19 Tahun UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Indonesia Darurat KDRT: Lemahnya Penanganan Hukum dan Tanggung Jawab Pemerintah
Sumber Gambar: Dokumen Pribadi
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan kasus kekerasan terhadap perempuan yang menempati urutan pertama. Merujuk dari data yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan, sebanyak 61 persen kasus kekerasan di ranah privat, 90 persennya adalah KDRT. Sesuai dengan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bahwa sejak Januari sampai Juni 2023, KDRT adalah kasus yang paling banyak dialami oleh korban yaitu sebanyak 7.649 kasus.
Bersamaan dengan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) Kaltim per 1 januari 2023 pun mencatat, terdapat 439 korban KDRT di Kalimantan Timur. Beberapa waktu lalu, kembali mencuat kasus pembunuhan perempuan oleh pasangannya setelah sebelumnya korban melaporkan KDRT yang ia alami ke kepolisian. Setelah 19 tahun lahirnya Undang-Undang Penghapusan KDRT (UU PKDRT), kami menemukan bahwa kekerasan dalam rumah tangga masih menjadi ancaman serius bagi hidup perempuan.
Hambatan implementasi UU PKDRT dari tahun 2004 hingga saat ini masih sama, yaitu persoalan terkait perlunya perkawinan yang dicatatkan sebagai salah satu syarat agar UU ini bisa diterapkan. UU PKDRT sulit diterapkan dalam perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) maupun di catatan sipil.
Persoalan selanjutnya adalah kurangnya kebijakan operasional dalam UU, sehingga saat ini masih terdapat perbedaan tafsir pada aparat penegak hukum mengenai kasus penelantaran rumah tangga dan perintah perlindungan yang sangat susah didapatkan oleh korban.
Proses pembuktian juga tak kalah pelik. Keharusan untuk adanya satu orang saksi ditambah dengan satu alat bukti masih menjadi kendala dalam pembuktian kasus KDRT di tingkat kepolisian. Selain itu, kriminalisasi korban KDRT juga masih terjadi. Yakni proses hukum yang selalu lebih cepat ketika istri dilaporkan dibandingkan ketika dia melapor sebagai korban.
Pentingnya media dan media sosial menjadi bagian dari perjuangan stop KDRT. Media mempunyai peran penting dan signifikan dalam mengajak publik dan mendorong perubahan kebijakan secara cepat. Sejak diundangkannya UU PKDRT, media turut mendorong pelaksanaan dengan menuliskan suara-suara korban. Demikian juga dengan media sosial yang bisa menjadi salah satu rujukan untuk suara korban.
Tulisan tentang suara korban ini menjadi magnitude penting agar korban yang dulunya tidak berani bersuara, menjadi berani bersuara. Namun, literasi juga penting bagi publik dan media agar dapat mendukung korban untuk bersuara, tidak melakukan penghakiman bagi korban, dan tidak membuat korban menjadi terpojok di media sosial.
Literasi media menjadi kata kunci agar media dan publik secara konsisten menyuarakan suara korban, tidak melakukan sensasionalisme yang menjadikan korban takut dan berhenti untuk bersuara. Karena kebebasan menyatakan pendapat dan berekspresi lebih-lebih pada korban, menjadi bagian penting dari perjuangan untuk stop KDRT.
Kesulitan dan hambatan yang dialami korban dalam 19 tahun perjalanan UU PKDRT ini adalah alarm bagi pemerintah. Penanganan korban masih terkendala dengan minimnya pemahaman aparat penegak hukum (APH) tentang KDRT dan budaya hukum yang belum sensitif gender. Ini mengakibatkan terhentinya proses hukum dan penyelesaian kasus yang belum berorientasi pada pemenuhan hak korban.
Minimnya dukungan dari keluarga, tempat kerja, dan lingkungan terdekat membuat korban sendirian menanggung kasusnya. Korban dapat semakin terbebani dengan stigma sosial, sehingga tak jarang yang kemudian mencabut laporan. Kami menuntut pemerintah untuk:
Melakukan sosialisasi dan memberikan informasi kepada masyarakat tentang KDRT dan UU PKDRT. Lemahnya pengetahuan masyarakat akan hal ini menjadi hambatan untuk mencegah dan melindungi korban KDRT.
Mengintegrasikan KemenPPPA, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), kepolisian, dan rumah sakit dalam satu jaringan kerja untuk pencegahan dan perlindungan dari KDRT.
Memastikan aparat penegak hukum mulai dari struktur yang paling bawah untuk menggunakan UU PKDRT dalam menangani kasus-kasus KDRT.
Memasukkan KDRT dalam skema perlindungan buruh perempuan dan kesehatan dan keselamatan kerja (K3).
Segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) agar pekerja rumah tangga (PRT) bisa mendapatkan perlindungan yang menyeluruh.
Mengajak berbagai pihak seperti publik dan media untuk melakukan sosialisasi stop penghapusan KDRT, karena KDRT masih mengancam hidup perempuan.
Press release ditulis oleh Alyda Khairunnisa, Koordinator Departemen Politik Perempuan Mahardhika Samarinda, mahasiswa FISIP 2022