Langkah Penuh Makna Korban Kekerasan Seksual untuk Bangkit dalam 27 Steps of May

Langkah Penuh Makna Korban Kekerasan Seksual untuk Bangkit dalam 27 Steps of May

Sumber Gambar: Jakarta Cinema Club

SKETSA Bagaimana jika jiwa seseorang telah mati, namun raganya masih bergerak? 27 Steps of May, film yang dirilis pada 2018 silam ini berkisah tentang May (diperankan oleh Raihaanun), korban dari tindak pemerkosaan. Film ini agaknya masih relevan dengan realita bayang-bayang kekerasan seksual yang marak.

Ravi L. Bharwani, sutradara dalam film ini ingin menunjukkan pada publik bagaimana penderitaan dari korban kekerasan seksual yang terbelenggu dalam bayang-bayang masa lalu yang kelam. Ia tampaknya mengerti betul bagaimana sulitnya korban kekerasan seksual untuk bangkit dan berdamai dengan masa lalu. 

Proses penyembuhan pun rupanya memakan waktu yang cukup lama, seakan sangat sulit bagi sebagian besar korban untuk berhenti berkubang dalam trauma yang mereka alami. May, korban pemerkosaan—juga tokoh sentral dalam film ini bahkan butuh waktu delapan tahun lamanya untuk menyembuhkan goresan luka dalam batinnya.

Adegan dibuka dengan May yang tengah berada di sebuah pasar malam. Kala itu, ia masih dapat tersenyum sumringah sembari menaiki wahana yang ada di sana. Ia bahkan masih mengenakan seragam putih biru, menandakan bahwa ia saat itu duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Kisah kelamnya dimulai sejak ia pulang dari pasar malam. Secara tiba-tiba, ia disekap oleh seorang pria ke dalam rumah yang berisikan gerombolan laki-laki bejat. Masa depannya direnggut malam itu, ia tak punya otoritas atas dirinya lagi. Tak ada senyum yang cerah ketika dirinya di pasar malam. Tragedi itu tak hanya menyisakan luka fisik, namun juga luka batin yang sialnya kadung sulit disembuhkan.

Delapan tahun berlalu, rupanya tak cukup untuk menghapus memori kelam itu dari benaknya. May terpaksa hidup dengan bayang-bayang masa lalu yang kelam. Pisau silet tipis itu ia torehkan ke nadi tangannya ketika kejadian traumatik itu kembali mampir ke benaknya. 

Dunia May hanya sebatas kamarnya. Tempat itu jadi tempat paling aman buat May. Ia tak sudi untuk pergi dari sana, barang selangkah. Alih-alih pergi menyelamatkan diri, ia bahkan mengunci dirinya dalam kamar ketika terjadi kebakaran di dekat rumahnya. 

Terdapat adegan repetitif dalam film ini, seperti adegan ketika May sedang menyetrika baju sampai dengan adegan di mana ia sedang membuat boneka. Membuat kita seakan dapat merasakan kehampaan hati sang tokoh utama yang menjalani rutinitas yang itu-itu saja. Benar-benar hampa dan tak bergairah.

Menyinggung perkara kesehatan mental, 27 Steps of May memperlihatkan bagaimana tindakan keji itu dapat mengubah watak dan keadaan psikologis seseorang, bahkan dapat membunuh korbannya secara perlahan. May adalah representasi dari sekian banyaknya korban kekerasan seksual di luar sana yang harus hidup dalam keterpurukan.

Korban kekerasan seksual rela menyakiti diri sendiri (atau yang saat ini lebih dikenal dengan self-harm) dengan harapan agar luka batinnya dapat terdistraksi melalui luka fisik. Sulitnya meluapkan emosi membuat mereka mencari jalan pintas, salah satunya dengan melakukan self-harm. Namun, ketenangan yang didapat hanya sesaat sehingga bukan tak mungkin korban akan mengulangi hal tersebut seperti yang dilakukan oleh May.

Film 27 Steps of May tak hanya menyoroti keadaan mental dari perspektif korban saja. Meskipun tak ikut merasakan kejadian itu secara langsung, Bapak May, (diperankan oleh Lukman Sardi) adalah bukti bahwa May bukanlah satu-satunya korban yang merasakan imbasnya.

