KPK Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi: Independen atau Intervensi

KPK Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi: Independen atau Intervensi

Sumber Gambar : Istimewa

“Dibutuhkan KPK yang bersifat independen untuk melakukan pemberantasan korupsi. KPK yang dikualifikasikan sebagai lembaga eksekutif, akan berpengaruh terhadap fungsinya sebagai pemberantas korupsi di Indonesia”

Perkembangan negara modern dewasa ini membuat konsep trias politica yang diungkapkan Montesquieu sudah mengalami pergeseran, yaitu dengan adanya lembaga-lembaga baru yang bersifat independen. Bruce Ackerman mengatakan bahwa mengenai struktur cabang kekuasaan di Amerika Serikat, yang kini tidak lagi bertumpu kepada tiga cabang kekuasaan seperti yang dicetuskan Montesquieu, tetapi struktur kekuasaan di Amerika terdiri dari lima bagian cabang, seperti House of Representatives, Senate, President as Chief of Executive, Supreme Court dan Independent Agencies.

Pada sisi lain, salah satu lembaga baru yang dibentuk Indonesia adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Munculnya KPK dilatar belakangi adanya delegitimasi lembaga negara dalam konsep trias politica Montesquieu. Hal tersebut disebabkan karena munculnya asumsi bahwa pada pemerintahan orde baru banyak terjadi korupsi yang mengakar dan sulit diberantas.

Lembaga kepolisian dan kejaksaan dinilai gagal dalam memberantas korupsi di Indonesia. Untuk mengembalikan kepercayaan pemberantasan korupsi di Indonesia, maka dibentuklah KPK degan disahkannya UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pada 2019 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK direvisi oleh lembaga legislatif, tetapi mendapatkan reaksi penolakan yang sangat luas dari kalangan masyarakat sipil, khususnya dari mahasiswa dan kelompok pegiat anti korupsi. Salah satu yang menjadi isu krusial dalam penolakan ini adalah perihal “independensi KPK”. Sebagai lembaga negara independen, KPK seharusnya diberikan kewenangan untuk bekerja secara mandiri tanpa adanya intervensi kekuasaan mana pun. Desain kelembagaan KPK diubah secara drastis dengan disahkannya UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK ditempatkan sebagai bagian dari rumpun eksekutif dan juga implikasinya terhadap keseluruhan sumber daya KPK yang menjadi satu kesatuan dengan sumber daya pemerintah.

Akibat dari penolakan yang sangat luas di kalangan masyarakat, maka dilakukan judicial review UU tersebut Mahkamah Konstitusi (MK). Secara maraton MK membacakan 7 putusan permohonan judicial review UU itu. Namun, dari ketujuh putusan terdapat dua permohonan yang berdampak terhadap KPK, yaitu Putusan Nomor 70/PUU-XVII/2019 dan Putusan MK Nomor 79/PUU-XVII/2019.

Pada Putusan MK Nomor 70/PUU-XVII/2019, para pemohon meminta pengujian formil terkait pembentukan UU tersebut dan pengujian materiel atas Pasal 1 angka 3,

Pasal 3, Pasal 12B, Pasal 24, Pasal 37B ayat (1) huruf b, Pasal 40 ayat (1), Pasal 45A ayat (3) huruf a, dan Pasal 47 UU Nomor 19 Tahun 2019. MK dalam melakukan pengujian formil menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya, dan dalam pengujian materiel mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian.

Terkait uji materiel, yang menjadi sorotan utama terkait independensi KPK yakni pengubahan Pasal 1 angka 3, karena di dalamnya berbunyi, “Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan UU ini.” MK dalam Putusan Nomor 70/PUU-X-VII/2019 menyebutkan, “Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.”

