Evaluasi Kebijakan Pendidikan Tinggi hingga Pembungkaman Nalar Kritis Mahasiswa di 2020

Evaluasi Kebijakan Pendidikan Tinggi hingga Pembungkaman Nalar Kritis Mahasiswa di 2020

Sumber Gambar : Istimewa

2020 telah usai. Ada beberapa catatan kritis di tahun ini, khususnya pada dunia pendidikan. Berbagai kebijakan, penyelenggaraan hingga pembungkaman nalar kritis mahasiswa.

Hal tersebut akan kami rangkum dalam tulisan ini. Judul di atas merefleksikan peran pendidikan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa pada satu tahun terakhir. Yang jauh dari demokratisasi yang diamanatkan dalam konstitusi, kebebasan berpendapat, kebebasan akademis dan semakin menampilkan watak otoriter. Baik dari segi kebijakan maupun pada tataran akar rumput, khususnya dunia pendidikan tinggi.

Dalam menarasikan kebijakan yang dikeluarkan Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, perlu adanya evaluasi kebijakan yang dikeluarkan. Pertama, Kampus Merdeka. Dengan alasan bahwa mahasiswa harus lebih inovatif dan kreatif. Perguruan tinggi dituntut untuk dapat membentuk karakter mahasiswa sebagai pemimpin masa depan.

Namun jika ditelaah kembali, justru kebijakan kampus merdeka menjauhkan nilai-nilai tri dharma perguruan tinggi. Mempersiapkan mahasiswa untuk bekerja di bidang industri. Hal yang menjadi sorotan adalah kemudahan perguruan tinggi untuk merubah statusnya menjadi PTN BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum) yang justru semakin memperluas praktik komersialisasi pendidikan.

Karena, kampus dengan dalil otonomi non-akademik, akan mencari biaya sendiri untuk biaya operasional. Pada akhirnya, yang paling mudah dilakukan adalah menaikkan biaya kuliah. Output-nya justru jauh dari Pasal 31 UUD 1945 ayat 1, yaitu setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Pendidikan tinggi akan semakin sulit dijangkau oleh masyarakat menengah ke bawah.

Kedua, Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020 terkait keringanan UKT bagi mahasiswa selama pandemi Covid-19. Kebijakan tersebut tidak menjawab permasalahan yang dihadapi mahasiswa. Sebab mahasiswa tetap wajib membayar UKT secara penuh pada setiap semester (Pasal 9 ayat 1).

Padahal, sangat rasional terjadi penurunan UKT karena proses perkuliahan dilakukan secara daring. Di mana secara tidak langsung fasilitas dan sarana prasarana kampus tidak terpakai maksimal mengingat dalam kondisi pandemi.

Harusnya, keringanan UKT dapat dilakukan secara general. Karena ada hak yang berhak kita tuntut. Kemendikbud cenderung lepas tangan terhadap persoalan tersebut, karena kebijakan itu kembali ke perguruan tinggi masing-masing. Sehingga kampus dengan leluasa menentukan peraturan yang tidak berkeadilan, berpotensi diskriminatif serta jauh dari harapan mahasiswa dengan dalih dilegitimasi Permendikbud Nomor 25 tahun 2020.

Ketiga, surat edaran Kemendikbud pada tanggal 9 Oktober 2020 yang secara tidak langsung melarang mahasiswa untuk tidak mengikuti kegiatan demonstrasi menolak UU Cipta Kerja. Hal ini justru mencederai semangat reformasi dan kebebasan berpendapat warga negara, khususnya mahasiswa. Padahal kemerdekaan menyampaikan pendapat sudah diatur dalam konstitusi negara kita.

Demokratisasi Kampus dan Pembungkaman Nalar Kritis

2020 juga menjadi catatan evaluasi tentang demokratisasi kampus bahkan pembungkaman nalar kritis mahasiswa. Tercatat, semenjak Nadiem menjabat marak terjadi kasus sanksi akademik bahkan drop out terhadap mahasiswa. Kita ketahui bersama, bahwa kebebasan akademik yakni kebebasan berpendapat adalah bagian yang tidak dapat terpisahkan dan hal yang harus dijunjung tinggi oleh kampus.

Kilas balik terkait studi kasus penjatuhan sanksi drop out di tahun 2020 ini antara lain 28 mahasiswa UKI Paulus dikeluarkan dari kampus hanya karena melakukan aksi demonstrasi terkait syarat pengurus organisasi kemahasiswaan. Kemudian, 37 mahasiswa Universitas Nasional yang di skors dan drop out karena menuntut keringanan UKT selama masa pandemi Covid-19.

Bahkan baru-baru ini, seorang mahasiswa Unnes yaitu Frans Josua Napitu yang mendapat skors enam bulan karena melaporkan rektornya kepada KPK atas dugaan tindak pidana korupsi, dan masih banyak lagi. Ketiga kasus di atas menjadi bukti konkret pembungkaman dan pengerdilan ruang kebebasan sipil di lingkungan kampus.

Hal ini juga menjadi suatu kemunduran demokrasi di Indonesia, terlebih kampus. Kampus sebagai institusi pendidikan harusnya tidak mengekang kebebasan berekspresi dan ruang gerak mahasiswa dalam menjalankan tanggung jawabnya sebagai kaum intelektual.

Catatan akhir tahun pendidikan tinggi ini menjadi evaluasi dan kegagalan pemerintah khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam hal membentuk kebijakan yang tidak diskriminatif dan berkeadilan untuk kepentingan anak bangsa dalam hal mencerdaskan kehidupan bangsa. Serta kampus yang harus menjamin kebebasan berpendapat, berekspresi mahasiswa, menghargai, dan menjunjung tinggi ruang-ruang kebebasan sipil.

Rilis ditulis oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FISIP Unmul.