Sumber Gambar: WordPress.com
Sejak dahulu konstruksi budaya patriarki seakan telah mengakar dalam kehidupan bangsa Indonesia. Pembagian perihal siapa laki-laki dan siapa perempuan? Memang telah dikonstruksi oleh budaya. Sebelumnya biar aku jelaskan sedikit tentang apa beda gender dan jenis kelamin.
Jenis kelamin adalah jenis manusia dilihat melalui kacamata biologis, bersifat kodrati dan tidak dapat diubah. Jenis kelamin meliputi laki-laki memiliki penis dan testis. Sedangkan, perempuan memiliki vagina, rahim, serta ovarium. Oleh sebab itu perempuan dapat hamil, melahirkan menyusui, dan menstruasi.
Sedangkan, gender adalah jenis kelamin dilihat melalui konstruksi budaya. Tentu saja berbeda dengan jenis kelamin yang dikonstruksi budaya. Bagaimana bisa jenis kelamin dikonstruksi budaya?
Tentu saja bisa. Bukankah sejak kecil kita telah dikenalkan perihal ini. Seperti anak kecil laki-laki, diberikan mainan mobil-mobilan dan bebas untuk pergi bermain keluar rumah. Para orang tua akan bangga jika anak lelaki mereka, memiliki banyak bekas luka akibat sering bermain keluar rumah.
Namun, hal ini berbeda dengan perempuan. Sejak kecil perempuan telah ditanamkan 'sifat tubuh'. Para orangtua tidak mengizinkan anak perempuannya bermain keluar rumah, mereka cenderung akan memberikan permainan seperti Barbie atau masak-masakkan.
Juga sikap berjalan perempuan yang kerap mendapat kritik; 'perempuan enggak boleh jalan ngangkang, harus rapet!. Apakah kalian juga mengalami hal ini?
Sampai dewasa pun, perlakuan seperti ini tak jarang terjadi. Seorang laki-laki akan dibebaskan untuk mengejar cita-citanya. Bebas berkarir, bebas untuk menentukan masa depannya sendiri. Hal ini dilakukan karena kelak 'katanya' laki-laki akan menjadi seorang kepala keluarga.
Tetapi, hal berbeda kerap dialami kaum perempuan. Perempuan dibatasi ruang geraknya. Perempuan tidak diperkenankan keluar rumah untuk mengejar masa depannya. Bahkan dibatasi akses tehadap pendidikan. Perempuan tidak diperkenankan menempuh pendidikan tinggi hanya lantaran kelak mereka akan berakhir di dapur, di sumur, dan di kasur. Mengerikan sekali paradigma pemikiran seperti ini.
Apakah kalian perempuan, mengalami hal yang sama? Jika tekanan ini tidak berasal dari orang tua tentu saja bisa datang dari kerabat, sahabat, sampai orang lain. Lantas kalau aku perempuan kenapa? Bukankah sebagai manusia antara laki-laki dan perempuan hanya berbeda dalam empat hal.
Hanya perempuan yang bisa menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Selebihnya? Laki-laki dan perempuan adalah setara. Ini berarti perempuan memiliki kesamaan akses, sama seperti laki-laki. Pemikiran sempit seperti perempuan hanya akan menjadi ibu rumah tangga, perempuan di rumah saja adalah hal yang mengungkung kebebasan perempuan.
Pernah mendengar bahwa "ibu adalah madrasah pertama untuk anaknya"? Hal ini berarti perempuan haruslah seorang yang cerdas. Berarti perempuan tidak boleh dibatasi kehausannya terhadap ilmu pengetahuan.
Akan berbeda jika perempuan dibatasi, bahkan mereka tidak mengenal aksara. Bukankah hal ini menjadi momok menakutkan. Perempuan memiliki andil besar untuk mencetak generasi penerus bangsa yang kompeten. Tentu saja akan berbeda seorang anak yang dididik oleh perempuan yang memiliki wawasan luas dengan yang tidak.
Melalui tulisan ini marilah kita berkontemplasi sejenak, agar kita tidak turut andil memperkokoh budaya patriarki. Sejatinya kita semua memiliki kesetaraan akses, baik laki-laki maupun perempuan. Kita yang kelak juga akan menjadi orangtua tentu saja harus memiliki kelapangan pola pikir, sehingga anak tidak merasa terbatasi ruang geraknya.
Dan, jika kamu bertemu dengan orang yang berkata, "ngapain sih perempuan sekolah tinggi-tinggi? Toh ujungnya di rumah juga". Kamu bisa menjawab, "Aku akan menjadi perempuan berkualitas sehingga mampu mencetak generasi cerdas".
Ditulis oleh Halimatu sya’diyah mahasiswa program studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya, 2017.