Sumber Gambar: Website Antara News
“Jangan jadikan kepalamu itu sebagai perpustakaan, tapi amalkan lah ilmumu itu bagi terciptanya keadilan dan kesejahteraan bagi umat manusia.” Begitulah bunyi pernyataan yang dikutip oleh Bung Karno dari ahli pikir di India, Swami Vivekananda.
Dengan kutipan tersebut, Bung Karno ingin memberikan pesan bahwa ilmu pengetahuan janganlah dijadikan kesenangan pribadi, melainkan digunakan sebagai alat pembebasan bagi rakyat miskin yang masih mengalami situasi yang sama peliknya dengan situasi Indonesia sebelum masa kemerdekaan.
Inilah watak dan geraknya kaum muda revolusioner. Bung Karno menginginkan kaum mudanya untuk terus memupuk rasa simpati dan empati akan situasi yang dialami oleh rakyat yang miskin karena terhisap oleh sistem Kapitalisme, Imperialisme, dan Kolonialisme.
Noam Chomsky juga telah menggambarkan bahwa mahasiswa atau yang biasa disebut sebagai kaum intelektual itu ibaratnya sebagai 'suar obor' yang siap mewartakan kebenaran atas berbagai penyelewengan, yang dilakukan penguasa tanpa sekat seperti pendidikan, sosial, ekonomi, politik dan budaya.
Kutipan tersebut masih relevan dengan situasi yang dialami mahasiswa hari ini. Kebijakan kampus tengah memenjarakan mahasiswanya untuk sekadar mengejar ilmu pengetahuan, atau dapat dikatakan sebagai 'cukong ijazah'. Namun, terpisah dari sang empunya ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu masyarakat.
Konsekuensi logis penerapan kebijakan kampus semacam itu menyebabkan biaya pendidikan yang makin hari terus membengkak. Akibatnya, mahasiswa dituntut untuk dapat menuntaskan studi secepatnya, lantaran tak tega melihat orang tua di kampung berpeluh keringat di tengah sawah demi membiayai anaknya menempuh pendidikan di perguruan tinggi.
Atau karena para pejabat prodi tengah dipusingkan oleh penilaian akreditasi, dan salah satu prasyaratnya bahwa mahasiswa tidak boleh berlama-lama di kampus, maka dibuatlah kebijakan untuk segera menuntaskan studi secepat kilat.
Padahal dunia kampus bukanlah pabrik yang siap mencetak anak muridnya supaya terintegrasi menjadi pekerja kerah putih. Kampus semestinya menjadikan mahasiswanya menjadi manusia yang berani untuk memberontak serta berani menentang segala kemunafikan yang dibuat oleh penguasa. Kondisi yang serba kaku, seragam dan teratur menjadikan mahasiswa tidak bisa menemukan jati dirinya, sehingga mirip seperti robot yang sekalipun dicaci-maki ia hanya akan manut saja.
Konsekuensi lainnya adalah mahasiswa harus menghadapi dosen yang masih memiliki watak feodal. Dosen macam ini biasanya tidak mau diajak debat karena merasa dirinya sebagai pembawa kebenaran, yang ia tahu hanya menyumpalkan diktat-diktat perkuliahan pada mahasiswanya yang sudah ketinggalan zaman.
Itulah memang watak pendidikan kita yang hanya menekankan pada aspek kognitif dan psikomotorik, sementara melupakan aspek afektif yaitu sikap dan perilaku. Hal ini membuat proses belajar yang serba mengulang materi yang itu-itu saja. Padahal proses belajar seharusnya proses menemukan sesuatu yang baru atau berani menggugat ilmu pengetahuan yang telah kita pelajari di bangku pendidikan.
Jangan-jangan ilmu pengetahuan yang telah kita pelajari di bangku perguruan tinggi itulah yang membuat banyak petani kehilangan tanahnya, nelayan kehilangan wilayah tangkapannya, buruh yang masih tereksploitasi oleh sistem kerja yang dibuat oleh para petinggi perusahaan, anak-anak mati di lubang tambang, masyarakat adat yang harus terusir dari wilayah adatnya, hingga para perempuan yang hari ini masih menerima berbagai kekerasan gender serta berbagai kerusakan lingkungan atas nama pembangunan.
Hasrat untuk memberontak diredam sedemikian rupa oleh kampus. Namun, kita yakin dan percaya bahwa semakin sering dihadapkan dengan berbagai bentuk penindasan, maka semakin mahasiswa melawan serta mengutuk kebijakan yang melanggengkan kebudayaan bisu.
Kita bukan sekadar mahasiswa yang mengejar gelar sarjana dan patuh terhadap omongan para birokrat kampus, tetapi kita adalah mahasiswa yang telah tahu memosisikan diri untuk berpihak pada kaum yang lemah, kritis terhadap kebijakan yang otoriter dan menggugat segala peraturan yang memenjarakan bara perlawanan.
Maka dari itu, kita mesti insaf benar bahwa perjuangan untuk membebaskan bentuk-bentuk pemenjaraan atas pikiran dan perbuatan mesti dilawan secara besar-besaran. Solidaritas mesti dipupuk dari sekarang, karena mustahil untuk berjuang secara sendiri-sendiri, niscaya akan mudah dipatahkan.
Label-label heroik telah disematkan pada mahasiswa. Jangan sampai label tersebut menjadi obat bius yang menjadikan kita sebagai orang yang kehilangan kesadarannya akan berbagai situasi sosial yang tengah berkecamuk di sekitar.
Tuhan tengah bersemayam di gubuk-gubuknya orang miskin dan kelaparan. Mereka tidak bersemayam pada ceramah di ruang-ruang kelas dosen konservatif, ataupun kelas-kelas seminar menjadi pengusaha yang sukses.
Ia memanggil mahasiswa yang peduli terhadap orang-orang lemah dan rela meninggalkan ruang kelasnya demi menegakkan keadilan setegak-tegaknya. Prestasi bukan sekedar wajah terpampang di akun media sosial Universitas karena memenangkan lomba atau menjadi duta ini atau duta itu, tetapi ia yang bersedia menanggung segala risiko pahit demi merekahnya senyum rakyat yang masih tereksploitasi oleh berbagai unsur yang memiskinkan mereka, sehingga rakyat itu dapat menikmati kemerdekaan sejati sesuai dengan yang telah dicita-citakan oleh para pendiri bangsa.
Hematnya, masih ada mahasiswa yang tidak terjebak ke dalam situasi yang serba patuh dan manut-manut saja. Dari 100 mahasiswa yang ada, terdapat 40 orang yang masih memelihara jiwa untuk memberontak dan menyalakan alarm perlawanan terhadap kesewenang-wenangan. Mereka inilah pembelajar sejati yang tidak hanya memikirkan kepentingan pribadi. Mereka sadar bahwa kuliah bukan sekadar datang, mendengar lalu pulang. Mereka menganggap bahwa ada sesuatu yang lebih sejati dari itu semua.
Opini ini ditulis oleh Andreas Hului, mahasiswa program studi Pembangunan Sosial, FISIP Unmul 2020