Berita Kampus

Adakan Diskusi Terkait Konflik di Papua, LPM Teropong Terancam Dibubarkan

Intervensi pihak birokrat dan eksternal terkait diskusi yang digelar oleh LPM Teropong PEN Surabaya.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber: Google.com

SKETSA - Kericuhan yang terjadi di Wamena mengundang pelik bagi masyarakat Indonesia terutama pemerintah pusat. Sebagai bentuk kepedulian akan peristiwa yang terjadi di Papua, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Teropong dari Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) ingin mengadakan diskusi yang berjudul “Papua dalam Perspektif Media Arus Utama” pada Rabu (9/10) lalu. Namun, malang tak dapat ditampik, diskusi ini justru mendapat penolakan bahkan terancam dibubarkan oleh pihak kampus.

Menilik pada cnnindonesia.com, Fahmi Naufal Mumtaz selaku pemimpin umum dari LPM Teropong menjelaskan kronologi terjadinya pembubaran LPM Teropong. Pada Rabu sore anggotanya mengadakan selasar buku dan persiapan untuk diskusi pada malam harinya. Pada pukul 17.15, ada dua orang satpam yang mendatangi tempat diskusi dan meminta perwakilan LPM untuk datang ke pos satpam. Setelah dua perwakilan datang, ternyata di pos satpam sudah ada anggota Polsek Sukolilo yang menanyakan perihal substansi diskusi yang akan digelar. 

Kemudian Kanit Reskrim Polsek Sukolilo menemui pihak LPM Teropong dan menekankan bahwa seharusnya pihak penyelenggara memberitahukan tentang diskusi ini ke pihak keamanan kampus dan Polsek Sukolilo. 

Perdebatan pun sempat terjadi antara LPM Teropong dan aparat sehingga pihak kemahasiswaan PENS menginstruksikan untuk membubarkan kelembagaan LPM Teropong. Pihak kampus berdalih diskusi tersebut tidak memiliki izin dan mengundang pihak luar kampus. Meski demikian diskusi tetap berlangsung namun di tempat yang berbeda yakni di luar kampus. 

Setelah kejadian pembubaran LPM Teropong atas pengadaan diskusi "Papua Dalam Perspektif Media Arus Utama", telah dilakukan sedikitnya dua kali mediasi antara pihak LPM Teropong dan birokrasi kampus. Mediasi yang pertama berlangsung pada Jumat (11/10) dengan keputusan berupa hilangnya perizinan kegiatan. Akan tetapi, mediasi kembali dilakukan oleh kedua belah pihak pada Selasa (15/10) dengan hasil mediasi adalah perizinan kembali LPM Teropong untuk beraktivitas selama mematuhi SOP yang berlaku.  

Dilansir dari Tirto.id dan Merdeka.comada beberapa alasan yang diduga menjadi penyebab terjadinya kericuhan. Pertama, adanya ucapan rasis yang dilakukan oleh seorang guru di SMA PGRI Wamena pada 18 September lalu. Meski pihak sekolah telah mengajak para siswa dan guru untuk saling memaafkan, sayangnya isu ucapan rasis tersebut sudah tersebar di kalangan masyarakat Wamena yang berujung berkumpulnya massa aksi oleh pelajar di gerbang sekolah pada 23 September. Tak hanya itu, isu penangkapan tujuh pelajar yang dilakukan oleh aparat menjadi pemicu aksi pembakaran di Kantor Bupati. 

Kedua, munculnya kabar hoaks meninggalnya warga papua yang dikembangkan oleh oknum tertentu. Ketiga, penyerangan kepada TNI – Polri di Deiyai pada saat kerusuhan berlangsung yang dilakukan oleh kelompok Paniai dengan membawa panah, tombak, dan parang. Akibatnya, satu anggota TNI meninggal dunia dan lima aparat terluka terkena panah. 

Keempat, adanya dugaan keterlibatan pihak asing dalam rangkaian kerusuhan yang terjadi di Papua dan Papua Barat. Oleh karena itu, Polri saat ini tengah berkoordinasi dengan kementrian Luar Negeri (Kemlu) dan Badan Intelejen Negara (BIN) untuk menangani masalah tersebut. (hlm/ffs/ann)



Kolom Komentar

Share this article