Mengenang Soe Hok Gie, Seorang Intelektual yang Merdeka

Mengenang Soe Hok Gie, Seorang Intelektual yang Merdeka

Sumber Gambar: Dokumen Pribadi

Siapa yang tak kenal seorang sosok Soe Hok Gie? Namanya harum sebab perjuangan-perjuangannya dalam menentang ketidakadilan. Selalu menggetarkan hati jika dikenang dan diceritakan bagi siapa saja. Di kalangan mahasiswa Indonesia bahkan hingga sekarang, nama Gie masih menjadi ikon penting dalam dunia pergerakan mahasiswa, yang kegigihan dan keidealisannya, serta tak tergoda dengan apa yang namanya kekuasaan dapat menjadi teladan dan menginspirasi. 

Soe Hok Gie, yang akrab disapa Gie merupakan aktivis mahasiswa keturunan Tionghoa. Gie sendiri lahir di Jakarta pada 17 Desember 1942. Soe Hok Gie tumbuh dalam era ketika Indonesia masih meraba-raba mencapai makna kemerdekaan yang hakiki dan gejolak politik yang kacau. 

Sejak usianya yang masih belia, dia sudah aktif membaca buku-buku (sastra, sejarah, filsafat, atau tentang buku-buku politik yang membahas mengenai dinamika politik di berbagai penjuru dunia ini. Luar biasa bukan? Ketika saat itu dia sudah menyelami berbagai ilmu pengetahuan yang membentuk pemikiran dan gagasan-gagasannya. Mungkin, pada saat penulis seusia beliau masih bermain layangan, atau bermain masak-masakan, hehe.

Gie tidak hanya dikenal sebagai aktivis mahasiswa, tetapi juga sebagai penulis sekaligus pengkritik tajam pemerintahan orde lama maupun orde baru. Dia meraih gelar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah pada kurun waktu 1962 - 1969 dan terlibat aktif dalam berbagai kegiatan mahasiswa yang menuntut perubahan dan keadilan. Pemikirannya yang kritis dan keberaniannya menyuarakan kebenaran membuatnya banyak tidak disukai dan membuat gerah penguasa pada saat itu.

Salah satu karya yang paling menggambarkan semangat dan pemikiran Soe Hok Gie adalah bukunya yang berjudul "Catatan Seorang Demonstran". Dalam buku ini, Soe Hok Gie mencatat pemikiran-pemikirannya tentang kehidupan, keadilan sosial, dan perjuangan politik. Tulisannya yang lugas dan penuh semangat menjadi cermin kepedulian sosialnya terhadap nasib bangsanya.

Soe Hok Gie juga dikenal sebagai pecinta alam dan lingkungan, hal ini terlihat dari pembentukan Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) UI yang ketika itu pendiriannya digagas oleh Gie dan beberapa sahabatnya seperti Herman Lantang dan lain-lain. 

Keberaniannya menyuarakan kepedulian terhadap alam dan kelestarian lingkungan melalui aktivitasnya sebagai pendaki gunung, Soe Hok Gie mencoba mengajak masyarakat untuk lebih menghargai alam dan menjaga keberlanjutan ekosistem alam.

Namun, perjalanan Soe Hok Gie tidak selalu mulus. Keterlibatannya dalam protes mahasiswa dan kritik tajamnya terhadap pemerintah membuatnya menjadi sosok yang diawasi oleh otoritas. Kematian tragis Soe Hok Gie atau sehari menjelang ulang tahunnya yang ke-27 tahun dan rekannya Idhan Dhavantari Lubis, pada 16 Desember 1969 di Gunung Semeru yang diduga menghirup asap beracun dari kawah gunung. Kematian itu meninggalkan duka mendalam bagi keluarganya serta bagi rekan-rekan sejawatnya. Bisa dikatakan, Gie merupakan salah satu putra terbaik bangsa.

Meskipun fisiknya tiada, warisan pemikiran dan semangat perjuangannya tetap hidup. Soe Hok Gie menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran. Pemikirannya yang merdeka dan tindakan nyata dalam mencapai perubahan memberikan inspirasi bagi generasi penerus untuk terus berjuang demi keadilan dan kebenaran.

Perjalanan Soe Hok Gie juga mengajarkan kita tentang arti perjuangan. Meskipun ia menghadapi tekanan dan ancaman, ia tetap setia pada nilai-nilai kebenaran yang diyakininya. Semangatnya yang tak kenal lelah dalam mengejar keadilan mengajarkan kita untuk tidak pernah menyerah dalam menghadapi rintangan.

Sebagai intelektual yang merdeka juga, mengenang Soe Hok Gie seolah mengundang kita untuk merefleksikan nilai-nilai kebebasan dan tanggung jawab sosial. Pemikirannya yang progresif dan idealis mengajarkan kita bahwa perubahan tidak bisa dicapai tanpa pengorbanan dan perjuangan. 

Soe Hok Gie bukan sekadar tokoh sejarah, tetapi juga pemicu semangat bagi mereka yang ingin mewarisi cita-citanya. Mengenang Soe Hok Gie seharusnya tidak hanya sebagai kewajiban untuk menjaga sejarah, tetapi juga sebagai panggilan untuk melanjutkan perjuangannya. 

Bagaimanapun bentuknya, setiap individu dapat memberikan kontribusi positif untuk perubahan yang lebih baik. Pemikiran bebas dan tindakan nyata adalah warisan berharga yang bisa kita ambil sebagai inspirasi dalam menghadapi berbagai tantangan masa kini.

Akhir kata, di sini penulis ingin menutup tulisan dengan mengutip kata-kata dari Soe Hok Gie yang artinya cukup mendalam guna untuk merefleksikan diri kita sebagai mahasiswa ataupun aktivis mahasiswa yang berkecimpung dalam dunia pergerakan serta bagi masyarakat umum.

“Hanya ada dua pilihan, menjadi apatis atau mengikuti arus. Tetapi, aku memilih untuk jadi manusia merdeka.”

Opini ditulis oleh Andrianus Ongko Wijaya Hingan, mahasiswa Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, FKIP 2020