Foto: Pexels
Reaksi kebencian diubah dalam permainan diksi dan gaya bahasa yang sentimentil di dalam puisi. Pada puisi, situasi dibuat elastis untuk mendapatkan kekayaan makna. Objek menjadi sasaran untuk membuatnya tersudutkan atas segala emosi yang dituliskan oleh penyair. Objek dibuat anonim untuk mengulik substansi dan mengenali keadaan atau realitas yang akan dibawakan.
Sastra dibuktikan sebagai catatan kesaksian atau serangkaian peristiwa yang terjadi. Sebagai serangkaian peristiwa, boleh jadi ia mengungkapkan hakikat di balik peristiwa dengan cara tersirat atau tersurat. Rekaman situasi sosial diungkapkan dengan cara puitisnya untuk menyampaikan semangat zaman atau bahkan luka sejarah yang terjadi di suatu masa tertentu.
Puisi “Cinta” adalah karya Muhammad Yasir atau yang sering dikenal sebagai Yasir Dayak, yakni seorang penulis asal Kalimantan Tengah. Di dalam puisinya, Yasir memperlihatkan bahwa penyair tidak hanya duduk berpangku tangan dan diam memandangi segala bentuk yang menimpa masyarakatnya. Ia tidak melupakan tanggung jawabnya, melainkan justru memberikan penyadaran kepada masyarakat pembaca.
Potret Kalimantan yang tragis. Penyair seolah mengetahui bagaimana bertindak menyalurkan aspirasi dan kemarahan masyarakatnya. Melalui puisinya pula ia menyampaikan fakta sosial untuk dikonsumsi secara jernih oleh pikiran dan hati. Ia seolah tidak melupakan fungsi puitis dengan membidik individu sebagai pribadi, tetapi dengan menitikberatkan pada kondisi sosial dan masalah kemanusiaan. Perhatikan puisi berikut ini:
8 Agustus, 2016
Cinta
Oleh: Yasir Dayak
Cinta adalah hutan rimba raya Pulau Kalimantan yang dibabad habis demi perkebunan kelapa sawit dan tambang batu bara
Cinta adalah orang-orang Dayak yang mati mampus terhirup karbon dioksida dan asap pabrik-pabrik
Cinta adalah sungai Utik, Kapuas, Barito, Mahakam, dan danau-danau yang tercemar limbah merkuri
Cinta adalah sepasang enggang berkelahi dengan garuda demi menjadi simbol negeri ini
Cinta adalah upacara ritual puja-puji pada leluhur dan yang esa yang mabuk di Sorgaloka di atas langit biru, putih, dan abu-abu
Cinta adalah nyawa yang dicabut bukan oleh malaikat bukan oleh Tuhan, tetapi oleh pemodal dan saudara sendiri
Cinta adalah kerling sebuah nama kelahiran bayi-bayi Dayak yang kehilangan harapan untuk hidup
Cinta adalah 300 bocah se-Kalimantan yang mati terhirup asap pembakaran lahan
Cinta adalah 9 bocah lebih yang mati terhirup radiasi tambang batu bara di Kalimantan Selatan
Cinta adalah dua cerobong besi yang berak asap hitam yang mengepul naik ke cakrawala pulau Kalimantan tak nyaman di hati
Cinta adalah jalan merah yang becek kala hujan tiba dan tak seorang pun mampu melewatinya
Cinta adalah negeriku yang menjajah rakyatnya sendiri demi Amerika demi Cina dan demi bangsa imperealis lainnya
Cinta adalah polisi dan militer yang terus memukuli rakyat sipil demi mulusnya jalan penguasa
Cinta adalah fasis dan rasis yang dilakukan kaum-kaum oportunis dan bajingan yang saling bakar klaim salah dan benar
Cinta adalah puisimu yang kau tulis setelah bercinta dengan kekasihmu atau usai berdoa dengan Tuhanmu
Cinta adalah kau dan aku yang konon dianggap mulia dari pada sembahyangmu atau hari-hari besar agamamu!
Gunung Pati, 8 Agustus 2016
Yasir mendekonstruksi cinta yang penuh kasih, kehangatan atau bahkan seperti bunga yang bermekaran. Cinta yang digambarkan adalah empati yang mengganggu hati nurani kita. Potret Kalimantan bukan lagi sungai yang bersih, hutan yang rimbun, atau bahkan gairah erotisme. Akan tetapi, ia menuliskan cinta yang tragis dan kebencian yang semacam keselarasan bagi kehidupan. Potret Kalimantan dalam puisi “Cinta” karya Yasir merupakan kepedihan masyarakat Kalimantan di tengah gempuran industri, asap pabrik, dan lubang tambang yang tertuang dalam kutipan lariknya, “Cinta adalah orang-orang Dayak yang mati mampus terhirup karbon dioksida dan asap pabrik-pabrik” serta “Cinta adalah sungai Utik, Kapuas, Barito, Mahakam, dan danau-danau yang tercemar limbah merkuri”. Ia menangkap dan mencatat potret sosial dengan diksi yang sarkas dan suara sentimentil yang seolah meneriaki pembacanya.
