannya diisi seperti simulasi mengajar materi di kelas maupun praktik di luar kelas. Di tahap ini mahasiswa dituntut bisa tampil layaknya tenaga pengajar yang mumpuni di hadapan teman sekelas hingga satu angkatan.

“Kalau PPL I itu kita masih praktik ke teman sekelas aja di kampus,” kata Sela Defi Alif Pradani mahasiswi Pendidikan Kimia 2014.

Kesalahan adalah bentuk keniscayaan, pun dalam tahap ini. Mahasiswa masih banyak melakukan kesalahan, namun dari kesalahan-kesalahan itu mereka belajar dan mempersiapkan bekal untuk menyambut masa PPL II.

PPL II ialah tahapan di mana mahasiswa mulai terjun langsung mengajar di sekolah. Untuk bisa mengikuti PPL tahap ini terlebih dahulu harus melewati beberapa persyaratan, seperti menuntaskan beberapa mata kuliah tertentu dan SKS yang mencukupi.

Hendra Aria Saputra, mahasiswa Penjas 2013 mengatakan PPL II biasa berlangsung selama setengah semester atau tiga bulan. Untuk penetapan sekolah ditentukan langsung oleh UPT PPL Unmul. Berbeda dengan pola KKN (Kuliah Kerja Nyata) di mana mahasiswa masih memiliki hak untuk menentukan lokasi pengabdiannya. Persoalan lainnya tidak semua sekolah bisa menerima mahasiswa PPL, hanya yang berkoordinasi langsung dengan Unmul.

Penempatan PPL ini bisa juga berdasarkan surat rekomendasi dari pihak sekolah. Muhammad Ridho Amali, mahasiswa Penjas 2013 mengaku awalnya ia ditempatkan di SMA Negeri 1 Samarinda. Namun, karena sebelumnya Ridho telah jadi tenaga pengajar di SMK Negeri 7 Samarinda, pihak sekolah tersebut akhirnya mengirim surat kepada UPT PPL Unmul dan Ridho mulai dipindahtugaskan. Penempatan mahasiswa PPL ini memang telah melalui serangkaian proses pertimbangan.

“Mahasiswa tidak mempunyai kemampuan yang kompeten, dia dapat sekolah yang high class, otomatis dia tidak bisa mengimbangi muridnya, mending kalau bisa di atas muridnya. Kalau mengimbangi pun kurang bisa nilai buruknya bukan ke dia, dia dapat nilai tapi, hasil terbesarnya ke Unmul utama kemudian FKIP. Kenapa kok lulusan FKIP malah begini?” kata  Ridho.

Ajang  Latihan Calon Guru

Sehingga kreativitas di sini amat dibutuhkan karena menangani siswa SMP ataupun SMA jelas memiliki sensasi berbeda dibandingkan PPL I yang masih praktik di depan teman sekelas. Selama masa PPL, mahasiswa nantinya akan didampingi oleh satu guru dari bidang sama. Sebutan untuk guru seperti ini adalah guru pamong, perannya adalah untuk membina, mengarahkan dan mengatur kelas untuk mahasiswa PPL-nya.

Adyanto dari Pendidikan Kimia 2013 berkisah pernah diminta oleh guru pamongnya untuk mengajar mata pelajaran yang di luar spesialisasinya. Saat itu ia diminta mengajar fisika, masih untung karena memiliki sedikit keterkaitan dengan kimia. Ditambah bekalnya di mata kuliah seperti fisika, biologi, dan matematika dasar yang telah dilalui di semester sebelumnya. Sehingga itu membuat Adyanto cukup percaya diri.

“Karena guru pamong saya juga mengajar Fisika di sekolah itu, makanya saya dipercayakan untuk mengajar Fisika juga. Di sana saya cuma ngajar dua kelas jadi saya diberi kelas tambahan supaya melatih kesiapan saya. Soalnya nanti saya jadi guru, saya harus siap dengan kondisi apa pun di sekolah, misalnya kekurangan guru,” kata mahasiswa asal Kutai Barat itu.

Melalui PPL inilah mahasiswa sebenarnya bisa melihat lanskap pendidikan hari ini. Sekolah di perkotaan saja masih kerap kekurangan tenaga pengajar, lantas bagaimana dengan kondisi pengajar di daerah terpencil. Adyanto mengatakan kepada tiap calon-calon guru FKIP harus selalu siap dengan kondisi apa pun di lapangan.

Diskriminasi  Calon Guru

Dalam pelaksanaannya, tiap PPL pun memiliki ragam kisah untuk dikenang. Bagi Hendra dan rekan-rekaannya itu adalah saat mereka mendapatkan bunga dan cokelat di momen perayaan Hari Valentine. Bagi Adyanto pengalamannya selama mengajar, membuat ia jadi tahu kondisi kelas yang sebenarnya. Pun ia memahami bahwa mengajar tidak seperti presentasi yang menegangkan di depan dosen, melainkan mengajar itu bebas dari rasa tegang bahkan perlu terhibur karena kelakukan siswa.

Namun, kadang hal-hal tak mengenakkan masih juga terjadi. Beberapa guru sekolah kerap menganggap mahasiswa PPL tidak selayaknya guru. Pemahaman mereka adalah mahasiswa PPL datang ke sekolah untuk meringankan tugas mereka dan itu tidak melulu harus mengajar di kelas.

“PPL itu ada enaknya, ada enggaknya. Untuk beberapa sekolah yang menganggap anak PPL tidak seperti guru, perlakukan mereka selayaknya guru. Karena mereka calon penerus kalian. Beberapa sekolah bahkan tidak menggurukan calon guru, ada yang disuruh baikin parkiran, bikin taman. Kita mahasiswa PPL bukan tukang kebun atau tukang parkir, kita saling bertukar ilmu, jangan anggap anak PPL itu pembantu yang datang untuk disuruh ini itu,” kata Ridho. (els/asr/wal)



Kolom Komentar

Share this article