Berbanding terbalik dengan sang anak, ia malah melampiaskan emosinya dengan menyakiti orang lain di atas ring tinju. Selama delapan tahun pula ia alami guncangan emosi manakala melihat putrinya hidup bagai tanpa gairah, seolah semua ini adalah salahnya. Orang tua mana sih yang tak sakit hati melihat anaknya harus hidup dalam keterpurukan? “Semua sudah rusak, enggak bisa diperbaiki lagi,” katanya.

Meskipun demikian, hidup harus tetap berjalan, bukan? Walaupun terasa sangat sulit bagi May untuk bangkit dari traumanya, walaupun memori kelam itu tak akan pernah pudar dalam benak, walaupun sangat sulit baginya untuk melangkahkan kakinya melewati pintu kamar yang jadi pembatas dunianya, May nyatanya harus belajar berdamai dengan masa lalu.

Seiring berjalannya film, terlihat beberapa perubahan kecil dari rutinitas May yang bahkan bikin Si Bapak jadi keheranan; model baju dari boneka yang May buat atau bahkan menu sarapan yang berbeda dari biasanya.

“Itu namanya progres.”

Ya, benar kata Si Kurir yang setiap pagi mampir ke rumahnya untuk mengantar boneka buat May itu. Meskipun perubahannya kecil, namun itu tetap sebuah progres, ‘kan? 

Minimnya dialog, suasana hening yang mendominasi, serta alur cerita yang lambat membuat kita seakan turut merasakan keadaan emosional dari tokoh. Pada awalnya, aku sedikit meragukan film ini sebab konsep slow-burn movie yang diusung dalam sebuah film terkadang membuat sebagian orang merasa bosan. Sebaliknya, aku benar-benar ikut merasakan perasaan dari sang tokoh, baik May maupun sang Bapak. 

Meskipun minim dialog, raut wajah dan gestur tubuh dari sang tokoh utama sudah sangat cukup untuk menggambarkan keadaan mentalnya yang sangat kacau. Seakan gestur tubuhlah yang menyuarkan perasaannya. Inilah yang membuatku sempat kagum melihat akting memukau dari Raihaanun.

Satu hal yang menarik perhatianku dari film ini adalah kehadiran Pesulap (diperankan oleh Ario Bayu) yang muncul dari lubang kecil di kamar May. Tokoh ini pun masih cukup misterius bagiku—apakah ia sebenarnya memang nyata, atau hanya khayalan dari May belaka. Namun yang pasti, kehadiran Pesulap ini punya peran penting yang seolah berhasil menyulap diri May agar dapat berdamai dengan masa lalu.

Satu adegan yang membuatku terenyuh adalah adegan penutup ketika May akhirnya berhasil berdamai dengan diri dan masa lalunya. Dengan setelan baju yang berbeda dari biasanya, ia melangkah ke luar sembari memeluk sang Bapak. May, tokoh utama dalam film ini pun akhirnya berdialog. 

“Bukan salah Bapak,” katanya.

Sebuah kalimat pendek yang sangat bermakna, khususnya bagi Si Bapak. 27 Steps of May ditutup dengan adegan May yang akhirnya berani melangkahkan kakinya ke luar. Tak hanya melewati kamarnya, ia bahkan berhasil keluar dari rumahnya dan berjalan menyusuri jalanan. Tajuk film ini menyiratkan makna bahwa setiap langkah yang May tapaki sangatlah berharga.

Lewat film ini, Ravi turut menunjukkan bahwa kesehatan mental bukanlah hal yang sepele. Sudah jadi rahasia umum bahwa dewasa ini masih banyak masyarakat yang abai akan pentingnya kesehatan mental. Layaknya kanker, penyakit mental nyatanya juga dapat menggerogoti hingga membunuh penderitanya secara perlahan. Oleh karenanya, penderita gangguan mental perlu mendapat dampingan khusus layaknya penderita penyakit fisik.

27 Steps of May bukanlah kisah fiktif belaka. May adalah representasi dari ribuan korban kekerasan seksual di luar sana yang tengah berjuang melawan trauma. Kisah ini juga jadi gambaran trauma dari kasus pemerkosaan yang tumbuh subur pada tahun ‘98 silam.

Bagi kamu yang ingin mengikuti kisah May, kamu bisa menyaksikannya di platform streaming legal, Netflix. Semoga hadirnya film ini dapat membuka mata tiap insan manusia, bahwasanya kesehatan mental bukanlah hal yang sepele. Melalui tulisan yang panjang ini, aku juga berharap kisah May dapat memotivasi korban kekerasan seksual di luar sana untuk segera bangkit dan menjalani kehidupan dengan normal seperti sediakala. (dre/nkh)