Opini

Tahun Baru Tak Butuh Resolusi

Apakah resolusi merupakan sebuah keharusan di awal tahun?

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Akseleran

Hari terus berganti. 366 hari terlewati dan tahun yang baru telah datang menghampiri. Memasuki tahun yang baru, setiap orang selalu berharap akan kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Tak sedikit yang berlomba-lomba menyusun resolusi tahun baru. Entah benar-benar ingin menjalaninya atau hanya sekadar ajang pamer dan mengikuti tren dengan menyiarkan resolusinya pada media sosial.

Berdasarkan KBBI, resolusi adalah putusan atau kebulatan pendapat berupa permintaan atau tuntutan yang ditetapkan oleh rapat (musyawarah, sidang). Resolusi juga berarti pernyataan tertulis, biasanya berisi tuntutan tentang suatu hal. Jika melihat pada sejarah, ternyata membuat resolusi telah menjadi tradisi lama.

Tradisi Romawi Kuno menganggap bahwa bulan pertama dalam kalender Masehi dipercaya memiliki simbol yang spesial. Orang Romawi percaya bahwa satu wajah Dewa Janus menghadap ke masa lalu dan satu wajah lainnya menghadap ke masa depan. Untuk menghormatinya, mereka melakukan pengorbanan kepada Tuhan dan berjanji akan berperilaku baik untuk tahun yang akan datang.

Resolusi kemudian menjadi budaya kala pergantian tahun pada setiap tahunnya. Bisa dikatakan, tahun baru merupakan puncak suatu beban, beban terhadap segala perubahan dalam hidup dan juga beban dari resolusi yang tak selesai pada tahun-tahun sebelumnya.

Mengutip dari kompasiana.com, berdasarkan penelitian dari University of Stranton, hanya 8% orang yang berhasil mewujudkan resolusi tahun baru. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa sejak 12 Januari, semangat mewujudkan resolusi tahun baru mulai pudar. Bahkan menurut psikolog klinis, 80% resolusi tahun baru gagal di minggu kedua bulan Februari.

Tak heran, keluhan setiap menjelang tahun baru selalu sama. ‘Duh, resolusi tahun ini belum selesai!’ atau ‘resolusi tahun lalu harus selesai pada tahun ini!’ yang terucap usai malam pergantian tahun. Tak hanya resolusinya yang membudaya, namun gagalnya resolusi pun turut serta menjadi budaya.

Memang pada realitanya, dinamika kehidupan jauh lebih tak terduga dibanding rencana-rencana tertulis yang masih abstrak dan tidak memiliki kepastian. Faktor eksternal dan internal bisa menjadi penyebab kegagalan sebuah resolusi. Keadaan yang tak terduga dan di luar kendali merupakan faktor eksternal itu. Namun, faktor internal juga tak jarang berhasil menggagalkan segala resolusi yang tersusun rapi dan apik.

Kebiasaan-kebiasaan diri yang telah menjadi budaya masyarakat merupakan masalah utamanya. Seperti keinginan mendapat segala sesuatu secara instan, kemalasan, kebiasaan menunda, mementingkan kenyamanan hingga low effort  syndrome.

Pada masa kini, begitu banyak orang yang ingin mendapatkan segala sesuatu secara instan. Inginnya banyak dan cepat, tapi tanpa usaha yang besar. Sering malas dan suka menunda-menunda karena ada kenyamanan yang didapatkan.

Puncaknya, berada pada bahaya low effort syndrom. Yakni suatu bentuk penolakan untuk bekerja keras dan berusaha ketika ada potensi kegagalan yang dirasakan. Juga sebagai prinsip kerja semudah-mudahnya, tetapi nilai diri harus tetap terjaga. Melakukan sesuatu dengan usaha yang minim namun berusaha untuk menutupinya. Sehingga segala sesuatu yang dihasilkan pun menjadi tidak maksimal karena dikerjakan secara ogah-ogahan dan yang penting selesai.

Lalu, apakah menyusun resolusi sebagai sebuah langkah awal perubahan menjadi sebuah kesalahan?

Jawabannya iya. Jika hanya sebagai ajang mengikuti tren dan budaya setiap tahun baru. Jika hanya disusun tanpa segera melakukan aksi dan jika hanya disusun dan berlalu setelah sekian hari. Apalagi kalau janji dan keinginan yang tertulis begitu besar, sampai-sampai merasa tidak sanggup di tengah jalan dan pada akhirnya berhenti sebelum prosesnya selesai pada tujuan.

Jika perubahan menjadi tujuan yang ingin dicapai, kenapa harus menunggu tahun yang baru? Bukankah perubahan akan lebih baik jika disegerakan tanpa harus menunggu pergantian tahun? Tak harus menunggu datangnya Januari dan berhenti pada Februari, kan?

Selain itu, kemampuan beradaptasi pada setiap keadaan menjadi salah satu hal yang sangat penting dalam menjalani hidup. Ketika siap menyusun resolusi, berarti harus siap pula untuk menyiapkan segala strategi ketika keadaan tak sesuai pada rencana.

Apalagi, keinginan untuk mengubah kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru tidak bisa dicapai dalam waktu seminggu dua minggu saja. Lebih dari itu, suatu kebiasaan baru secara rata-rata akan benar-benar terbentuk dalam kurun waktu dua sampai tiga bulan bahkan lebih.

Merasa suntuk karena resolusi tahun-tahun sebelumnya masih saja gagal menjadi hal yang diekspetasikan? Belajar hal baru dan mencoba strategi baru bisa menjadi salah satu alternatif untuk mewujudkan suatu resolusi lama yang tak terselesaikan.

Menyusun list resolusi yang sesuai dengan kapasitas diri dan tidak membebankan, lalu menggali potensi diri untuk mengembangkan diri dan juga berusaha menjalani setiap prosesnya. Tanpa terasa sebuah perubahan akan dicapai tanpa terbebani dengan target tinggi dari resolusi.

Meski begitu, mari tetap percaya dan berharap bahwa tahun yang baru akan membawa sesuatu yang lebih baik setelah melewati masa yang berat sepanjang tahun 2020. Selamat tahun baru 2021. Selamat berefleksi dan menyusun resolusi serta selamat melangkah menuju perubahan!

Ditulis oleh Khoirun Nisa, Mahasiswa Sastra Indonesia, FIB 2019.



Kolom Komentar

Share this article