Poligraf: Alat investigasi yang Jadi Pembahasan di Sidang Kasus Pembunuhan Brigadir J

Poligraf: Alat investigasi yang Jadi Pembahasan di Sidang Kasus Pembunuhan Brigadir J

Foto: Okezone.com

Dalam persidangan kasus pembunuhan Brigadir J pada Rabu (14/12), Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan ahli poligraf ke persidangan atas terdakwa Richard Eliezer, Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Ricky Rizal dan Kuat Ma'ruf. Berdasarkan hasil keterangan uji poligraf, para ahli menyampaikan bahwa Richard Eliezer dan Ricky Rizal terindikasi tidak berbohong dalam memberikan pernyataan kepada penyidik.

Sementara tiga terdakwa lainnya; Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, dan Kuat Ma'ruf terindikasi berbohong dalam memberikan pernyataan kepada penyidik. Terungkap bahwa Ferdy Sambo berbohong saat dirinya menjawab tidak ikut menembak Brigadir Yosua. 

Putri Candrawathi juga terungkap berbohong saat dirinya menjawab tidak memiliki hubungan perselingkuhan dengan Yosua di Magelang. Begitu pula Kuat Ma'ruf yang terindikasi berbohong saat menjawab tidak melihat Ferdy Sambo menembak Yosua. Pihak Kuat Ma'ruf sendiri menyatakan bahwa dirinya tetap berkata jujur dan terheran mengapa hasil uji poligraf menunjukkan bahwa dirinya berbohong. 

Di sisi lain, hasil uji poligraf sendiri juga dianggap oleh beberapa ahli hukum tidak dapat digunakan di dalam persidangan sebagai bukti konkret karena kredibilitas alat tersebut masih dapat dinilai tidak efektif yang disebabkan beberapa faktor. Lalu, bagaimana sebenarnya uji poligraf tersebut dan seberapa efektif untuk mendeteksi kebohongan dari seseorang?

Poligraf adalah sebuah alat yang merekam fenomena psikologis sistem saraf seperti tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, gerak tangan dan kaki dari subjek manusia saat menjawab pertanyaan yang diberikan. Diketahui bahwa uji poligraf diciptakan pada tahun 1921 oleh John Augustus Larson dan telah digunakan di berbagai institusi khususnya lembaga penyidikan seperti kepolisian di seluruh dunia. 

Alat tersebut diciptakan dari sebuah fenomena di mana ketika seseorang berbohong maka dalam sistem bawah sadarnya mereka akan mengeluarkan reaksi stres dan gugup. Sehingga, dengan bantuan alat poligraf ini bisa membantu merekam perubahan reaksi dan perilaku seseorang dan mengindikasikan apakah seseorang tersebut berbohong atau tidak.

Pertanyaan yang diajukan dalam uji poligraf ini memiliki berbagai macam metode. Namun, format tes yang paling banyak digunakan adalah metode pertanyaan Control Question Test (CQT). CQT adalah metode pertanyaan yang membandingkan tanggapan atas pertanyaan kontrol dengan pertanyaan relevan. 

Pertanyaan kontrol dibuat untuk mengontrol efek dari sifat pertanyaan relevan yang sebenarnya ingin ditujukan. Pertanyaan kontrol berkaitan dengan perbuatan salah yang mirip dengan kasus yang diselidiki, tetapi lebih berfokus pada masa lalu subjek dan biasanya cakupannya luas. Contohnya, "Apakah anda pernah mengkhianati orang yang mempercayai anda?"

Seseorang yang mengatakan kebenaran cenderung akan lebih takut pada pertanyaan kontrol daripada pertanyaan relevan. Hal ini dikarenakan pertanyaan kontrol dirancang untuk membuat subjek khawatir tentang kebenaran masa lalu mereka sementara pertanyaan relevan menanyakan tentang kejahatan yang mereka tahu tidak mereka lakukan. Sementara, seseorang yang mengatakan kebohongan cenderung akan lebih takut pada pertanyaan relevan daripada pertanyaan kontrol karena mereka tahu kejahatan tersebut mereka lakukan.

Hasil dari uji poligraf sendiri belum dapat dipastikan kredibilitas sepenuhnya. Subjek bisa saja dapat mengeluarkan reaksi menggebu-gebu saat menjawab pertanyaan dengan jujur. Selain itu, berdasarkan keterangan dari profesor psikiatri forensik, Don Grubin, uji poligraf dapat menjadi tidak efektif karena bisa saja pertanyaan yang dirumuskan tidak terstruktur dan pewawancara salah membaca hasil.

Akan tetapi, jika pemeriksaan dilakukan oleh seorang ahli yang sangat terlatih dengan baik dan tes dilakukan dengan benar dan struktur pertanyaan yang tepat, maka tingkat akurasinya dapat mencapai 80-90%. Selain itu, berdasarkan keterangan ahli poligraf dari Kepolisian Republik Indonesia, Aji Febrianto Ar-Rosyid mengatakan bahwa tes poligraf yang dimiliki memiliki tingkat akurasi mencapai 93%.

Oleh karena itu, apabila uji poligraf yang dilakukan pada Richard Eliezer, Ferdy Sambo, Putri Candrawati, Ricky Rizal dan Ku'at Ma'ruf dilakukan oleh ahli yang professional dan terlatih, serta pertanyaan yang diajukan terstruktur, maka hasil uji poligraf tersebut memiliki tingkat akurasi 93%. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa pernyataan Ferdy Sambo, Putri Candrawati dan Kuat Ma'ruf yang terindikasi bohong dapat mendekati kebenaran bahwa mereka telah berbohong saat menjawab pertanyaan.

Opini ditulis oleh Salshabila Anggrahini Subekti, mahasiswa Magister Manajemen, Universitas Mulawarman.