Sumber: serikatnews.com
SKETSA - Sejarah boleh mencatat, bahwa selama 74 tahun Indonesia merdeka, baru di 2019 dilantik seorang perempuan untuk menduduki jabatan tertinggi sebagai wakil rakyat, yakni DPR RI. Masih segar diingatan tatkala Puan Maharani yang notabenenya putri dari mantan presiden perempuan pertama Indonesia, Megawati Soekarnoputri, resmi menjabat sebagai ketua DPR RI periode 2019-2024. Puan sendiri juga tak menampik hal ini. Berkata pada media, ia justru menyebut naiknya ia sebagai ketua DPR RI adalah sebuah 'rekor baru' atau 'pecah telur'.
Sejatinya, mungkin tak hanya Puan, perempuan yang sudah alang-melintang kiprahnya di dunia politik. Undang-undang juga sebenarnya telah mengatur keterlibatan perempuan dengan jelas. Seperti yang tertera dalam UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik hingga UU No. 2 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR-DPRD. Dalam undang-undang tersebut telah dijelaskan bahwasanya setiap parpol untuk menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam pendirian mau pun kepengurusan di tingkat pusat sebagaimana dilansir dari detiknews.com.
Lantas, apa dengan tertuangnya 'aturan' tersebut lantas membuat kiprah perempuan semakin diakui di parlemen? Menurut Scholastica Grintya (2017) yang mengutip data Inter Parliamentary Union (IPU) mengatakan bahwa Indonesia menempati peringkat keenam se-ASEAN dalam keterwakilan perempuannya. Sementara angka tersebut harus terjun bebas tatkala bersaing di perhelatan internasional, yakni peringkat 89 dari 168 negara, tertinggal jauh di bawah Afganishtan, bahkan Timor Leste.
Eksistensi Perempuan dalam Belenggu Patriarki
Jikalau berbicara mengenai keterlibatan kaum hawa dalam kiprah politik nasional, nampaknya hal ini masih jauh dari angan-angan. Mengapa tidak, 2004 silam, perempuan hanya berhasil merebut 11.24% kursi di DPR. Menyusul pada pemilu setelahnya di 2009 naik menjadi 18.21%. Namun justru harus kembali menurun di 2014 dengan hanya 17%.
Lantas, mampukah angka 17% tadi mewakili seluruh suara perempuan yang tersebar di seantero negeri? Melihat kini begitu banyak polemik-polemik tentang perempuan yang mulai memekakkan telinga? Keterbatasan peran kaum perempuan tak sebatas salam berpolitik saja. Namun bisa merembet pada hal-hal pragmatis seperti falsafah kehidupan.
Indonesia adalah satu dari sekian banyak negara yang masih menganut budaya patriarki. Salah dua dari banyaknya alasan mengapa perempuan sulit untuk mengembangkan dirinya, apalagi hingga ranah politik. Pola pikir patriarki lebih dominan menempatkan perempuan di bawah kuasa laki-laki, sehingga eksistensi akan pengembangan diri tak sekuat kaum adam, termasuk dalam berpolitik. Pemikiran mendarah daging semacam inilah yang masih mencokol di benak sebagian besar perempuan Indonesia (termasuk saya).
Selain patriarki yang agaknya masih menjadi momok, pemenuhan akan hak-hak perempuan di Indonesia juga masih minim. Di sebagian negara Eropa, perempuan justru mendapat cuti menstruasi ketika mereka bekerja. Ketika 'sang tamu' datang, perempuan tersebut diperbolehkan untuk mengambil cuti istirahat, tentu saja karena rasa sakit yang tiada tara.
Tak terbatas pada pemenuhan hak-hak perempuan dalam kehidupan sehari-hari, dalam dunia politik pun juga tak jauh berbeda. Sederet angka persen yang telah disebutkan di atas, nampaknya belum cukup membawa perempuan-perempuan di Indonesia sejahtera. Mengingat masih banyaknya kasus akan penganiayaan terhadap perempuan di masa ini.
Perempuan, sejatinya akan tetap menjadi perempuan walau tanpa patriarki. Begini, kedudukan perempuan selama ini memang kerap diperdebatkan. Antara harus tinggal di zona nyamannya, atau memberanikan diri mendobrak comfort zone tadi. Akan tetapi, sejauh apapun perempuan berkiprah di dunianya, termasuk juga politik, tak bisa rasanya mengabaikan begitu saja aspek keperempuanan yakni hal-hal mendasar seperti mengurus rumah tangga, jika ia telah memiliki. Karena, dalam agama yang diajarkan kepada saya, perempuan dan laki-laki akan selalu kembali kepada fitrahnya yakni melanjutkan dan memelihara keturunan dengan baik.
Dengan angka-angka yang sudah tersaji akan keterlibatan perempuan dalam berpolitik, nampaknya masih harus menjadi perhatian bagi kita semua. Agar mereka-mereka yang telah duduk nyaman di kursi kekuasaan bisa menggunakan power mereka dalam mengentaskan hal-hal yang merugikan rakyat. Termasuk juga representasi wanita dalam parlemen harus bisa, setidak-tidaknya mengakomodir kebutuhan perempuan di seluruh negeri.
Ditulis oleh Suti Sri Hardiyanti, Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2016.