Opini

Tidak Ada Akhir Pekan Tanpa Perjuangan Kelas Pekerja

Perjuangan dan realita kelas pekerja hari ini

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Twitter @sindikasi_

Keadilan bukanlah hadiah dari langit 

Tetapi sesuatu yang diperjuangkan 

- Anonymous


Bagaimana awal munculnya libur akhir pekan?

Pertanyaan itu mencuat di kepala saya ketika menjalani studi di Uni Emirat Arab beberapa tahun lalu. Di sana, libur akhir pekan berlangsung pada Jumat dan Sabtu. Lalu, Minggu adalah hari pertama dalam memulai pekan. 

Obrolan bersama guru agama saya menjawab sedikit rasa penasaran saya. Ia mengatakan, pada awalnya Jumat memang merupakan hari libur bagi umat Islam. Hal itu sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad di salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Jumat adalah hari raya umat Islam. Itulah mengapa terdapat sebuah ibadah khusus pada Jumat, yaitu salat Jumat. 

Sebuah jurnal yang disusun oleh Brad Beaven dari University of Portsmouth memperjelas itu. Setiap umat beragama (khususnya agama Samawi), mempunyai hari liburnya sendiri yang dipakai untuk beribadah. Umat Yahudi pada Sabtu (yang dikenal sebagai hari Sabat), sementara itu umat Kristiani pada Minggu, di mana mereka beribadah pada Minggu pagi di gereja. (Beaven, 2013)

Hari-hari raya yang sifatnya keagamaan tersebut merupakan fenomena yang berjalan secara normal pada era agraris, di mana mayoritas masyarakat bekerja dengan cara bertani dan berkebun. Kemunculan industri pada abad ke-19 mengubah pola kerja masyarakat. Berbeda dengan kegiatan bertani dan berkebun yang sifatnya cenderung kolektif (meski tak di semua tempat), industri menuntut para pekerjanya dalam waktu kerja yang cenderung eksploitatif. Bekerja tujuh hari dalam seminggu, dari matahari terbit hingga matahari terbenam. Tujuannya, seperti yang pernah dipaparkan oleh Marx, adalah akumulasi kapital. 

Kenyataan tersebut jelas memicu reaksi dari para pekerja. Di Inggris, salah satu tempat revolusi industri bermula, muncul dua gerakan yang menentang ini. Gerakan pertama memunculkan sesuatu yang bernama Saint Monday (Senin Suci), di mana pekerja mendapatkan hari libur pada Senin. Gerakan kedua menuntut hari libur pada Sabtu dan Minggu (meskipun gerakan ini awalnya hanya menuntut setengah hari kerja pada  Sabtu) (Jacobin, 2018). Gerakan kedua lebih meraih popularitas karena sesuai dengan hari ibadah pemukim Kristiani dan imigran Yahudi yang menduduki Inggris. 

Terkait jam kerja, Robert Owen, salah satu aktivis sosialisme, menginisiasi penuntutan atas pengurangan jam kerja menjadi 8 jam. Mayoritas industri saat itu mempekerjakan pekerjanya 12 hingga 14 jam dalam sehari. 8 jam pun dianggap menjadi pembagian yang ideal, di mana 24 jam dalam sehari dibagi menjadi tiga; 8 jam untuk bekerja, 8 jam untuk rekreasi, 8 jam untuk beristirahat (Debs, 1911)

Gerakan-gerakan tersebut tentu tidak diterima begitu saja. Proses agitasi, demonstrasi, hingga pemogokan pekerja kemudian memaksa negara dan perusahaan menghadirkan regulasi terkait jam dan hari kerja. Berawal dari Inggris, kemudian menyebar di daratan Eropa dan Amerika. Libur akhir pekan dan 8 jam kerja pun menjadi sebuah kebijakan yang universal. Terlepas dari perbedaan di negara-negara Timur Tengah yang meliburkan pada Jumat dan Sabtu (bukan Sabtu dan Minggu). Libur dua hari dalam seminggu menjadi sesuatu yang dijalani mayoritas negara di dunia. 

Semua itu tidak didapatkan secara cuma-cuma, tetapi melalui perjuangan dan pengorbanan darah dan air mata. 

Libur Hanya Sehari dalam Perppu Cipta Kerja

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2/2022 tentang Cipta Kerja memberikan peluang dan legalitas terhadap eksploitasi pekerja. Dalam Pasal 79 Perppu Cipta Kerja mengatur 6 hari kerja dan libur sehari dalam seminggu. Peraturan tentang 5 hari kerja memang tidak ditiadakan dan dimuat dalam pasal yang sama. Namun, keberadaan pasal yang membolehkan 6 hari kerja memberikan kesempatan perusahaan untuk memangkas libur akhir pekan bagi para pekerjanya. 

