Sumber Gambar: Istimewa
Beberapa waktu lalu, unggahan dari salah satu pengguna Instagram mengundang ragam tanggapan pro dan kontra dari masyarakat. Unggahan tersebut menyinggung makna kata perempuan dalam KBBI yang mengacu konotasi negatif. Cara KBBI mendefinisikan kata perempuan cenderung merujuk kepada hal yang sifatnya genital dan terkesan misoginis.
Pasalnya apabila seseorang mencari kata perempuan pada KBBI, maka muncul definisi bahwa perempuan adalah seseorang yang mempunyai vagina, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui; istri; bini; dan betina (khusus untuk hewan) dan definisi tersebut disusul oleh kata geladak, jahat, jalanan, jalang, jangak, lacur, nakal, dan simpanan yang dimana semua kata tersebut mengandung konotasi negatif yang sifatnya merendahkan.
Hal tersebut mendorong adanya pendapat, bahwa definisi perempuan dalam KBBI justru merujuk kepada objek seksualitas. Padahal sejatinya jika ditinjau secara etimologis, kata perempuan berasal dari kata empu yang artinya adalah tuan, orang yang mahir atau berkuasa, ataupun kepala, hulu, atau yang paling besar. Bahkan Sudarti dan D. Jupriono menuliskan, kata perempuan memiliki nilai yang cukup tinggi. Maksudnya ia tidak berada di bawah melainkan sejajar atau bahkan lebih tinggi daripada kata lelaki. Kata perempuan juga berkaitan dengan kata ampu yang berarti sokong, penyangga, memerintah, penjaga keselamatan, bahkan wali.
Definisi kata perempuan dalam KBBI seharusnya menunjukan keberdayaan dan perlawanan, bukan justru merujuk pada reproduksi atau segala sesuatu yang berkaitan dengan seks. Adanya konotasi negatif yang mengikuti definisi kata perempuan mengundang tanggapan dari Bahrul Fuad yang merupakan Komisioner Komnas Perempuan. Ia menilai bahwa arti kata perempuan dalam KBBI terlalu bias gender dan terkesan patriarki.
Tertera di KBBI, perempuan diposisikan pada kerja domestik dalam rumah objek seksual yang pasif. Bahrul berpendapat bahwa ahli bahasa seharusnya melibatkan aktivis perempuan dan ahli gender dalam merumuskan definisi kata perempuan dalam KBBI agar menghasilkan sebuah definisi yang lebih konstruktif dan berkonotasi postif.
Sebelumnya pada tanggal 7-19 Agustus 2018, Ika Vantiani mencetak definisi kata perempuan dalam lima edisi KBBI pada kaca akrilik untuk kemudian dipamerkan di Galeri Nasional, Jakarta Pusat. Melalui pameran dan instalasi “Perempuan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Ika ingin menyampaikan bahwa konotasi negatif yang mengikuti definisi kata perempuan masih belum juga berubah bahkan setelah 30 tahun lamanya. Padahal berdasarkan penuturan Ika, konotasi negatif yang mengikuti kata perempuan dalam KBBI dapat diubah menjadi sesuatu yang lebih positif dan konstruktif. Seperti mengubahnya menjadi kata anak perempuan atau bos perempuan.
Belum adanya tanggapan dari Badan Pengembangan Bahasa kembali mendorong para aktivis perempuan untuk mengangkat kembali isu ini ke permukaan pada aksi Hari Perempuan Sedunia. Ika Vantiani kembali menyuarakan dan mempertanyakan mengenai definisi perempuan dalam KBBI yang terkesan negatif namun, tidak pula dilakukan perubahan. Dalam hal ini pemerintah terkesan begitu patriarki dalam menjabarkan definisi perempuan dalam KBBI.
Pasalnya kata yang berkonotasi negatif seperti jalang atau nakal justru menjadi pembenaran bahwa perempuan adalah objek seksual sehingga sah rasanya melakukan kekerasan terhadap perempuan. Sesuai dengan definisi yang tertera, bahwa jalang adalah perempuan yang nakal dan liar yang suka melacurkan diri. Belum lagi dengan kata jahat yang mengikuti, di mana jahat diartikan sebagai perempuan yang buruk kelakuannya (suka menipu, dsb).
Namun, mengapa tidak ada kata berkonotasi negatif yang mengikuti definisi kata “laki-laki”? Dalam KBBI, kata laki-laki hanya didefinisikan sebagai orang (manusia) yang mempunyai zakar, kalau dewasa mempunyai jakun dan adakalanya berkumis; jantan (untuk hewan); orang yang mempunyai keberanian; berani. Mengapa kata yang mengandung unsur seksualitas hanya ditujukan kepada perempuan, padahal seperti yang kita tahu secara umum laki-laki juga merupakan pelaku kekerasan seksual.
