Pendidikan adalah senjata terampuh untuk mengubah dunia dan mayoritas kita sepakat akan hal itu. Hanya sebagian kecil kemudian yang tak paham akan hal ini diakibatkan oleh waktunya tersisa untuk memenuhi kebutuhan primer di setiap rutinitasnya. Begitu besarnya gelora harapan perbaikan bangsa yang dilontarkan oleh pemimpin berdialektika indah seolah itu adalah jawaban dari setiap masalah.
Faktanya, setelah menjabat begitu banyak kontradiksi dan permainan retorika sebagai pembenaran akan setiap kebijakan tanpa melibatkan dan memperhatikan nasib para objek kebijakan. Defisit anggaran pendidikan hingga paranoidnya paradigma pemimpin akan gerakan mahasiswa diejawantahkan melalui regulasi seakan menghimpit gerakan yang saat ini tengah menemukan kepingan semangat untuk menunaikan beban sejarah.
Peradaban manusia sebuah bangsa tentunya tak bisa dilepaskan begitu saja oleh negara. Terobosan gagasan yang mengedepankan asas keadilan justru tidak tercermin seindah niatnya, realita yang kita temui regulasi Uang Kuliah Tunggal (UKT) justru memaksa kita melewati berbagai dilema dan hipokrisi.
Rasionalisasi akan pro kontra kebijakan UKT telah menemui titik jenuhnya. Kebijakan nasional abai dengan kondisi daerah yang seharusnya lebih diperhatikan jika benar-benar menjunjung asas keadilan yang proporsional. Kondisi ekonomi masyarakat daerah, psikologis serta hambatan teknis lainnya menjadi alasan kebijakan UKT masih belum menjadi solusi perbaikan pendidikan Indonesia.
Setiap tahunnya temuan kasus selalu berulang dan tak jauh dari aspek transparansi hingga faktor regulasi yang tidak sesuai dengan kondisi. Perjuangan advokasi kebijakan UKT pun telah, sedang dan akan selalu digelorakan mengingat pekerjaan rumah begitu besar setelah pendidikan tak menjadi prioritas dalam Kabinet Kerja, padahal muara dari Revolusi Mental adalah pendidikan. Mental apa yang ingin direvolusi ? Jika mahasiswa dipaksa "jauh" dari organisasi efek tekanan silabus studi dan biaya kuliah tinggi.
Mahasiswa dipaksa kembali ke kelas masing-masing. Mengemban amanah orang tua untuk belajar yang baik. Menjadi pribadi yang individualis dan menjauh dari cita-cita dan jati diri bangsa melalui semangat gotong royong yang selama ini tercermin dalam organisasi. Belajar yang baik tidak hanya berada dalam ruang kelas, sebab perubahan standar penilaian IPK maksimal hanya sampai angka 4 setelah sebelumnya skala penilaian 10 - 100 merupakan gambaran bahwa di dalam intelektual hanya bernilai 4, sementara 96 nilai lainnya diperoleh dari pengembangan emosional dan spiritual yang kita peroleh dari aktivitas ekstrakurikuler serta realisasi dan pemaknaan tri dharma perguruan tinggi.
Mahasiswa dipaksa sepakat dengan kebijakan yang dinilai tidak bersahabat. Dana kita terbatas dan defisit, mahasiswa dipaksa percaya walau batin bergejolak dan terasa sakit. Adik-adik membawa semangat mengenyam pendidikan tinggi, sebab mereka sadar hanya dengan itu mereka mampu memperbaiki derajat keluarga dan merealisasikan mimpi walau dihadapkan dengan ancaman biaya kuliah yang tinggi.
Ditengah terancamnya mahasiswa miskin untuk mengenyam studi pendidikan tinggi, banyak hipokrisi yang hadir seolah mengiris nadi. Mulai statment defisit anggaran sebagai alasan hingga taat aturan sebagai azas perlindungan. Pemimpin kampus justru menggunakan anggaran tersebut untuk melaksanakan rapat penetapan nasib calon mahasiswa di lokas yang menguras anggaran dengan dana yang cukup fantastis. Disaat mahasiswa harus menahan lapar untuk berhemat demi tabungan, kampus justru mengagendakan kebijakan yang dinilai sebagai pemborosan. Dalih penyerapan anggaran membuat mahasiswa harus berlapang dada menerima kenyataan, biaya yang mereka keluarkan untuk pendidikan ternyata masih digunakan untuk aktivitas yang mubazir. (http://www.unmul.ac.id/read/news/2016/803/-gelar-fgd-unmul-tentukan-kelulusan-mahasiswa-baru-jalur-smmptn-2016.html)
Kuota SNMPTN dan SBMPTN di Unmul jumlahnya masih dibawah penerimaan jalur SMMPTN. Padahal, SMMPTN adalah jalur yang telah ditetapkan bertarif relatif tinggi dan membuat semangat jatuh bersama air mata calon mahasiswa dan orang tuanya. Mahasiswa harus kembali bekerja keras menampung setiap keluhan dan pertanyaan bernada kekhawatiran keberlangsungan nasib perkuliahan adik-adik mereka.
Sejak awal akan diterapkannya sistem UKT, kekhawatiran akan munculnya gejolak dan polemik telah disampaikan sebagai wujud aspirasi. Namun hari ini sebuah kontradiksi hadir sebagai konsekuensi dari kebijakan yang setengah hati ini. Perjuangan tak boleh berhenti, segenap civitas akademika harus bahu membahu menuntaskan problematika ini dari daerah. Mulai dari DPR RI, Kemenristekdikti hingga Mensesneg telah mendengarkan aspirasi dan agitasi dari mahasiswa Mulawarman. Sembari berharap, perjuangan ini disokong pula oleh lantangnya suara pejabat kampus lainnya ketika menghadiri agenda nasional untuk menyampaikan fakta polemik kebijakan pendidikan dari nasional yang menyengsarakan daerah.
Pendidikan harga mati ! Negara tak boleh lepas tangan. Rakyat bersiap menagih janji manis walau mereka harus menangis di balik tameng optimisme yang ironis.
Sediakan pendidikan yang layak dan baik serta jauhkan kami dari kebijakan yang munafik.
Semoga pundak para pemimpin dapat kokoh layaknya karang namun hati mereka tetap berkasih sayang hingga dapat berpikir merdeka dan mampu terus bersuara lantang.
Kita disatukan oleh beban sejarah yang sama. Maka sudah sewajarnya perjuangan ini tak boleh surut hanya karena tinta merah dari penguasa. Tumpah darah mahasiswa hanya untuk Bangsa Indonesia dan Indonesia bertugas mencerdaskan segenap tumpah darahnya.
Tenanglah dik, kalian pasti bisa berkuliah.
Gelorakan semangat itu ! Jangan gentar sebab kau melangkah hingga titik ini bukan waktu yang sebentar.
Hidup Mahasiswa !!
Samarinda, 6 Agustus 2016
Oleh : Muhammad Teguh Satria - Presiden BEM KM Unmul 2016