Argumentasi bahwa terdapat pengurangan jam kerja menjadi 7 jam bagi mereka yang bekerja 6 hari seminggu juga tidak relevan. Dalam pasal 77, memang disebutkan bahwa waktu kerja maksimal 40 jam kerja dalam seminggu. 7 jam untuk 6 hari kerja dan 8 jam untuk 5 hari kerja. Akan tetapi, pasal itu tidak memasukkan jeda waktu istirahat dan makan siang dalam jam kerja tersebut. Artinya, yang berlaku sebenarnya di lapangan adalah 8 jam untuk 6 hari kerja, dan 9 jam untuk 5 hari kerja.

Keberadaan Perppu Cipta Kerja pun patut dipertanyakan. Perppu ini hadir setelah sebelumnya peraturan yang sama dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena dinyatakan cacat formil. Segera setelah keputusan MK tersebut hadir, Perppu Cipta Kerja dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo. Aswanto, Wakil Ketua MK yang berperan dalam menganulir UU Cipta Kerja pun dicopot dan diturunkan secara paksa oleh DPR RI. (Detik, 2022)

Libur akhir pekan dan jam kerja manusiawi yang telah diperoleh, justru akan dirampas kembali.

Flexploitation dan Kenyataan Kelas Pekerja Hari Ini

Standing (2013) berpendapat bahwa terdapat sebuah ‘kelas baru’ (class in the making) pasca revolusi industri 4.0 dengan transformasi digital sebagai ciri khas industri pada era ini. ‘Kelas baru’ ini disebut sebagai ‘precariat’. Kehadiran precariat dominan pada industri kreatif seperti desainer, penulis, artis, dan programmer. Ciri khas precariat adalah kemampuan untuk menentukan upah dan jam kerja sendiri, juga status setara antara pekerja dan pemberi kerja. Kata kuncinya; fleksibilitas. 

Sekilas, persoalan jam dan hari kerja seolah-olah menjadi dongeng masa lalu. Apa yang saya paparkan dari awal tulisan ini seperti tidak lagi relevan. Bukankah para pekerja sektor ini dapat bekerja kapan dan di mana saja?

Faktanya, tren fleksibilitas ini justru menghadirkan sebuah gaya eksploitasi baru. Eksploitasi berkedok fleksibilitas ini kerap disebut sebagai flexploitation (SINDIKASI, 2021).

Sebagai contoh adalah status sebagai ‘kontributor’ yang marak dilakukan oleh perusahaan media hari ini, bahkan perusahaan media besar sekalipun. Bukannya gaji pokok per bulan sebagai pekerja tetap, upah diberikan per tulisan yang dimuat. Kesan awal memang fleksibel. Tidak ada tuntutan untuk menyetor tulisan per hari/minggu. Namun karena ketidakberdayaan dalam menentukan upah, pekerja model ini justru bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan harian. Sebab, upah per tulisan cenderung kecil (25 ribu hingga 35 ribu per tulisan). Tren ini dimanfaatkan oleh beberapa media nasional terhadap wartawan-wartawannya di daerah. (Remotivi, 2021) 

Hal serupa terjadi terhadap banyak desainer dan illustrator. Revisi tak kunjung tuntas, sementara itu tenggat waktu yang diberikan kadang tak masuk akal. Invoice yang diberikan pun sering kali telat cair, apalagi jika pemberi kerja adalah pihak perusahaan. 

Kerja fleksibel hanya ilusi, yang ada justru eksploitasi. 

Yang menjadi masalah utama adalah, kelas pekerja di sektor ini cenderung tidak sadar terhadap keberadaannya sebagai kelas pekerja. Kelas ini cenderung menganggap dirinya sebagai seorang ‘profesional’. (Whiteboard Journal, 2019)  

Apalagi, sejak Orde Baru terdapat penyempitan makna terhadap kata ‘buruh’. Buruh dianggap hanya mereka yang bekerja di pabrik dan perkebunan. Mereka yang bekerja di perkantoran adalah ‘karyawan’. (SINDIKASI, 2022) Kelas pekerja kreatif bahkan menamakan dirinya dengan sebutan lain; yaitu freelance.

Padahal, baik mereka yang bekerja di pabrik, kantor, ataupun industri kreatif kesemuanya adalah buruh. Semuanya adalah bagian dari kelas pekerja. 

Maka tulisan ini saya harap dapat menjadi panggilan untuk semua kelas pekerja; buruh pabrik, buruh perkebunan, petani, karyawan SCBD, pekerja agency, ojek online, desainer, ilustrator, animator, artis indie, pekerja event organizer, guru, dosen, admin media sosial, customer service, pekerja film, pembantu rumah tangga, pekerja sablon, serta pekerjaan-pekerjaan jenis lain yang mungkin tak dapat saya sebutkan satu per satu. Sudah saatnya menghilangkan sekat antar sektor kelas pekerja. 

Kelas pekerja, bersatulah!

Opini ditulis oleh Muhammad Al Fatih, mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP 2022 sekaligus anggota Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif (SINDIKASI). 



Kolom Komentar

Share this article