Mengapa tidak ada kata jahat yang mengikuti definisi kata laki-laki dalam KBBI? Adanya kesenjangan makna ini kemudian menimbulkan anggapan bahwa pemerintah memiliki sudut pandang patriarki dan terkesan membenci kaum hawa. Dengan demikian, aktivis perempuan terus menyuarakan terkait diharuskannya perubahan makna perempuan yang dianggap telah mengalami degradasi kata. Hal tersebut juga dikarenakan KBBI adalah kamus yang menjadi acuan utama dalam berbahasa Indonesia.
Menanggapi kritik mengenai definisi perempuan dalam KBBI, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mengunggah tanggapan mereka terkait hal tersebut melalui akun Twitter resmi pada tanggal 3 Februari 2021 lalu. Dalam tanggapannya dijelaskan, bahwa KBBI merupakan kamus umum yang memiliki sifat historis. Berarti, KBBI merekam semua fakta kebahasaan yang pernah dan tengah hidup dalam masyarakat yang menggunakan bahasa Indonesia. KBBI juga merupakan kamus yang hidup (living dictionary) di mana jika ada konsep atau makna yang baru muncul pada suatu masa, maka konsep itu dicatat dengan urutan kronologis. Kata-kata dan makna tersebut kemudian disajikan berdasarkan urutan perkembangan, mulai dari yang pertama-tama muncul hingga makna yang dipahami saat ini. Contohnya seperti, kata ‘kopi’ yang awalnya didefinisikan sebagai ‘pohon’ lalu diubah menjadi ‘buah’, kemudian ‘serbuk’ dan yang terakhir menjadi ‘minuman’.
Kebijakan semacam itu telah dimiliki KBBI sejak awal penyusunan. Kini dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi, tentu memudahkan editor KBBI untuk mencari, mengumpulkan, menyeleksi, dan memvalidasi entri atau kata yang akan masuk ke KBBI. Salah satu syarat agar sebuah kata dapat masuk ke dalam KBBI adalah berdasarkan tingginya frekuensi penggunaan yang harus dibuktikan dari data atau korpus (semacam bank bahasa) yang ada. Selain data tertulis, data yang didapatkan secara digital juga dianggap sebagai sumber yang sangat membantu dalam memverifikasi penggunaan kata yang umum digunakan.
Terkait dengan keterandalan data tersebut, gabungan kata yang mengikuti definisi kata perempuan seperti perempuan jalang dan perempuan simpanan dikatakan sangat mudah ditemukan dalam korpus dengan frekuensi penggunaan yang tinggi. Alasan kuat mengapa definisi tersebut masih dipertahankan adalah karena tim editor KBBI menganut prinsip corpus-based atau corpus-driven lexicography yang artinya, penyusunan kamus sepenuhnya bersandar pada korpus yang tersaji apa adanya, tanpa adanya modifikasi.
Merujuk pada pernyataan Wittgenstein II (1953 : 23) mengenai language game, perubahan yang terjadi dalam pendefinisian sebuah kata adalah karena makna setiap kata tergantung pada penggunaannya dalam setiap kalimat; makna kalimat tergantung penggunaannya dalam setiap bahasa; dan makna setiap bahasa tergantung penggunaanya dalam setiap kehidupan. Adanya konotasi positif maupun negatif dari setiap kata yang tercantum dalam KBBI bergantung pada konteks penggunaan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kata perempuan di KBBI merupakan cerminan sosial masyarakat Indonesia saat ini. Perempuan cenderung dilihat sebagai objek seksual dan harus menanggung stigma yang buruk setelah menjadi korban kekerasan seksual. Masyarakat Indonesia hari ini cenderung memberikan sanksi sosial kepada pihak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual atau kepada mereka yang menjadi lacur, memberikan penghakiman tanpa ingin memahami.
Menganggap bahwa seorang perempuan yang sudah menjadi lacur bukan lagi perempuan yang baik. Hal tersebut berbanding terbalik dengan seorang laki-laki yang bisa dengan bangga mengatakan bahwa mereka telah melakukan aktivitas seksual tanpa rasa takut akan penghakiman lingkungan sosial.
Dengan demikian, konotasi dan stigma negatif yang mengikuti perempuan tidak serta merta hanya diubah melalui penjelasan di dalam KBBI, melainkan harus dengan mengubah stigma masyarakat terhadap perempuan itu sendiri. Jika kemudian masyarakat memandang perempuan dalam konotasi positif tanpa melibatkan stigma negatif maka dengan sendirinya, kata-kata dengan makna positif akan ada dalam KBBI secara otomatis.
Ditulis oleh Yasmin Dieva Islamiyah, mahasiswi Psikologi, FISIP 2019.