
Sumber Gambar: Okezone
Tunjangan Kinerja (Tukin) dosen membeku sejak 2020. Pemerintah bersembunyi di balik alasan bahwa tukin tersebut belum pernah dilakukan sebelumnya. Padahal, kejahatan ini terjadi sebab Nadiem Makarim yang tidak mengalokasikan anggaran tukin dosen.
Dibenarkan bahwa Nadiem Makarim menerbitkan Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) No. 447/P/2024 tentang Nama Jabatan, Kelas Jabatan, dan Pemberian Besaran Tunjangan Kinerja Dosen sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) berdasarkan persetujuan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) tahun 2022.
Namun, alih-alih keputusan tersebut menjadi angin segar, yang terjadi justru menjadi jurang kedua bagi Nadiem karena keputusan tersebut terbit tanpa disetujui lebih dulu oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terkait anggaran.
Kelalaian beruntun yang dilakukan Nadiem menyulut kemarahan dosen-dosen di Indonesia. Seperti yang dilakukan Aliansi Dosen ASN Kemdiktisaintek Seluruh Indonesia (ADAKSI) yang menghelat aksi ultimatum di Patung Kuda, Jakarta Pusat pada Senin (3/2) lalu.
Aksi tuntutan yang dilakukan dosen tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih menindas tenaga pendidik dan belum menyejahterakan dosen. Bayangkan saja, hingga saat ini masih ada dosen yang menerima upah di bawah Upah Minimum Regional (UMR).
Rentetan kejadian ketidakadilan tersebut mengguncang hati penulis untuk menjadi tenaga pendidik di masa depan. Melihat kinerja pemerintahan era Prabowo sekarang ini yang tidak memperhatikan kesejahteraan dosen membuat penulis berpikir dua kali.
Keputusan penulis menunjukkan kegagalan pemerintah dalam memanjangkan impian anak mudanya. Barangkali penulis hanya satu dari sekian mahasiswa yang mengubur mimpi untuk menjadi pengajar.
Hal ini dapat berakibat pada sepinya anak muda untuk lanjut menjadi pendidik di era mendatang. Belum lagi prioritas pendidikan yang berada di urutan kedua. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak menaruh perhatian serius terhadap kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).
Pemerintah semestinya memberi perhatian lebih kepada nasib tenaga pendidik. Kelalaian terhadap kesejahteraan dosen dapat berdampak pada perhatian dosen yang semestinya fokus mengajar, justru dipusingkan dengan pekerjaan lain yang menjadi sampingan untuk memenuhi kebutuhan.
Pecahnya perhatian dosen ini dapat berimbas panjang, misalnya pada kualitas mengajar yang tidak lagi optimal akibat terlalu lelah atau terlalu pusing memikirkan nasib di masa mendatang.
Pemerintah barangkali bisa belajar dari negara di Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) seperti Singapura. Mengutip dari website resmi Politeknik Negeri Nunukan, Singapura memberikan gaji senilai 75 juta hingga 208 juta perbulan.
Barangkali nilai tersebut masih terlalu tinggi, akan tetapi setidaknya pemerintah Indonesia dapat mempertimbangkan bahwa kesejahteraan dosen patut untuk dipentingkan dan diperhitungkan.
Rapor merah Nadiem Makarim mesti menjadi catatan penting bagi pemerintah Indonesia agar tidak mengulang kesalahan serupa ke depannya. Masa sih sekelas pemerintah terang-terangan merencanakan kegagalan?
Opini ini ditulis oleh Ai Nasyrah Nurdea, mahasiswa Sastra Indonesia FIB Unmul 2022