Sumber Gambar: Website Wikipedia
Makin ke sini, peran iklan semakin penting dalam penjualan produk. Bahkan, kualitas iklan terkadang lebih diperhatikan dibanding kualitas produk itu sendiri. Mungkin kualitas suatu produk tidak lebih baik, bisa jadi lebih buruk ketimbang produk serupa lainnya di pasaran. Oleh karenanya, iklan menjadi salah satu kunci sukses tidaknya suatu produk menggaet hati konsumen.
Banyak produsen suatu produk tidak hanya berhenti di iklan. Lebih jauh dari itu, mereka menempelkan identitas ke produk mereka. Suatu hal yang kita kenal dengan istilah branding.
Proses branding ini mencoba menempelkan sifat dan karakter kepada suatu produk seakan-akan produk tersebut adalah manusia. Berbagai macam jargon, embel-embel, hingga menggunakan manusia sungguhan sebagai Brand Ambassador untuk suatu produk. Makin heboh proses branding ini, makin baik pula penjualan produk ke konsumen. Oleh karenanya, dalam dunia komersil, branding adalah kunci!
Strategi branding dalam menentukan kesuksesan produk dalam menggaet konsumen juga mulai merapat dan diadopsi ke dunia perpolitikan Indonesia. Dalam implementasinya pada sistem demokrasi, para peserta pemilihan umum (Pemilu), baik legislatif maupun eksekutif, saling “menjajakan” diri masing-masing agar mendapat suara pemilih sebanyak mungkin.
Peserta pemilu menjadi produsen sekaligus produk. Sedangkan pemilih diperlakukan layaknya konsumen yang harus diperebutkan dengan cara apapun. Arena perpolitikan yang diperlakukan sedemikian rupa membuat strategi branding lebih penting dari apapun bagi para peserta pemilu. Bahkan, lebih penting dari gagasan, rekam jejak, maupun tujuan akhir dari keikutsertaan mereka dalam pemilu yang sebenarnya menjadi tolok ukur paling penting dalam layak atau tidaknya mereka untuk mendapat suara.
Kalau tidak percaya, ambillah contoh peserta Pemilihan Presiden pada tahun 2024 ini dan tengok bagaimana mereka mem-branding diri masing-masing. Ada paslon (Pasangan calon) nomor urut 1 (Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar) dengan branding oposisinya pada rezim petahana, ada paslon nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dengan branding “gemoy” dan joget-jogetnya. Dan ada juga paslon nomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD dengan branding “salam 3 jari” ala Katniss Everdeen di film The Hunger Games.
Menurut saya, keunikan branding masing-masing paslon membuat pemilu kali ini lebih menarik ketimbang pemilu-pemilu sebelumnya. Namun sebagai insan yang mengemban tugas menjadi intelektual muda, kita mahasiswa jangan hanya melihat kacang dari kulitnya saja. Oleh karenanya, mari kita kupas satu per satu “kulit” dari para paslon ini. Biar adil dan tidak terkesan memihak, kita akan urutkan pembahasannya sesuai dengan nomor urut paslon.
Nomor urut 1: Anies-Muhaimin (AMIN)
Menurut saya, munculnya kombinasi Anies Baswedan dengan Muhaimin Iskandar adalah peristiwa yang historis. Bagaimana tidak, keduanya mempunyai basis massa yang cukup kuat dari kalangan umat Islam. Meskipun, secara akar rumput kedua massa ini mempunyai pemahaman teologis yang agak berbeda dan karena alasan tersebut, tak jarang menyebabkan gesekan antar keduanya. Mahasiswa yang ikut “cipayung-cipayungan” pasti paham maksud saya, hehehe.
Dari singkatan kedua nama paslon ini saja kita bisa tau branding apa yang dipakai. Dari segi keefektivitasan dan memorabilitas singkatan nama paslon, menurut saya ini yang paling mantap. Diksi “Amin” diucapkan berjuta-juta rakyat Indonesia, baik yang beragama Islam maupun Kristen atau Katolik setelah selesai berdoa.
