Sumber: Pinterest
Ling-kung-an. Dapat diartikan ke dalam segala sesuatu yang ada di sekitar manusia dan memengaruhi perkembangan kehidupan manusia. Ya, saya kutip dari Wikipedia, namun kurang lebih artinya memang demikian, intinya lingkungan adalah tempat kita tinggal, tumbuh, dan berkembang (biak). Kalau lingkungan bengkok, namanya lengkungan. Ya, saya memang bercanda.
Rex Reyler, salah seorang pendiri Greenpeace International menyatakan dalam tulisannya, kesadaran manusia akan lingkungan dimulai sejak 5000 tahun yang lalu. Dalam agama Veda, pengikutnya memuji hutan. Agama Tao mengajak pengikutnya untuk hidup mengikuti pola alam. Agama Buddha mengajar kasih kepada semua makhluk hidup.
Pun demikian dengan ajaran-ajaran di Mesopotamia, Yunani Kuno, bahkan di kalangan suku Indian. Penduduk dunia kuno banyak mengajarkan tentang keseimbangan alam dan bagaimana manusia harus menjaganya.
Ribuan tahun berlalu, layaknya nasihat orang tua dan seiring berjalannya waktu, ajaran nenek moyang mudah terlupa dari benak anak-cucunya. Kini kita semua hidup di tengah ketidakseimbangan lingkungan yang cukup parah. Sebut saja mencairnya es di kutub, perubahan iklim, banjir karena sampah dan pendangkalan, pencemaran lautan, hingga kebakaran hutan.
Manusia sudah tidak bersahabat dengan alam. Kita semua merusak lingkungan dan berlindung dengan dalih membangun peradaban. Lihat saja ke tongkang dan ponton yang lalu lalang di sungai atau digempurnya bukit kapur untuk disulap menjadi semen. Bukankah itu untuk membangun kota yang katanya lebih beradab?
Mungkin, di masa depan kita tidak akan melihat lagi hinaan anak kecil kepada kawannya yang berbunyi, "Dasar monyet kamu!" Karena monyet sudah tidak ada saat itu. Belantara mulai terkikis habis, tumbuh jadi beton-beton. Sungai bukan lagi jadi habitat ikan Mas dan Mujair, tapi jadi tempat berenang kantung plastik dan pembalut bersayap bekas pakai.
Akal serasa benda tumpul, karena solusi kita juga dangkal. Walaupun gaya hidup pro lingkungan mulai naik pamornya belakangan ini. Seperti menolak plastik dan memakai totebag, atau memakai sedotan berbahan stainless steel sebagai pengganti plastik.
Namun, gaya hidup itu hanya ‘gaya’ dalam ‘hidup’. Tidak menjadi kebiasaan yang betul-betul baik, serta tidak memberi perubahan yang ciamik.
Perilaku kita membuat saya tidak percaya dengan teori Darwin bahwa manusia itu dari binatang. Tidak ada binatang yang menebang hutan, tidak ada binatang yang mencemari lautan, dan tidak ada binatang yang menghasilkan gas polutan. Binatang hidup di bumi hanya untuk numpang makan lalu jadi tulang.
Lantas untuk apa hidup manusia? mungkin untuk menghancurkan lalu hilang.
Ditulis oleh Mochamad Fernanda Fadhila, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2016.