Secara konseptual terdapat kemiripan antara Indonesia dan Amerika Serikat dalam sistem ketatanegaraan khususnya setelah dilakukannya Amandemen UUD NRI 1945. Merujuk pada teori The New Separation of Power yang berkembang di Amerika Serikat yang dicetuskan oleh Bruce Ackerman secara fungsional. Poros-poros kekuasaan yang diuraikan dari teori ini adalah legislatif, eksekutif, yudikatif dan komisi independen. Bruce Ackerman mengidealkan bahwa bentuk terbaru dari pemahaman pemisahan kekuasaan modern tidak hanya terbatas dalam teori trias politica, melainkan telah terwujud ke dalam lembaga yang ada pada sistem kelembagaan negara itu sendiri. Oleh karena itu, komisi negara independen Indonesia dapat disamakan dengan komisi independen di Amerika Serikat karena berada di luar ranah cabang kekuasaan trias politica. Cabang kekuasaan keempat dalam teori The New Separation of Power dapat dimaknai sebagai komisi negara yang independen dikarenakan keberadaannya tidak berada dalam cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Jika dibandingkan dengan negara lain, Komisi Anti Korupsi Thailand, juga menempatkan lembaga tersebut sebagai lembaga negara independen, yang disebutkan dalam konstitusi. Begitu pula dengan Filipina yang menempatkan Komisi Anti Korupsi sebagai lembaga independen dan sebagai organ konstitusional. Selain kedudukan Komisi Anti Korupsi sebagai independent agencies berdasarkan konstitusi, komisi anti korupsi yang independen di berbagai negara juga memiliki kedudukan sebagai lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU atas amanat konstitusi. Misalnya, Egypt’s Constitution of 2014 pada article 218 section eleven dalam subsection two tentang independent bodies and regulatory agencies.

Jika dibandingkan dengan negara lain, maka dapat dilihat bahwa KPK sebagai organ dan tidak lagi dapat ditempatkan dalam ketiga cabang kekuasaan trias politica. Kelahiran komisi independen dapat menjalankan kekuasaan dan kewenangan lembaga sebelumnya pada rumpun eksekutif dan dialihkan menjadi lembaga independen.

Putusan MK Nomor 70/PUU-XVII/2019 sebagaimana telah mengubah Pasal 1 angka 3, mengkualifikasikan KPK sebagai lembaga eksekutif tetapi bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan siapa saja. Hal ini menjadi bias karena KPK ditempatkan dalam rumpun eksekutif di mana terdapat banyak pandangan akan adanya intervensi yang akan dilakukan, walaupun telah ditegaskan, “independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.”

Secara teoritis maka kelembagaan KPK setelah adanya putusan ini tidak menganut teori The New Separation of Power karena penempatannya dimasukkan dalam cabang kekuasaan eksekutif. Masuknya KPK dalam lembaga eksekutif tidak terlepas dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 mengenai pengujian UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang menyebutkan bahwa KPK merupakan lembaga penunjang yang terpisah, bahkan independen. KPK dikualifikasikan sebagai lembaga eksekutif karena melakukan fungsi-fungsi dalam domain eksekutif yaitu penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

Penempatan KPK dalam ranah eksekutif ini membawa dampak yang luas bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Intervensi yang dilakukan, akan menjadi pertanyaan yang mendasar dan ketidakpercayaan pada KPK juga patut dipertanyakan. Akankah seperti ketidakpercayaan masyarakat terhadap kepolisian dan kejaksaan di masa kelam orde baru? Keberadaan KPK sebagai taring pemberantasan korupsi di Indonesia harus lebih kuat seperti halnya tuntutan reformasi “Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme”, karena apabila melihat data Transparency Internasional Indonesia (TII) yang merilis indeks persepsi korupsi (IPK) atau Corruption Perception Index (CPI) Indonesia 2020, Indonesia berada pada skor 37 dengan ranking 102 dari 180 negara. Sebelumnya, Indonesia berada di posisi 85 sehingga taring KPK harus dikuatkan untuk mewujudkan Indonesia bersih tanpa korupsi.

Masih ada pihak yang menyayangkan masuknya KPK ke dalam rumpun eksekutif karena ditakutkan akan ada intervensi dari pemerintah, maka solusi yang dilakukan adalah sebagai berikut. Pertama, melakukan perubahan terhadap UU Nomor 19 Tahun 2019 untuk memurnikan independensi KPK. Kedua, dapat melakukan amandemen UUD NRI 1945, yaitu merekonstruksi lembaga independen di Indonesia, seperti halnya negara lain yang memasukkan lembaga anti korupsinya ke dalam konstitusi.

Opini ditulis oleh Lisa Aprilia Gusreyna, mahasiswi Fakultas Hukum.