Sumber Gambar: Dokumen Pribadi
Kehadiran puisi seolah menyuguhkan kesadaran baru bahwa ada semesta lain yang hadir dari sebuah realitas. Ia menjadi megah dengan segala metafora, bunyi, dan lapisan makna. Ia tidak sekadar kata-kata puitis yang dikumpulkan dalam bait-bait. Akan tetapi, ia menjelma suatu kebenaran yang mengusik penglihatan, pendengaran, dan perabaan kita.
Realitas tersebut, dikemas melalui bahasa yang khas. Kekhasan ini tentu berbeda setiap penyairnya. Tibalah pada puisi Hal-Hal yang Pergi karya Dahri Dahlan, penyair asal Pambusuang suatu desa di Sulawesi Barat. Antologi puisi ini tentu memiliki ciri khas tersendiri, ia membawa kegelisahan dengan setumpuk permainan citraan yang menggugah selera.
Pada mulanya, puisi ini seolah mengajak saya pada sebuah kesepian yang dituangkan dalam sajak pertama pembuka antologi tersebut. “Kamu melambaikan tangan setelah mereka pergi. Jam dinding berdetik berlalu, tak pernah sampai ke mana” (sajak “Rumahmu Sepi Abadi”). Pada sajak tersebut, terdapat fragmen kehidupan yang ditangkap oleh Dahri untuk disuguhkan bagi mereka yang memiliki pengalaman serupa. Citraan penglihatan berhamburan pada sajak tersebut seperti, “Di halaman depan gulma dan pohon kebanyakan tumbuh dengan tidak baik,” dan “Matahari terbenam di ujung aspal yang kamu lalui.”
Kesepian yang dituliskan dengan rapi ini memberikan gairah saya untuk membaca kembali. Fragmen kehidupan manusia yang dituliskan oleh Dahri menemukan puncak akhir kehidupannya sendiri, “Aku tenggelam dalam plankton-plankton berkilauan. Aku tidak bisa melambaikan tangan.” (Sajak “Seperti Mengupas Kesepianku”).
Puncak kesepian sebagai kebenaran akhir hidup ini dibungkus dengan citraan penglihatan yang membawa saya kembali untuk melihat apa yang sesungguhnya terjadi pada kehidupan ini. Jika membaca keseluruhan antologi puisi tersebut, tidak heran saya banyak menemukan kesunyian dan kesepian yang berbaris di dalam bait-baitnya.
Akan tetapi, ada suatu gairah baru yang tertangkap di mata saya untuk melihat sosok perempuan yang dituliskan dalam antologi puisi tersebut. Kehadiran perempuan tidak lepas untuk dituliskan oleh Dahri seperti Dian Sastro, ibu, dan kekasih (perempuan). Saya melihat bagaimana kemaskulinitasan Dahri berdiri tegak seperti dalam baris “Kamu adalah perempuan maka kutegakkan layarku.” (Sajak “Ilmu Berlayar”). Ini adalah perebutan subjek dan objek, yang dimaknai sebagai laki-laki mengambil penuh kendali atas diri perempuan.
Tentu saya tidak boleh memaknainya secara mata telanjang akan tetapi pemaknaan saya menjadi kebenaran dengan bukti selanjutnya seperti, “Laut adalah relung dadamu, lengkung punggungmu yang licin” dan “Gerai rambutmu adalah badai awan dan aku bergetar.” Citraan penglihatan yang dihadirkan dalam metafora menjadikan perempuan sebagai objek puitis oleh Dahri.
Tidak hanya itu, objektifikasi perempuan juga terlihat dalam bait pada puisi lainnya seperti, “Pada mulanya adalah laut. lalu perempuan. lelaki menebang pohon dan merebahkannya di atas pangkuan,” dan “Di antara bau dupa dan bulat dadamu, perempuan. Hidup baru saja dimulai.” (Sajak “Ilmu Membuat Perahu”). Saya menyadari, bahwa perempuan seringkali diobjektifikasi karena pandangan masyarakat yang patriarkal. Tidak hanya sebagai objek pandangan, objek seksual, bahkan juga objek ideologi.
Gambaran perempuan, tidak lepas dari tubuhnya yang seolah indah padahal terdapat perebutan subjek terhadap diri perempuan. Pembagian peran yang dituliskan oleh Dahri, juga menegaskan bahwa perempuan tidak dapat mengambil pekerjaan yang menggunakan tenaga. Padahal, jika saya boleh meminjam sejarah epos perkembangan manusia yang dituliskan oleh Engels, perempuan dan laki-laki pada masa komunal primitif ikut bekerja di lapangan produksi untuk mencari bahan pangan. Tidak ada pembagian kerja berdasarkan gender, sampai tumbuhnya masyarakat kelas. Kehadiran mata bajak dan juga penyimpanan surplus bahan pangan yang kemudian mendomestifikasi tubuh perempuan.
