Sumber Gambar : PGSP
Kaltim salah satu daerah terdampak Covid-19, dalam memperingati Hari Bumi 22 April lalu tidak hanya menyinggung soal aktivitas pertambangan, soal sampah, dan limbah. Tetapi Covid-19 juga menjadi momentum bersama untuk merefleksikan kembali hubungan manusia dengan lingkungan. Sebab terjadinya pandemi ini berkaitan erat dengan kerusakan lingkungan akibat perilaku manusia khususnya para pemangku kebijakan.
Kaltim yang terkenal sebagai paru-paru dunia adalah salah satu provinsi paling mematikan bagi warganya. Mengapa demikian? Pasalnya, sejak zaman kolonial Belanda sekitar 1894, provinsi yang dulu disebut tanah Borneo ini sudah melakukan ekstraksi pada alamnya sendiri melalui pembongkaran minyak dan gas alam. Hingga saat ini kegiatan-kegiatan itu masih berjalan, kekayaan alam terus dikeruk. Hingga hari ini, Kaltim masih mengandalkan perekonomian pada penebangan pohon untuk Hutan Tanan Industri (HTI) dan Hutan Pengusahaan Hutan (HPH), pengerukan batu bara, dan pembukaan perkebunan sawit.
Dari banyaknya data yang ada di Kaltim, seperti maraknya aktivitas pertambangan, baik legal maupun ilegal, lubang-lubang tambang yang tidak direklamasi, kondisi masyarakat di lingkar tambang, kondisi lahan pertanian, pencemaran lingkungan karena limbah, dan lainnya. Dari banyaknya data, dengan segala bentuk kebijakan baik pusat dan lokal berencana menciptakan ruang hidup yang buruk hingga menakutkan bagi masyarakat. Seperti yang diketahui, segala jenis izin ekstraksi akan memberi daya rusak, mengancam, melanggar hukum, dan mematikan kehidupan.
Menolak untuk lupa, sejak 2011 hingga sekarang, sudah ada 30 anak lebih yang meninggal di lubang bekas tambang. Ini disebakan karena banyaknya lokasi-lokasi pertambangan yang sudah menyalahi undang-undang (UU), karena berada kurang 500 meter dari permukiman warga. Padahal juga, mengenai lubang-lubang tambang itu semua sudah diatur dalam UU bahwa 30 hari pasca menambang itu harus ditutup. Namun, faktanya lubang-lumbang tambang yang ada justru dibiarkan selama bertahun-tahun.
Tidak hanya aktivitas pertambangan yang saat ini menjadi permasalahan di Kaltim, tetapi ada banyak isu-isu lingkungan lain yang seharusnya juga menjadi prioritas pemerintah untuk bisa diselesaikan. Ada 10 isu lingkungan hidup yang ditetapkan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Kaltim di antaranya:
1.Pencemaran air, udara, dan tanah yang disebabkan oleh aktivitas manusia.
2.Belum tertanganinya pengelolaan limbah padat/sampah dan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3)
3.Banjir yang terus terjadi setiap tahun di sejumlah lokasi walaupun saat ini sifatnya hanya genangan sementara.
4.Pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam yang kurang menerapkan prinsip ramah lingkungan dan berkelanjutan
5.Kerusakan pesisir dan laut.
6.Kerusakan lahan akibat kegiatan pertambangan batubara.
7.Degradasi hutan
8.Menurunnya keanekaragaman hayati
9.Gangguan terhadap kawasan lindung dan dilindungi yang masih sangat tinggi.
10.Belum optimalnya implementasi rencana kelola dan perlindungan lingkungan/keanekaragaman hayati
Merujuk pada pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru di Kaltim, dengan banyaknya isu-isu lingkungan yang belum terselesaikan mungkinkah Kaltim akan semakin baik atau justru malah semakin memburuk dengan didirikannya IKN baru ini?
Saat ini kita bisa melihat kebijakan-kebijakan pemerintah banyak mengalami kemunduran khususnya untuk lingkungan. Pemerintah justru mengemas pembangunan-pembangunan yang berdampak pada lingkungan dan cenderung tidak pro terhadap rakyat. Seharusnya pemerintah melakukan pemulihan terhadap kondisi lingkungan yang ada di Kaltim bukan malah sebaliknya, prioritas mendirikan IKN di tengah kondisi lingkungan sedang tidak baik.
Maka dari itu pemerintah perlu ditantang untuk bisa mengatasi isu-isu atau permasalahan lingkungan yang ada di Kaltim. Karena yang dibutuhkan rakyat saat ini adalah pemulihan bukan hadirnya Kaltim sebagai IKN.
Opini ditulis oleh Renaldi Saputra, mahasiswa Fakultas Pertanian.