Erich Formm dalam bukunya yang berjudul Cinta, Seksualitas dan Matrirki1 mengungkapkan bahwa kebudayaan modern menganggap tabu cinta yang egois. Bertindak egois adalah dosa dan mencintai orang lain adalah tindakan mulia. Akan tetapi, keduanya menjadi kontradiktif karena doktrin lainnya mengasumsikan bahwa dorongan yang sangat kuat dalam diri manusia dan dilegimitasi oleh ego. Penyair tidak menuliskan cinta yang rakus dan egois, tetapi cinta yang diimajinasikan adalah kenestapaan dan kepedihan orang lain. Maka ini serupa pula dengan gagasan seorang filsuf bernama Kant, cinta itu kebaikan jika melakukan sesuatu untuk memberikan kebahagiaan bagi orang lain. Ia menyuguhkan cinta yang rasional dengan melarang prinsip etika dan kesenangan terhadap diri sendiri.
Akan tetapi, secara paradoks Yasir menuliskan bahwa lahirnya cinta itu dari sepasang kekasih yang bersetubuh di tengah situasi yang kacau dalam kutipan lariknya, “Cinta adalah puisimu yang kau tulis setelah bercinta dengan kekasihmu atau usai berdoa dengan Tuhanmu” dan “Cinta adalah kau dan aku yang konon dianggap mulia dari pada sembahyangmu atau hari-hari besar agamamu!”. Apakah kelahiran cinta dikatakan ada setelah adegan bersetubuh antar seorang kekasih? Jika iya, Yasir justru menggambarkan penundukan manusia melalui cinta yang tragis. Cinta yang dituliskan secara kontradiktif menggambarkan ketidaksetaraan dan ilusi kelembutan. Formulasi puisi ini secara berlebihan tentu melahirkan polemik baru dengan berbagai lapisan pemaknaan. Cinta yang berakhir di ranjang oleh sepasang kekasih dengan penggambaran erotis justru membenarkan pendapat Nietzsche bahwa pencarian cinta adalah tipikal budak yang tidak dapat berjuang untuk apa yang mereka inginkan. Penundukan individu sebagai seorang manusia berakhir ketika ia menemukan cinta.
Dalam lariknya yang lain, penyair justru menuliskan cinta sebagai sesuatu yang agung dan sakral seperti, “Cinta adalah upacara ritual puja-puji pada leluhur dan yang esa yang mabuk di Sorgaloka di atas langit biru, putih, dan abu-abu”. Cinta menjadi fenomena yang sakral dan dipenuhi dengan spiritulis dengan Tuhan. Maka secara bersamaan, cinta menggambarkan ketidakmampuan dasar untuk menjadi diri sendiri. Justru dengan pemaknaan yang berlapis, puisi ini menggambarkan ketidakmampuan manusia dalam mewujudkan keresahannya karena sanggama menyelesaikan segala permasalahan.
Dalam pemaknaan lainnya, yang paling mengejutkan ialah penyair mencoba menafsirkan kembali perkembangan ritual-ritual spiritualis dan aktivitas seksual. Di dunia masyarakat pertanian masyarakat primitif bahwa pada saat menanam benih harus ada juga ritual seks. Ritual persenggamaan ini juga dilakukan oleh orang-orang Indian Pipeless di Salvador dan Indian Masquaki. Mereka melakukannya berkali-kali pada setiap musim menyemai benih. Begitu pula yang terjadi di Belanda dan Jerman, mereka akan menyetubuhi istri masing-masing setelah menanam biji-bijian di tanah pertanian mereka sendiri.2
Betapa sucinya adegan persanggamaan itu, serupa dengan mereka yang menganut Islam Ortodoks yang selalu berdoa sebelum menyetubuhi istri-istrinya. Ini memberikan pemaknaan ulang bahwa aktivitas persetubuhan dianggap sebagai perbuatan yang mengambil substansi suci Tuhan. Dalam puisinya, boleh jadi penyair sangat gamblang menelanjangi ritual-ritual upacara dan erotisme yang merupakan semata-mata cara bertuhan untuk mereka yang memercayainya.
Di balik fenomena atau situasi di masyarakat Kalimantan, Yasir justru meredupkan kebenaran eksistensinya sebagai penyair realis dengan menganalogikan kembali cinta sebagai sanggama sepasang kekasih dan penundukan manusia. Ini bukan berarti sebuah kegagalannya sebagai penyair, tetapi normalisasi pandangan cinta sebagai bentuk penundukan masyarakatnya. Ini seolah bentuk pelayanan cinta yang diperbudak dan berhutang budi pada tuannya. Pada akhirnya cinta yang dituliskan oleh penyair adalah cinta yang erotis dan melupakan situasi yang sebelumnya ia tuliskan sangat kacau. Cinta menundukkan penyair! Seperti kalimat yang sangat terkenal, “Apa artinya hidup tanpa cinta?”
Di saat yang sama ketika memaknai puisi ini, seolah membisikkan bahwa sebuah masyarakat tanpa cinta akan kehilangan nilai dan penuh dengan keinginan saling menghancurkan karena perasaan terancam. Akan tetapi, melalui puisi ini potret Kalimantan dikuliti, dikupas dan menyisakan daging yang remuk. Kalimantan yang penuh dengan lubang tambang, tradisi yang ditinggalkan, dan menyisakan kepedihan.
Referensi:
[1] Fromm, Erich. 2007. Cinta, Seksualitas, dan Matriarki. Yogyakarta & Bandung: Jalasutr.
[2] Robert Briffault dalam Krich. 2009. Anatomi Cinta. Jakarta: Komunitas Bambu. (hal 31-32).
Opini ditulis oleh Esty Pratiwi Lubarman, alumni FIB Unmul angkatan 2017 dan sekretaris komunitas Savrinadeya Support Group, serta merupakan anggota komunitas pegiat sastra Mantra Etam.