Saya mencoba mengulik keterikatan laut dan perempuan dalam beberapa puisi Dahri. Sudah sering saya lihat bahwa perempuan memiliki keterikatan dengan alam, dengan penjelasan bahwa ketika alam rusak perempuanlah yang paling merasakan dampak dari kerusakan alam. Saya teringat pada antologi puisi Pandora karya Oka Rusmini yang di dalamnya memperlihatkan keterikatan perempuan dan alam.
Oka Rusmini tidak serta merta menuliskan laut secara spiritualitas memiliki kaitan dengan masyarakat tertentu akan tetapi justru Oka Rusmini menuliskan dengan citraan penglihatan yang dihadirkan dengan penggambaran kemarahan tubuh perempuan terhadap tradisi yang mengekang. Saya tidak mengetahui, apakah ini suatu perbedaan kepenulisan penyair laki-laki dan perempuan? Saya tidak ingin melahirkan kebencian dengan alasan perbedaan jenis kelamin, akan tetapi ada permasalahan yang sangat mendesak dan mengakar di masyarakat hari ini perihal ketidaksetaraan perempuan dan laki-laki.
Tentu yang dilakukan Dahri, untuk menuliskan gambaran perempuan dilakukan secara simbolik. Akan tetapi, ia tetap menuliskan perempuan dengan segala kerentanannya sebagaimana stigma terhadap perempuan yang dilanggengkan di dalam masyarakat kita hari ini. “Seorang perempuan mendatangi taman. Ia datang pada diri sendiri yang masih berembun.” (Sajak “Perempuan yang Datang pada Diri Sendiri”). Diksi ‘berembun’ yang dituliskan oleh Dahri, seolah menjelaskan posisi perempuan di tengah masyarakat kita hari ini yang tidak eksis karena tersubodinat dari peran-peran sosial.
Ketimpangan peran perempuan dan laki-laki juga semakin ditegaskan dalam bait, “Aku pernah membaca reklame lalu percaya bahwa merokok itu lelaki,” dan “Di sebuah jalan kulihat anak lelaki melingkarkan iguana di pundaknya. Orang-orang berdecak kagum aku merasa itu lebih lelaki.” (Sajak “Menjadi Lelaki”). Stigma merokok adalah lelaki, tentu adalah pelanggengan yang sering kita temui di masyarakat. Tentu ini dipengaruhi dengan perpanjangan iklan rokok yang diperankan oleh laki-laki, salah satunya ketika kemunculan iklan rokok Marlboro yang disimbolkan dengan laki-laki berkulit putih, menunggang kuda dan berpakaian koboi.
Pada larik lainnya, Dahri merepresentasikan seorang anak laki-laki memiliki peliharaan hewan reptil berdarah dingin yang terkenal dengan kegagahan dalam wujudnya, yaitu iguana. Bagian tersebut, menampakkan secara simbolik bahwa laki-laki sekalipun yang tidak memiliki cap maskulinitas, ia hanya perlu pelengkap untuk mendapatkannya.
Sangat tergambar jelas, bagaimana anak laki-laki tersebut hanya melingkarkan peliharaan reptilnya mendapat kegagahan dalam puisi Dahri. Hal tersebut mengingatkan saya terhadap gambaran kesempurnaan laki-laki Jawa di dapat, jika memenuhi lima unsur kesempurnaan yang seluruhnya menjadi sebuah simbol dan pelengkapnya: 1) Wisma; 2) Wanita; 3) Turonggo; 4) Kukilo; 5) Curiga.
Pada akhirnya, selain segala kesepian yang berbaris dalam setiap puisi-puisinya, terdapat setumpuk permasalahan yang dapat dilihat dalam antologi puisi tersebut. Bagaimanapun, begitulah puisi bekerja terhadap para penikmatnya. Ia menyimpan segala kegusaran yang tersembunyi dalam kepuitisannya yang khas.
Puisi-puisi Dahri mencoba menunjukkan setumpuk kesepian dan permasalahan di dalam kehidupan melalui citraan penglihatan dan juga diksinya yang sangat simbolik. Kekhasan setiap bait dalam antologi ini seolah mengeja setiap perjalan kehidupan manusia. Saya meyakini, segala proses yang dilalui untuk menerbitkan antologi tersebut menjadi kemegahan tersendiri bagi Hal-Hal yang Pergi.
Opini ditulis oleh Esty Pratiwi Lubarman, alumni prodi Sastra Indonesia, FIB 2017 dan anggota Savrinadeya Support Group.