Sumber Gambar : Instagram BEM FISIP
Berdiri sebagai negara demokrasi, Indonesia memiliki peluang yang baik bagi masyarakat dalam menentukan hak dan kesejahteraannya sesuai yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945.
Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo yang dipilih langsung oleh rakyat juga tentu harus mengedepankan kepentingan rakyat. Namun, jika melihat data, fakta dan analisis beberapa tahun belakangan ini. Presiden dan beberapa menteri hingga Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) justru mengeluarkan statement dan kebijakan yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
Selain permasalahan itu, kebijakan Undang-Undang (UU) yang menuai protes dari masyarakat yang justru tetap disahkan. Sehingga, kami memberikan nama rezim Jokowi sebagai rezim paradoks. Paradoks sendiri adalah keadaan di mana pernyataan yang disampaikan seolah-olah bertentangan dengan kebenaran. Jika pernyataan yang dikeluarkan bisa begini, ternyata kenyataannya tidak seperti itu. Banyak bicara, minim implementasi. Berikut lima hal paradoks yang disampaikan oleh Jokowi dan jajarannya.
1. Jokowi yang menyampaikan tweet-nya di Twitter soal lingkungan.
“Ayo berikan ide, bagaimana supaya orang memiliki kesadaran tidak mengotori lingkungan kita.” Cuitan ini muncul dalam postingan Twitter pribadi @jokowi.
Namun faktanya, melalui PP No 21 Tahun 2021 yang merupakan peraturan turunan dari Omnibus Law Cipta Kerja. Presiden Jokowi resmi menghapus limbah batu bara dari kategori bahan berbahaya dan beracun (B3). Hal ini jelas menimbulkan pertanyaan soal komitmen pemerintah yang tertuang dalam janji-janji manis Nawacita, yaitu pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan.
Jika melihat kondisinya, hari ini kerusakan lingkungan hidup sebagai akibat dari eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan. Hal tersebut dapat terjadi atas kendali Presiden Jokowi. Ini juga disebabkan karena telah disahkannya sejumlah produk hukum kontroversial seperti UU Minerba dan Omnibus Law. Fenomena ini merupakan sebuah paradoks yang kerap kali dibuat oleh rezim Jokowi.
2. Puan Maharani (Ketua DPR RI) pernah menyampaikan untuk berjanji tidak paksa selesaikan UU yang masih kontroversi.
Pada hakikatnya, tugas dan wewenang DPR sebagai penyambung lidah rakyat ialah menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat. Namun pada kenyataanya, esensi dari “Wakil Rakyat” itu sendiri sudah jauh dari tingkah laku para anggota DPR.
Berbagai produk UU yang cacat secara formil, minim pelibatan masyarakat dan menuai penolakan dari rakyat tetap disahkan bahkan saat tengah malam. Hal tersebut kemudian semakin membuat masyarakat melontarkan #MosiTidakPercaya kepada para Dewan Perwakilan Rakyat (rakyat yang mana?).
3. Mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara pernah menyampaikan kalimat tentang korupsi.
“Jangan sekali-kali melakukan korupsi, sebab jika seseorang tertangkap lantaran korupsi, maka beban akan ditanggung oleh seluruh keluarganya. Mulai suami atau istri hingga pada anak serta keluarga terdekat,” tuturnya.
Berbeda dari kenyataannya, Juliari Batubara yang merupakan menteri Jokowi keempat dan menteri sosial kedua justru ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena korupsi. Di tengah pandemi Covid-19, di mana seluruh sektor mengalami kelumpuhan termasuk sektor ekonomi, pemerintah berinisiatif untuk memberikan bantuan kepada rakyat Indonesia. Namun, dana bantuan sosial justru dikorupsi oleh Menteri Sosial. Hal ini merupakan sebuah paradoks yang membuat semakin krisisnya keadaan di tengah ketidakpastian hidup masyarakat Indonesia.
4. Dalam pidato kenegaraan sidang tahunan MPR, Presiden Joko Widodo mengungkapkan bahwa pemerintah menaruh perhatian kuat terhadap penghormatan, perlindungan, pemenuhan dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM).
“Pemerintah berupaya mempercepat penyelesaian kasus-kasus HAM masa lalu serta meningkatkan perlindungan HAM agar kejadian yang sama tidak terulang lagi di kemudian hari,” seloroh Jokowi dalam pidatonya.
Berbalik fakta, justru komitmen Jokowi soal penyelesaian kasus HAM berat di masa lalu dan penegakan HAM hanya sebatas ucapan yang minim implementasi. Masih terdapat pelarangan demonstrasi dan tindakan represif terhadap kebebasan berpendapat, hingga kriminalisasi terhadap masyarakat.
5. Menteri Perhubungan, Budi Karya pernah mengatakan virus Covid-19 tidak masuk ke Indonesia karena “Nasi kucing” dan beberapa menteri lainnya menyampaikan hal yang meremehkan Covid-19.
Pada kenyataannya, pandemi Covid-19 menyita perhatian masyarakat Indonesia termasuk pejabat publik. Sebelum adanya virus Corona di Indonesia, beberapa negara mengumumkan jika virus telah masuk di negara mereka. Hal ini justru tidak membuat pemerintah Indonesia waspada. Beberapa menteri pun melontarkan tanggapan yang kontroversial.
Kini, pandemi telah memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap sektor ekonomi, sehingga hal ini yang seharusnya menjadi perhatian oleh pemerintah. Pemerintah seharusnya tidak memanfaatkan kondisi pandemi untuk melahirkan kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat, salah satunya dengan disahkannya UU Cipta Kerja.
Ditulis oleh BEM FISIP Unmul.