Opini

Cendekia di Luar Kampus: Ketika Menjadi Akademisi adalah Pilihan Terakhir Kaum Cerdik Pandai

Tulisan ini adalah refleksi atas perjumpaan dengan beberapa cerdik pandai yang memilih berkarier di luar kampus.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar : Freepik

Tulisan ini adalah refleksi atas perjumpaan dengan beberapa cerdik pandai yang memilih berkarier di luar kampus. Menjadi cerdas dan terdidik (being educated) ternyata tak menjamin seseorang mau dan berkesempatan untuk menjadi akademisi di perguruan tinggi. Tentu hal ini berpengaruh terhadap kualitas pendidikan tinggi kita di Indonesia.

Semenjak menjadi dosen lima tahun terakhir—baik sebagai dosen ‘sukarela’, dosen kontrak, maupun sebagai dosen CPNS— saya banyak bercakap dengan beberapa teman yang telah menyelesaikan studi master dan doktornya di kampus-kampus ternama di dalam dan luar negeri. Sayangnya, banyak dari mereka tak memilih dan tak berkesempatan menjadi dosen atau mengajar di kampus. Jujur saja, saya secara pribadi sangat menyayangkan hal itu terjadi.

Alasan dan penyebab mengapa hal di atas terjadi sangatlah beragam, meski kebanyakan sebenarnya bisa saja diatasi. Mulai dari alasan biaya, kendala beasiswa, harus cepat nikah, ikut suami/istri, harus segera bekerja, dan alasan yang sedikit lucu dan ‘konyol’ adalah terlanjur asyik pulang kampung.

Padahal, saya berkali-kali mengakui dan mengatakan secara jujur dan tulus hati ke mereka, bahwa jika ada yang ‘pantas’ untuk lanjut studi dan menjadi dosen serta mengajar di kampus, itu adalah mereka, bukan (tidak perlu) saya sebenarnya. Tapi, kenyataannya yang terjadi adalah sebaliknya. Saya yang secara akademik dan pengalaman tidaklah begitu ‘expert’ dan tak berkemampuan di atas rata-rata dibanding beberapa kawan yang saya akui cerdas, berotak encer, rajin, dan bahkan ada yang saya katakan jenius malah yang berkesempatan lanjut studi dan menjadi dosen.

Dengan begitu, kekecewaan dan rasa sayang saya menjadi berganda ketika ada teman potensial secara akademik dan pengalaman sudah memenuhi syarat administratif untuk menjadi dosen (akademisi) karena telah menyelesaikan studi master dan doktornya tapi nyatanya tidak juga memilih jadi dosen atau tak diberi kesempatan menjadi dosen. Itu ibarat mengabaikan emas yang sudah ada di depan mata.

Memilih jalan untuk tidak menjadi dosen dari kawan-kawan yang saya sebutkan di atas bukanlah tanpa alasan. Beragam alasan baik secara pribadi maupun institutional menjadi penyebabnya.

Faktor penyebab pertama, tak ada atau tak diberi akses. Kedua, institusi perguruan tinggi berkultur feodal. Ketiga, duitnya sedikit dibanding menjadi profesional, politisi, aktif di NGO, staf ahli, konsultan, membangun bisnis, ataupun freelance. Keempat mekanismenya ribet. Kelima, beban kerjanya banyak bersifat administratif, sehingga bikin ribet dan tumpul otak makanya tidak menarik. Itulah alasan-alasan yang sempat terdaftar dari percakapan yang ada.

Kelima faktor di atas menyebabkan menjadi akademisi adalah pilihan kesekian dan terakhir dari mereka yang saya jumpai tersebut. Pun ada yang tetap mengajar, hanyalah sekadar menyalurkan hobi untuk berbagi, atau akan menjadi pilihan kalau sudah pensiun nanti. Sekali lagi, untuk pertimbangan produktivitas perguruan tinggi dan potensi yang terbuang dalam pemajuan pendidikan dan penelitian serta inovasi saintek, hal ini sangatlah disayangkan. Ada potensi yang dilewatkan secara sia-sia.

Sebenarnya, jika yang memilih jalan tak mengabdi di kampus adalah sarjana yang hanya memiliki kemampuan rata-rata seperti saya, itu tak mengapa. Namun, bagaimana jika yang berpikir dan memilih jalan demikian adalah orang-orang cerdas, hebat, berdedikasi, humble, friendly—berkemampuan di atas rata-rata— namun tak ingin menjadi akademisi atau menjadi dosen karena alasan-alasan dan penyebab di atas? Siapakah yang rugi?

Yang merasakan kerugian tentu bukanlah mereka yang ada di dalam institusi pendidikan tinggi dan sedang menikmati segala prestise, fasilitas, dan tunjangan kesejahteraan yang ada. Yang rugi tentu mahasiswa dan masyarakat yang tidak mendapatkan menu ilmu pengetahuan bergizi dari seorang yang ‘expert’, bernas, pendeknya ahli, dan berdedikasi di bidangnya.

Di periode Kemenristekdikti sebelumnya, sempat ada formula men-dosenkan profesional di luar universitas untuk ‘masuk kampus’. Ini rupanya dalam rangka membuka ‘akses’ para profesional dan kaum cerdik pandai, cendekia yang ada di luar sana untuk membagikan ilmunya ke dunia kampus. Polanya dengan memberikan NIDK (Nomor Induk Dosen Khusus).

Namun, sepertinya terobosan tersebut adalah dalam rangka ‘menggaet’ dan menambah nilai jual jurusan ataupun kampus tersebut ‘semata’. Langkah tersebut sepertinya tidak disertai dengan ‘pembenahan’ ke dalam di mana faktor-faktor di atas soal akses, kultur feodal, beban administrasi yang berat dan ribet serta tidak relevan untuk kemajuan ilmu pengetahuan, apalagi money take home (penghasilan berupa uang) tidak berupaya untuk diubah ke arah yang lebih baik.

Saya jadi ingat pelajaran dari Prof. Habibie beserta puteranya Dr. Ilham Habibie, bahwa dengan diberhentikannya proyek strategis pesawat terbang di waktu krisis 1998, kita kehilangan ahli puluhan ribu yang terbang ke luar negeri. Karena tanpa pekerjaan dan proyek pengembangan, para anak bangsa terdidik dan ahli di bidangnya tidak akan mengembangkan dan mempraktikkan skill dan pengetahuannya. Kita kehilangan satu generasi emas.

Akankah bangsa ini kembali kehilangan satu generasi emasnya hanya karena adanya pengabaian yang kesannya terjadi secara terstruktur dan tersistematis, lagi masif?

Ditulis oleh Nasrullah, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Unmul.



Kolom Komentar

Share this article