Mahasiswa Penjaga Pancasila
Persatuan dalam kebhinekaan kini menjadi hal yang krusial, terlebih dalam kurun waktu terakhir. Hal ini menjadi buah pikir dari Ramadhan Sakti Nasution, Presiden BEM Faperta Unmul 2014-2015. (Sumber foto: istomewa)
Lebih dari enam bulan lamanya bangsa ini seakan terbelah menjadi dua arus besar. Berawal dari pusat segala daya tarik kekuasaan, ekonomi, politik, sosial dan hukum, Pilkada DKI Jakarta masih belum usai dengan kemenangan yang sebagian orang menyebutnya “Kemenangan kaum konservatif”.
Terbelahnya kutub seakan menjadi jurang antara kaum nasionalis dan kaum agamis, seakan seorang nasionalis tak pantas beragama, atau kaum agamis tak etis bicara kebangsaan. Tarikan ini pun sampai ke Kalimantan Timur, hingga menjadi diskusi hangat diantara sesama mahasiswa. Banyak yang pertemanannya berakhir hanya karena berbeda soal pemimpin non mayoritas di sebuah daerah. Pun demikian dengan besarnya kasus penodaan agama, sehingga sekarang mudah sekali bagi kita untuk menyebut seseorang dengan gelar “penista”.
Tulisan ini lahir dari sebuah keresahan, tentang sebuah perbedaan dan gesekan yang semakin besar, tentang pertaruhan negara kebangsaan yang telah diperjuangkan sejak dahulu kala.
Betapa besarnya energi massa yang digunakan sepanjang Pilkada DKI yang beriringan pula dengan kasus “penodaan” agama yang dilakukan oleh salah satu calon gubernurnya dan kini sudah mendekap di tahanan.
Dunia telah mencatatakan sejarah para pejuang kaum minoritas yang mampu mengubah peradaban dan melawan penindasan. Siapa yang tak mengenal Nelson Mandela, Martin Luther King, Mahatma Gandhi, hingga Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Mereka adalah orang-orang yang rela menderita dan berjuang untuk menolong, berbuat banyak untuk masyarakat yang dianggap minoritas dan tak pernah dianggap.
Unmul dan Keberagaman
Sematan bahwa Unmul menjadi kampus dengan politik satu warna memang tak bisa terbantahkan. Kita hanya sedang menunggu waktu untuk menghadapi politik yang beragam warna. Kampus selalu menjadi ladang subur bagi setiap organisasi berbasis massa untuk melakukan doktrinasi kepada setiap mahasiswa. Bahkan, benih-benih untuk menggeser dan menggoyang Pancasila sebagai ideologi bangsa kini keluar dari mulut-mulut sekelompok mahasiswa.
Jangankan berbeda agama, berbeda organisasi dan warna baju saja mahasiswa sudah saling berkelahi, menjadikan organisasi internal kampus hanya sebagai ajang perebutan kekuasaan, bukan lagi berbicara soal rakyat dan perjuangan kaum proletar.
Ironisnya, di tataran pelajar SMA sederajat pun benih-benih intoleransi sudah mulai bermunculan. Pada rentang Juli-September 2016, Kemendikbud telah melakukan riset menggunakan metode studi kasus dengan responden kalangan siswa SMA/sederajat, guru, dan kepala sekolah dua SMA Negeri dan dua SMA Swasta di Salatiga, Jawa Tengah, dan Singkawang, Kalimantan Barat. Hasilnya, dalam pemilihan Ketua OSIS, dengan pertanyaan apakah Ketua OSIS sebaiknya diketuai siswa dari agama mayoritas, sebagian besar menjawab tidak setuju dengan rincian: 36,3 % sangat tidak setuju; 42,5% tidak setuju; 13,1% ragu-ragu; 6,3% setuju; 1,9% sangat setuju.
Sudah seharusnya, mahasiswa menjadi penyangga keberagaman dan kebhinekaan di Republik ini. Menjadi penjaga garis depan ideologi bangsa, menghindari dan membersihkan kampus dari gerakan-gerakan anti Pancasila.
Sudah saatnya politik satu warna di kampus dihapuskan. Para penggerak massa dalam setiap organisasi harus kembali bangun dan bertarung dengan gagah berani untuk menunjukkan kedewasaan dan keberagaman dalam berpolitik. Mahasiswa harus melek politik, harus terbiasa berbeda dalam keberagaman, harus menghancurkan sekat-sekat eksklusivitas kelompok atau golongan.
Sudah seharusnya di kampus Mulawarman berdiri kelompok-kelompok muslim yang lain, seperti Pemuda Muhammadiyah atau Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama. Berikan mahasiswa kesempatan untuk memilih banyak pilihan dalam menentukan organisasi. Berikan doktrin dan pemahaman yang demokratis, berikan ruang bagi setiap mahasiswa untuk berpikir dan berpendapat. Tanggalkan segala pemujaan senioritas yang berlebihan. Usir jauh-jauh dogma dan doktrin dari partai politik, sebab mahasiswa adalah kaum intelektual nan independen. Jadikan setiap ajang pemilihan umum lembaga eksekutif sebagai ajang tarung gagasan, bukan lagi tarung golongan, apalagi gengsi fakultas. Jadikan mahasiswa sebagai objek Pemilihan Raya, bukan hanya pendulang suara.
Duduklah bersama, berdiskusilah tanpa memandang kepentingan golongan. Mahasiswa harus diajarkan hidup dalam perbedaan, yang menjadikan demokrasi kita semakin mendewasa. Tanggalkan kepentingan penarikan massa, kedepankan pendidikan politik dan konstelasi gerakan mahasiswa yang besar karena keberagamannya.
Semoga kita semua, terlebih mahasiswa mampu menjadi kaum yang semakin sadar akan politik dan menerapkan keberagaman dalam kehidupan sehari-hari. Dan semoga, Pemilihan-pemilihan raya berikutnya akan jauh lebih berwarna, untuk menguji seberapa dewasa berdemokrasi kita, tanpa friksi dan pertumpahan darah.
“Tanah airku Indonesia, negeri elok amat kucinta. Tanah tumpah darahku yang mulia, yang kupuja sepanjang masa.
Tanah airku aman dan makmur. Pulau kelapa yang amat subur, pulau melati pujaan bangsa
Sejak dulu kala.”
- Rayuan Pulau Kelapa.
Ditulis oleh Ramadhan Sakti Nasution, Presiden BEM Faperta Unmul 2014-2015.