Solusi Golput
Foto Ibrahim, dok. Pribadi
- 02 Nov 2016
- Komentar
- 4512 Kali
Anggaran Pemira tahun ini dipangkas cukup besar. Nominal tersisa untuk event akbar pemilihan presiden dan wakil presiden mahasiswa ini hanya Rp 50 juta. Bisa jadi alasan golput tinggi? Beberapa pekan lalu, saya berdiskusi dengan dosen di Fakultas Hukum. Dia mengatakan, dana Pemilu, Pilkada, Pilpres, atau Pemira yang minim tidak 100 persen linier dengan besar dan kecilnya golput. Karena seberapa banyak pun uang yang tersedia, tidak menjadi jaminan golput bisa diminimalisasi. Sebab, golput bukan sekadar perhitungan matematis (teknis), tetapi ditentukan oleh banyak variabel. Seperti ideologi, situasi sosial ekonomi, dan yang tak kalah penting kualitas calon.
Seperti diketahui, tahun ini banyak mahasiswa meragukan kualitas para kandidat yang bertarung. Apalagi, Pemira ini saya katakan rasa fakultas. Norman dan Endra, merupakan calon presiden BEM KM Unmul yang berasal dari fakultas yang sama di FEB. Bahkan, ketua penyelenggara Pemira (KPPR) dan ketua DPM KM Unmul merupakan mahasiswa FEB pula. Hanya ketua pengawas Pemira yang berasal dari fakultas berbeda di Fakultas Pertanian. Tapi, menurut saya sosoknya pun kurang etis. Saat menjabat sebagai panwas, mestinya ia tidak mencalonkan diri sebagai calon presiden di Pemira BEM Faperta. Atau kalau perlu menanggalkan saja posisi panwas yang tengah dia jabat sekarang. Tapi ini hanya persepsi, aturan yang melarang dan membolehkan hingga saat ini belum terkonfirmasi.
Kembali ke pembahasan golput. Jadi dalam pesta demokrasi, bukan besar kecilnya dana yang menentukan hasil. Kita sepakat bahwa kreativitas penyelenggara adalah kunci keberhasilan pesta “dari, oleh, dan untuk” mahasiswa ini. Cara yang dilakukan beragam, bisa dilakukan dengan kerja sama antar organisasi, misalnya himpunan, BEM, DPM, dosen, tokoh-tokoh mahasiswa, dan sebagainya.
Ke depan, saya menyarankan, pelaksana Pemira untuk melakukan sosialisasi yang lebih masif. Minimal DPM di tingkat fakultas. Tahun ini yang tampak antusias hanya DPM FEB. Mungkin karena Pemira universitas rasa fakultas FEB. Kemudian menghindari berpangku dengan publikasi online. Apalagi sekadar quotes dukungan kepada calon tertentu. Karena menurut saya itu sekadar gambar yang didesain untuk memenuhi timeline di media sosial. Dampaknya sangat kecil, bahkan bisa jadi tidak ada. Silakan amati, berapa like, share, dan komentar dari tiap publikasi yang Anda lakukan di Facebook. Jika di bawah 20 respon dari sekira 40 ribu mahasiswa di Unmul itu masih sangat kecil.
Potensi pemilih di Unmul ini sangatlah besar. Tahun ini mahasiswa baru mencapai 5.000 orang. Belum dua angkatan sebelumnya yang sudah berpartisipasi dalam Pemira online. Ada kemunduran, namun tak perlu disesali. Ini pelajaran bagi semua agar tidak lekas percaya diri, dan tetap menjadi penyelenggara yang mengayomi, independen, jujur, dan adil. Bukan berpihak, apalagi menguntungkan satu golongan atau warna tertentu. Demokrasi menghargai perbedaan untuk menyatukan dan menguatkan.
Yang tak kalah penting pula harus diperhatikan dalam Pemira ini adalah memposisikan mahasiswa dan lembaga kemahasiswaan sebagai subjek yang harus terlibat secara partisipatif. Bukan sebagai objek yang hanya diminta untuk memilih calon A tanpa mengetahui kelebihan, kekurangan, alasan, dan latar belakang. Bahkan, jika perlu saat ini sudah harus dirancang bagaimana penentuan calon presiden dan wakil presiden dilakukan secara terbuka. Melalui penjaringan, pendaftaran, fit and proper test, agar kualitas calon teruji. Unmul ini terlalu besar jika dibebankan kepada orang-orang berpikiran sempit dan picik.
Besar harapan, evaluasi dilakukan menyeluruh di berbagai tingkatan. Dari hulu hingga hilir. Semua elemen mahasiswa harus merasa terpanggil untuk menjadi bagian penting, demi memperbaiki sistem yang mulai rapuh dan rusak di Unmul saat ini.
Ditulis oleh:
Ibrahim
Mahasiswa FKTI Angkatan 2011
Wakil Presiden BEM KM Unmul 2015