Opini

Literasi Media Lewat Film Tilik

Film Tilik yang juga sarat akan makna literasi.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar : Restu

Sempat heboh, film karya anak bangsa Ravacana Films sejak tiga bulan penayangannya menggaet 24 juta penonton. Dengan mengangkat isu sosial budaya, film Tilik disajikan secara singkat menceritakan lingkup ibu-ibu dengan perjalanannya menggunakan truk namun berhasil menyampaikan pesan untuk penonton. Lewat perannya, Bu Tedjo sukses memikat karena dianggap merepresentasikan era dari lakon tersebut.

Bu Tedjo, ibu-ibu yang dikenal dengan gawainya. Informasi di genggaman, bak jurnalisme warga yang siap melaporkan, meneruskan, bahkan membumbui pesan-pesan. Namun, mari melihat film Tilik terkait bagaimana literasi media digambarkan lewat film ini. Dasar dari perdebatan kelompok ibu-ibu ini adalah beredarnya informasi dan foto mengenai tokoh Dian sebagai kembang desa. Respons yang dilayangkan ibu-ibu tentu beragam.

Masih sepaham dengan konteks warganet dalam film Tilik, literasi media sendiri diartikan sebagai kemampuan memahami, menganalisa hal yang timbul di media sebagai kebutuhan akan informasi. Data Kementerian Kominfo bahkan mengindikasikan terdapat 800 ribu situs penyebar berita palsu dan ujaran kebencian. Seperti pada konteks literasi pada umumnya, kemampuan ini penting karena menentukan perilaku masyarakat sehari-hari. Entah dalam menyikapi isu sosial, politik, lingkungan, dan lainnya.

Bayangkan jika informasi tak disaring oleh tiap pembaca, bukan hanya menimbulkan dampak 'dugaan' media terkhusus media baru sebagai kebenaran tunggal. Masyarakat juga menjadi malas untuk bersusah payah membandingkan informasi satu dengan lainnya atau bahkan tak mengetahui media yang kredibel seperti apa. Gentingnya, ketika masyarakat kerap berargumen tanpa dasar yang jelas, opini akan mudah sekali digiring karena kemampuan analisa atau daya kritis yang tak terasah dari kegiatan literasi.

Mungkin, generasi Z yang rentang kelahirannya akrab dengan sosial media tak terlalu khawatir dengan hal ini. Namun, bagaimana dengan mereka di luar dari generasi tersebut yang jarak kelahirannya dengan kemunculan teknologi dan gagap dalam penggunaannya?

Seperti kasus dalam film Tilik ini, meskipun ibu-ibu telah menggunakan sosial media, setelahnya malah muncul pertanyaan bagaimana mereka menganalisa dan mendekonstruksi sajian di media? Meninjau informasi secara komprehensif tentu penting, sebagai mahasiswa yang memiliki banyak akses, sepantasnya kita mempertanyakan sejauh apa literasi media yang kita lakukan? Cerminan seperti apa media yang telah dikonsumsi?

Menyinggung sedikit, disinformasi dapat digolongkan menjadi tujuh bagian yakni satire of parody, misleading context, imposter content, fabricated content, false connection, false content dan manipulated content. Lantas untuk hoaks dan clickbait sendiri, menurut Djiwandono menyebutkan ada enam standar intelektual yakni clarity, accuracy, relevancy, deepth, breadth, logic. Seperti ketika disajikan wacana, apabila salah satu standar tersebut tidak ada, maka itu dapat digolongkan sebagai hoaks. Karena nyatanya hoaks tak melulu berita bohong yang disengaja. Kekeliruan media atau bisa dari wacana tersebut ditujukan dengan maksud lain dan hal itu turut menjadi potensi munculnya hoaks.

Harus menuliskannya sekali lagi, sebagai mahasiswa yang memiliki banyak akses. Mulai dari mencari, membaca, hingga menganalisa, harusnya kita satu level lebih baik dibanding ibu-ibu dalam truk yang ingin menilik Bu Lurah, karena kurangnya literasi media tidak hanya datang dari mereka tetua. Menjadi muda namun menghabiskan waktu ribut di kolom komentar karena idola juga harusnya amat disayangkan, terlebih tetap mengikuti akun gosip yang kerap kali tak bersumber atau melebih-lebihkan. Sebab, menginjak status sebagai masyarakat informasi atau siber, tentu tugas kita semakin banyak. Tak ada kemajuan jika tak mau menyaring apa-apa.

Ditulis oleh Restu Almalita, mahasiswi Ilmu Komunikasi, FISIP 2018.



Kolom Komentar

Share this article