Rem Blong dan Kapitalisme dalam A Man Called Otto

Rem Blong dan Kapitalisme dalam A Man Called Otto

Sumber Gambar: IMDB

A Man Called Otto merupakan adaptasi dari novel karangan penulis Swedia. Dalam novelnya, tokoh utamanya bernama Ove. Namun, dalam film ini nama tersebut diubah dengan yang lebih berbau Amerika, yaitu Otto. Diperankan oleh Tom Hanks, aktor Hollywood yang berkali-kali memenangkan Oscar.

Otto merupakan seseorang berumur enam puluh tahun. Nama lengkapnya ialah Otto Anderson. Istrinya telah setahun meninggal. Ia sangat mencintai istrinya, dan kematiannya membuat dirinya nyaris gila. Mengidap depresi, ia kemudian memutuskan untuk bunuh diri.

Percobaan bunuh diri itu pada akhirnya berkali-kali gagal karena ada beberapa kejadian yang menjadi penyebabnya. Seorang tetangga baru bernama Marsol menjadi faktor utama. Ia menyadarkan Otto bahwa dirinya masih bisa melanjutkan hidupnya.

Namun, bukan itu yang menjadi fokus tulisan ini. Melainkan satu hal yang menjadi judul di atas: rem blong.

Dalam sebuah adegan kilas balik, Otto mengingat momen ketika ia berlibur bersama istrinya. Saat itu, istrinya sedang hamil. Tiba-tiba, bus yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan. Bayi mereka keguguran. Sedangkan istrinya, menjadi cacat selamanya.

“Aku tidak akan memaafkan mereka.”

Otto menyimpan dendam kesumat karena kejadian itu. Bukan hanya kepada sopir bus, tetapi juga kepada perusahaan bus yang lalai. Kalau mereka rutin melakukan perawatan, hal tersebut takkan terjadi.

Persoalan rem blong ini menarik. Relevan dengan banyak kejadian serupa di Indonesia.

Peristiwa di Lok Bahu akhir Januari ini, misalnya. Seorang sopir truk menyadari remnya blong. Panik, ia akhirnya membanting setir. Truk pun terhenti di sebuah dataran rumput.

Kejadian yang diliput oleh koran Metropolis itu heroik. Namun, seperti makian Otto, ada perusahaan yang lalai. Itu pun menjadi bahasan dalam liputan Metropolis. Pelaku usaha transporter dinilai tidak melakukan pemeliharaan dan perawatan kendaraan.

Sopir truk itu pun cukup beruntung. Truknya terhenti di daratan rumput di pinggir jalan. Bayangkan jika truk itu tetap melaju setelah ia banting setir. Ia mungkin akan jatuh ke jurang. Jika itu terjadi, apakah perusahaan akan bertanggung jawab?

Kecelakaan maut di Balikpapan awal tahun lalu bisa jadi gambaran. Serupa, kejadian itu terjadi karena rem truk tronton yang blong. Saat hendak menuruni jalan, truk lepas kendali. Belasan kendaraan ditabrak truk yang melaju kencang. Empat orang pun meninggal dunia, lainnya luka-luka. Siapa yang disalahkan? 

Sopir truknya.

Seorang sopir truk berusia 48 tahun menjadi tersangka kasus ini. Padahal, pemeliharaan dan perawatan truk itu tanggung jawab perusahaan. Namun, nama sopir itu seolah jadi aktor utama.

Hal itu juga menjadi kritikan pemerhati transportasi. Dikutip dari Detikcom, yang diselidiki harusnya bukan hanya sopirnya, tetapi perusahaan terkait juga perlu diperiksa.

Namun, pada akhirnya hanya sopir truk malang itu yang menjadi tersangka. Padahal ia sudah mengendarai truk sesuai prosedur. Pemeriksaan terhadap perusahaan juga tidak ada tindak lanjut. Orang-orang pun lupa.

Maka, makian Otto adalah makian kita semua. Makian terhadap sistem kapitalisme hari ini. Sistem yang tidak peduli terhadap rem blong. Sistem yang membuat istri Otto cacat seumur hidup. Sistem yang tak peduli akan keselamatan pekerjanya. Sistem yang hanya peduli terhadap modal sedikit-dikitnya dan untung sebanyak-banyaknya.


Daftar Pustaka:

Opini ditulis oleh Muhammad Al Fatih, mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP 2022, Universitas Mulawarman.