Tanpa Nama

Tanpa Nama

Sumber Gambar: Dokumen Pribadi

Ada yang datang seperti senja,
bukan untuk menetap,
melainkan mengajarkan bahwa cahaya pun
harus tahu kapan merunduk pada malam.

Maka kulepas,
bukan karena tak ingin menggenggam,
tapi sebab aku percaya:
yang lahir dari terang
tak akan memilih jalan pulang lewat bayang.

Aku tak berseru kepada hening,
sebab aku tahu—
kasih yang bersih tak mengetuk paksa,
ia hanya singgah,
seperti desir halus dalam ruang bening yang tersembunyi.
Tak harus digenggam,
cukup dikenali sebagai karunia,
walau mungkin hanya sekejap mata jiwa.

Biarlah ia melangkah ke mana hatinya mengarah.
Jika memang ditulis untukku,
ia akan kembali,
bukan karena kupanggil,
melainkan karena ia tahu
di mana doa-doa tanpa nama menyala.

Dan jika tidak,
aku tetap akan menyalakan pelitaku sendiri—
di sudut sunyi yang kusebut iman,
di mana yang suci tetap kutunggu
tanpa resah,
tanpa amarah,
dengan tenang yang lama kupelajari.

Sebab bukan jemariku yang menentukan siapa tinggal,
melainkan kuasa yang lebih dahulu mencipta segalanya.

Aku belajar menjadi lembut,
bukan sebagai luka,
melainkan sebagai bentuk paling tenang dari percaya.
Bahwa kasih tak perlu dikeraskan,
cukup dijaga dalam diam yang tak menuntut.

Dan jika kelak langkah kita sejajar kembali,
biarlah itu bukan karena sisa harap,
tapi karena takdir memang menyusun ulang waktu
tanpa kita sadari.

Maka kubiarkan semesta menyulam kisah ini
tanpa campur tangan dari rinduku yang gemetar.
Sebab yang sungguh-sungguh ditetapkan untukku,
tak akan pernah goyah saat tiba waktunya tinggal.

Dan selama aku menanti,
aku akan menjadi diriku sendiri—
yang halus tanpa permintaan maaf,
yang kokoh tanpa pembuktian.

Puisi ini ditulis oleh Davynalia Pratiwi Putri, mahasiswi Program Studi Sastra Indonesia FIB Unmul 2021