Sumber Gambar: Website Freepik
Tulisan ini saya harap dapat mewakili mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, khususnya program studi (Prodi) Sastra Indonesia atau Inggris, dalam menghadapi lelahnya hunjaman pertanyaan orang-orang setelah mereka mendengar “Aku ambil kuliah jurusan sastra.” Mulai dari tentang apa saja yang dipelajari, prospek kerjanya apa, bahkan pertanyaan (baca: dakwaan) tentang jurusan sastra yang hanya mengkaji puisi.
Awalnya saya pikir pertanyaan semacam itu adalah hal yang biasa. Maklum, Fakultas Ilmu Budaya, dan seperangkat program studinya, adalah fakultas paling muda di Universitas Mulawarman. Usianya kurang lebih baru 15 tahun. Namun, sepanjang 12 semester saya berkuliah di sini, pertanyaan-pertanyaan yang kurang lebih sama seperti yang saya sebutkan sebelumnya, selalu terulang dan pada akhirnya berhasil membuat saya naik pitam.
Dalam suatu kejadian, saya ditanya (untuk kesekian kalinya) tentang prospek kerja. Di dalam hati ingin sekali menjawab “Aku mau jadi astronaut! Kenapa? Suka-sukaku, lah. Ada masalah?” Walaupun kenyataannya saya hanya menjawab “Belum tahu, bro. Hehehe.”
Tapi, yang menjadi kecemasan tersendiri bagi saya adalah ketika ada kesalahan persepsi mengenai apa itu sastra dan apa saja yang dipelajari mahasiswa yang mengambil jurusan sastra. Banyak yang menganggap sastra hanya berkutat di puisi, novel, dan hal-hal sejenisnya. Di satu sisi, anggapan seperti itu tidak salah. Namun, dari apa yang saya pelajari, sastra jauh lebih luas.
Ketika berbicara tentang sastra, kita berbicara tentang karya sekaligus proses ekspresi seorang manusia yang dituangkan melalui tulisan. Tulisan bukan hanya sekadar bunyi yang diwakilkan oleh simbol dan disusun sedemikian rupa agar dapat dipahami oleh pembacanya. Melainkan ada nilai yang mendasari terciptanya tulisan tersebut.
Nah, proses terbentuknya nilai ini juga dibahas dalam perkuliahan para mahasiswa jurusan sastra. Proses-proses pembentukan nilai yang melibatkan aspek budaya, masyarakat, lingkungan, serta ekonomi dibahas dengan teori analisisnya masing-masing. Singkatnya, materi kebahasaan (linguistik dan sebagainya), sosiologi, gender, hingga ideologi adalah “makanan” sehari-hari teman-teman jurusan sastra. Objek pembahasannya juga sama beragamnya. Mulai dari puisi, novel, lagu, fenomena sosial, politik, bahkan sampai iklan dan film.
Sebagai contohnya, jika ada yang mau berbicara tentang kekerasan seksual dengan mahasiswa jurusan sastra, obrolannya tidak bakal cukup hanya dengan sekali duduk. Bagaimana tidak? Kajian gender saja jadi mata kuliah tersendiri. Bahkan, pelakunya adalah mahasiswa sastra itu sendiri! Ironi, oh, ironi.
Begitulah sedikit dari banyak hal mahasiswa jurusan Sastra di Universitas Mulawarman. Tentu saja banyak sekali rincian yang saya rangkum. Karena kalau saya jelaskan serinci-rincinya, bisa jadi silabus tersendiri, hehehe.
Kalau pembaca masih kepo seluk beluk jurusan sastra dan isinya, termasuk mahasiswanya, bisa tanya langsung ke mahasiswanya, ya. Tenang, walaupun mereka kadang berwarna-warni, mereka nggak menggigit, kok!
Opini ini ditulis oleh Zain Aqil Hidayat, Mahasiswa Program Studi Sastra Inggris FIB 2018 sekaligus Koordinator Komunitas Laboratorium Intelektual Humanawa.