Reportase

Mendirikan Rumah di Lingkup FKIP

Menjadi saksi, rumah Suparno yang dahulunya telah berdiri sejak masa Sekolah Guru Olahraga (SGO) hingga kini menjadi kampus FKIP. (Foto: Novita Rahman)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA - Dalam sejarahnya, kampus Gunung Kelua dan Flores dibangun untuk menopang napas perkuliahan di Unmul. Sedang kampus di Jalan Pahlawan dan Jalan Banggeris merupakan tanah milik pemerintah yang pada masanya sempat diperuntukkan sebagai sekolah.

Dulunya kampus Pahlawan merupakan Sekolah Guru Olahraga (SGO), dan kampus Banggeris sebagai Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Hingga akhirnya diresmikan sebagai bagian Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan (FKIP) pada 11 September 1978.

Dalam rentan waktu yang berjalan panjang itu, ada orang-orang yang senantiasa tinggal di lingkungan kampus FKIP. Salah satunya ialah Suparno yang merupakan pensiunan guru olahraga yang telah tinggal di kampus Pahlawan sejak 1972. Pada tahun-tahun itu, ia adalah guru honor di SGO.

“Yang membuat sekolah ini Gubernur,” kata Suparno saat ditemui Sketsa Jumat (17/3) di kediamannya.

Rumah Suparno berdiri tepat di belakang kampus FKIP Pahlawan berjejer bersama beberapa rumah yang lain. Halaman rumahnya dipenuhi dengan beragam tanaman dan pohon. Rumah kayu dengan cat cokelat itu terkesan sederhana jika dilihat dari luar.  Suparno mengatakan ia tak menerima informasi yang jelas tentang sejarah tanah di rumahnya. Karena pada masa itu saat perjanjian dibuat antara pihak Gubernur, Unmul, dan Dinas Pendidikan masalah status tanah tidak menyertakan pihak luar, dalam hal ini dirinya dan warga lain yang menempati tanah tersebut.

Dan lagi, tidak ada permasalahan bagi warga yang tinggal di sekitaran FKIP Pahlawan dan FKIP Bangeris. Hingga saat ini mereka belum pernah mendapatkan imbauan untuk pergi dari area kampus oleh pihak Gubernur, Unmul maupun Dinas Pendidikan sendiri. Untuk perizinan menempati dan membangun rumah di daerah kampus Suparno dan warga lainnya di FKIP Pahlawan telah mendapat izin oleh walikota saat status tanah tersebut masih jelas milik Gubernur.

“Jikalau kami di sini disuruh pergi pun tidak masalah karena tanah ini bukan milik kami, tetapi dengan alasan apa, dan adilkah seperti itu setelah kami yang merintisnya sebelum menjadi seperti sekarang,” ungkapnya.

Kisah lainnya dari warga bernama Sarah, seorang wanita tua yang tinggal di FKIP Banggeris ini mengaku tak pernah punya masalah berarti dengan fakultas. Ia merasa bebas saja tinggal di dalam lingkungan kampus yang dihuninya sejak 1989. Malahan ia berdagang aneka makanan yang dijajakan kepada mahasiswa FKIP.

Menurut Putri Askin, mahasiswa prodi PPKN, Sarah telah berjualan sejak ia masih maba tahun 2012. Ia mengatakan bila selama ini warga seperti Sarah yang berada di daerah kampus tidak mengganggu kegiatan perkuliahan. Sehingga sah-sah saja baginya jika warga tetap menghuni kampus.

Sementara itu ditemui Sabtu (18/3), Dwi Hartanto yang merupakan suami staf Rektorat, Arfah yang menjabat sebagai Kepala Sub LP3M juga tinggal di lingkup kampus Banggeris. Ia menceritakan bahwa istrinya pernah menjabat sebagai kepala perpustakan SPG kala itu. Dari jabatan yang dimiliki istrinya itu, ia katakan, telah diberi wewenang oleh pemerintah dan pihak kampus untuk menempati tanah di wilayah kampus.

Persoalan tanah dan warga di dalam kampus ini belum jua begitu dilirik oleh BEM FKIP. Rizaldo, Gubernur BEM FKIP mengaku belum bisa memberikan keterangan pasti. “Ada beberapa hal yangg masih dalam proses,” ungkapnya. (nvt/adl/gie/wal)




Kolom Komentar

Share this article