Seakan-akan ketika kita mengingat Tuhan, maka juga akan mengingat paslon nomor 1. Tapi, kalau yang teringat malah praktik politik identitas yang ditunggangi Anies Baswedan ketika Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017 silam, bagaimana? Eh, tak apa kali, ya?
Setidaknya sekarang beliau dan calon wakilnya sekarang berani memposisikan diri sebagai oposisi rezim petahana. Ya, walaupun yang satu pernah satu kabinet dengan rezim petahana dan yang satunya ketua partai yang mendukung rezim petahana selama 2 periode, enggak apa-apa lah ya?
Oke, lanjut!
Nomor urut 2: Prabowo-Gibran
Kalau yang satu ini, sepertinya saya tidak bisa membahas terlalu banyak. Entah kenapa beat ketukan abang bakso yang tiba-tiba lewat pada saat saya menulis membuat saya ingin berjoget. Apa itu pelanggaran HAM? Apa itu penculikan aktivis? Apa itu penyalahgunaan kekuasaan Eksekutif demi bisa mengendalikan Mahkamah Konstitusi supaya si anak bisa jadi cawapres? Apa ini? Apa itu? Entahlah. Saya mau beli bakso sambil joget dulu.
Nomor urut 3: Ganjar-Mahfud
Alhamdulillah,
baksonya mantap.
Ada penguin main bumerang,
Mari kita lanjut bahasannya sekarang!
Baiklah. Selanjutnya kita bahas paslon yang salah satu dari mereka (alias Ganjar) memiliki kemiripan dengan karakter Homelander dari serial The Boys. Entah kebetulan atau tidak, keduanya memiliki kemiripan lagi selain dari segi fisik. Sama-sama merasa termarjinalkan meskipun sebenarnya memiliki kekuatan yang besar. Tidak menilik permasalahan yang lebih besar karena takut merusak branding yang telah dibentuk (Uhuk..Uhuk..Wadas..Ehm..Ehm..Kanjuruhan).
Terakhir, sama-sama memiliki moralitas yang patut dipertanyakan. Smart people pasti paham maksud saya, hehe.
Oke, mari mulai serius. Sepengamatan saya, paslon ini, terutama Ganjar Pranowo, ingin membangun branding dengan komunikasi yang lugas, kritis, dan blak-blakan dengan audiens. Hal tersebut cukup saya apresiasi mengingat adanya politisi yang terlalu tinggi retorika bicaranya dan ada juga yang minim sekali kemampuan public speaking-nya.
Tapi sayang seribu sayang, eksekusi yang dilakukan Ganjar sering bermasalah. Misalnya, pernyataan beliau tentang video porno saat menjadi tamu podcast di kanal YouTube milik Deddy Corbuzier. Menurut saya pernyataan itu merupakan “bumerang” yang sangat fatal dan membuat masyarakat mempertanyakan integritas moral beliau. Tak hanya sekali Ganjar mengeluarkan pernyataan yang bersifat “bumerang”. Sayangnya, pernyataan kali ini merupakan bumerang bagi pasangan pilihannya, yaitu Mahfud.
Pernyataan beliau yang mengkritisi penegakan hukum pada era Presiden Joko Widodo terdengar cukup konyol bila kita mengingat bahwa Mahfud lah yang menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) dan bertanggung jawab atas situasi penegakan hukum di Indonesia. Seakan-akan pada saat itu, Ganjar justru mengkritik Mahfud yang merupakan cawapresnya.
Menutup Diskusi Kali Ini
Politik itu licik, licin, ganas dan tak pandang bulu. Siapa saja bisa jadi kawan dan siapa saja bisa jadi lawan. Tidak ada kesetiaan, yang ada hanya kepentingan dan jabatan. Arena yang sebegitu brutal tidak mempunyai tempat untuk hal yang selembut moral. Dengan berwajah tebal, semua dibuatnya halal. Demi kemenangan, semua hal yang menghalang, bahkan yang sebersih hati nurani, mesti dikesampingkan. Selamat menyambut ibadah Pemilu. Semoga siapapun yang terpilih, tidak menambah penderitaan rakyat yang selama ini pilu.
Opini ditulis oleh Zain Aqil Hidayat, Koordinator Komunitas Laboratorium Intelektual Humanawa, Sastra Inggris, FIB 2018.