The Power of Language: Belajar Cara Berbahasa Lewat Kisah Klasik Filsuf

The Power of Language: Belajar Cara Berbahasa Lewat Kisah Klasik Filsuf

Foto: Yaasiina/Sketsa

“Berpikir seolah mengetahui sesuatu padahal tidak mengetahui apa-apa tentang hal itu mungkin adalah kebodohan yang paling bodoh.” - Socrates.

Penggalan kalimat di atas merupakan salah satu dari banyaknya kutipan yang dikemukakan oleh para filsuf klasik Barat dan Timur dalam buku The Power of Language. Termasuk ke dalam genre buku self development, buku ini menyajikan berbagai cara untuk berbahasa dalam berkomunikasi dengan menggunakan pendekatan lewat kisah filsuf klasik Barat dan Timur. Kata-kata ‘klasik’ dan ‘filsuf’ akan banyak ditemukan dalam buku setebal 208 halaman ini. 

Memiliki sampul minimalis bernuansa putih bersih, buku ini menggambarkan bagaimana cara berbahasa yang seharusnya dimulai dengan beberapa dasar-dasar yang penting dan mudah. Ditulis oleh Shin Do-Hyun, seorang Ahli Humaniora dan Yoon Na-Ru, seorang guru yang mengajar Bahasa Korea dan pelajaran menulis di sebuah SMA di Seoul, Korea Selatan. Buku ini hadir tidak untuk menggurui, melainkan menjadi sarana refleksi diri untuk para pembaca.

Penulis membagi pembahasan buku ini ke dalam delapan tahap. Dimulai dari tahap satu, Pengembangan Diri, sampai dengan tahap delapan, Kebebasan. Meski tidak diuraikan dengan langkah demi langkah, cara yang digunakan penulis dalam menyampaikan isi buku tetap tidak mengubah esensi dari hadirnya The Power of Language. 

Setiap tahap yang ada terbagi oleh sub bab di dalamnya. Kemudian dirincikan satu persatu sehingga pembaca dapat lebih mengerti permasalahan dalam setiap tahap yang dibahas. 

Lewat narasi dan pendekatan yang berpedoman pada beberapa kisah filsuf, kemudian dianalisis oleh penulis menjadikan buku ini memiliki daya tarik tersendiri. Seperti pada tahap tujuh, Teknik Berbicara, kembali pada kutipan yang terletak di awal resensi ini tertulis, bahwa permasalahan yang biasanya muncul dalam sebuah percakapan dimulai dari kebodohan. 

Ketidaktahuan dan kebodohan akan menjadi masalah dari sebuah pembicaraan yang sedang berlangsung. Hal itu dapat berkaitan dengan orang lain, hubungan, perasaan dan lainnya. Kita terkadang mengira telah mengetahui sesuatu yang sebenarnya belum kita ketahui. Orang-orang seperti itu biasanya hanya mengetahui sedikit saja, tetapi bertindak seolah mengetahui semuanya. Hal ini tentunya dapat menimbulkan masalah dan merugikan orang lain. 

Lantas, apakah kita harus memiliki pengetahuan yang sempurna untuk dapat berbicara dengan baik? Lewat kisah Socrates, penulis memberikan jawabannya: tidak. Untuk dapat berbicara, kita tidak perlu memiliki pengetahuan yang sempurna. 

Di dunia ini, tidak ada orang yang mengetahui segalanya dengan sempurna. Hal yang benar-benar dibutuhkan adalah kerendahan hati, pikiran yang terbuka, penerimaan dan pengakuan bahwa kita tidak dapat mengetahui segala hal dengan sepenuhnya, serta selalu menumbuhkan upaya gigih untuk mencapai pengetahuan secara penuh. 

Untuk dapat menyadari ketidaktahuan dan kebodohan dalam diri sendiri, The Power of Language mengajarkan pada kita untuk berlatih berbicara secara logis. Ucapan yang bodoh biasanya tidak memiliki logika. Saat kita membicarakan hal yang tidak logis secara terus menerus, akan tiba saat di mana kita tidak tahu lagi hal apa yang harus kita ungkapkan dalam pembicaraan. 

Pada saat itu, kita bisa mengintrospeksi diri bahwa kita sebagai manusia terlalu percaya diri tanpa mengenal dan tahu dengan baik tentang hal itu. Inti dari metode percakapan ala Socrates adalah rasa kerendahan hati dan logika. 

Selain itu, terdapat pula tahap lainnya, yakni Sudut Pandang. Pembaca diajak untuk terlebih dahulu memaknai beberapa penggalan yang dikemukakan oleh masing-masing filsuf dalam tahap tersebut. Salah satunya ialah, jika ingin mengubah ucapan, harus pula mengubah sudut pandang. Terdapat nilai-nilai yang memang sudah tertanam kuat di dalamnya. 

Namun, tidak salah jika kita mengubah sudut pandang terhadap suatu hal. Sebab hal tersebut akan melahirkan sesuatu yang baru dan berbeda dengan sebelumnya. Dengan demikian, kita dapat menjadikan sesuatu yang dulunya dianggap biasa saja menjadi luar biasa. Sudut pandang sangat penting dalam kehidupan, karena belajar untuk bisa mengubah sudut pandang bukanlah hal yang mudah, melainkan sebuah proses belajar. 

Secara keseluruhan, buku ini sangat ringan untuk dijadikan bacaan di waktu senggang dan dapat habis dalam sekali duduk. Bentuk dan desain yang minimalis memudahkan pembaca membawa buku ini ke mana saja. Tahap demi tahap yang ada tidak terkesan seperti sebuah tutorial yang mengharuskan  pembaca mengikutinya. Pembaca dapat menikmati sekaligus memahami setiap tahap yang tertulis.

The Power of Language hadir sebagai sarana edukasi dalam membentuk mindset berbahasa pada aktivitas komunikasi sehari-hari. Banyak orang di dunia ini yang dapat berbicara, tetapi tidak semua dapat memiliki inti dalam pembicaraan yang terucap. 

Seindah apapun kata-kata yang sudah dirangkai, hanya akan meninggalkan pikiran yang kosong. Percakapan yang beragam dan fleksibel adalah buah dari pengetahuan yang dalam. (ysn/dre)