Sumber Gambar: Dokumen Pribadi
Perkawinan adalah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram. Manusia melakukan perkawinan untuk menciptakan ikatan lahir dan batin yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Hubungan perkawinan memiliki makna yang sangat penting bagi pasangan suami istri yang ingin melangsungkan hidup bersama. Perkawinan berfungsi sebagai sarana untuk mendapatkan keturunan yang sah dalam rangkaian melanjutkan generasi, di samping agar suami istri mampu membina kehidupan yang tentram lahir dan batin berdasarkan cinta dan kasih dalam suatu rumah tangga yang bahagia.
Agar perkawinan memiliki legitimasi dan diberi proteksi oleh hukum, setiap pasangan suami istri yang melangsungkan hubungan perkawinan harus melakukan pencatatan atas perkawinan tersebut. Pencatatan perkawinan memang bukanlah suatu syarat sah perkawinan, namun pencatatan tersebut memiliki peranan yang sangat penting dan memiliki konsekuensi hukum bagi suami istri.
Dalam proses pencatatan perkawinan, sering kali ditemui adanya permohonan dispensasi pengesahan perkawinan dengan anak di bawah umur. Hal ini dinilai menjadi suatu masalah serius yang menciptakan pro dan kontra di masyarakat, baik di Indonesia maupun di luar negeri.
Perkawinan di bawah umur sendiri merupakan perkawinan yang dilaksanakan suami dan/atau istri yang usianya belum mencapai usia yang ditentukan oleh undang-undang, yang dasar hukumnya terdapat pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Disebutkan pada perubahan Pasal 7 ayat (1) bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun. Kemudian pada ayat (2) disebutkan bahwa orang tua salah satu atau kedua mempelai dapat meminta dispensasi kepada pengadilan apabila salah satu atau kedua mempelai di bawah umur, namun harus disertai dengan alasan yang mendesak disertai bukti-bukti yang cukup. Perkawinan di bawah umur tidak bisa dicatatkan apabila tidak ada putusan pengadilan yang memberikan dispensasi.
Pengadilan yang berwenang menetapkan permohonan dispensasi perkawinan bagi yang beragama Islam adalah Pengadilan Agama berdasarkan Pasal 49 dan 50 Undang-Undang Peradilan Agama. Sedangkan bagi pihak yang nonmuslim, kewenangan tersebut berada pada Pengadilan Negeri.
Meskipun dispensasi perkawinan telah difasilitasi dalam peraturan perundang-undangan, namun masih banyak praktik perkawinan di bawah umur yang dilaksanakan secara ilegal tanpa adanya dispensasi kawin. Berdasarkan hasil analisis oleh Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ 2), pada tahun 2018 hingga tahun 2019, ditemukan bahwa lebih dari 95 persen perkawinan anak terjadi tanpa permohonan dispensasi.
Selain perkawinan di bawah umur tanpa dispensasi, diketahui pula bahwa dalam proses permohonan dispensasi kawin, tidak semua anak dimintai dan didengarkan keterangannya di pengadilan. Padahal, anak merupakan pihak yang paling terkena dampak dari putusan pengadilan.
Berdasarkan hasil analisis AIPJ 2, diketahui bahwa hanya 55 persen anak yang hadir dan didengarkan keterangannya di pengadilan. Sedangkan 45 persen lainnya belum secara jelas disebutkan bahwa anak dihadirkan, didengarkan pandangannya, atau dipertimbangkan oleh pengadilan.
Apabila praktik peradilan mengenai dispensasi perkawinan yang tidak berkeadilan terus dilakukan dan tidak ada perubahan, maka bangsa Indonesia belum mampu menekan angka perkawinan anak. Praktik perkawinan di bawah umur memberikan dampak negatif yang begitu besar bagi negara, seperti meningkatnya jumlah anak yang putus sekolah.
Anak yang putus sekolah dapat menurunkan kualitas hidup anak tersebut karena tidak memiliki keterampilan. Efek jangka panjangnya adalah meningkatnya angka kemiskinan pada penduduk berusia muda, yang berbanding lurus dengan meningkatnya angka kejahatan.
Oleh karena itu, untuk menjamin keadilan dalam sistem peradilan agama mengenai dispensasi perkawinan, pengadilan dalam beracara wajib mengimplementasikan asas mengadili perkawinan anak. Pengadilan wajib mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak dalam segala tindakan, mempertimbangkan hak hidup dan tumbuh kembang demi keberlangsungan kehidupan anak, menghargai hak-hak anak dalam mempertimbangkan pengambilan keputusan.
Selain itu, pengadilan juga diwajibkan untuk menghargai anak layaknya orang dewasa yang memiliki harkat dan martabat yang sama, nondiskriminasi, kesetaraan gender, persamaan di depan hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam (maqashid syariah): “Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada meraih kemaslahatan dan apabila bertentangan antara kerusakan dengan kemaslahatan maka yang didahulukan adalah menolak kerusakan”.
Selain itu, dalam menekan angka perkawinan anak di Indonesia, para pemangku kebijakan wajib melakukan gebrakan yang revolusioner. Sebagai contoh, dengan menerapkan pemidanaan bagi para pihak yang melakukan perkawinan anak secara ilegal, memperketat regulasi terkait seperti pemberlakuan denda bagi setiap orang yang mengajukan permohonan dispensasi kawin di pengadilan hingga melakukan sosialisasi berskala besar kepada masyarakat.
Perubahan ini sangat diperlukan, mengingat hukum hadir sebagai kontrol sosial, rekayasa sosial, dan kesejahteraan sosial (law as social control, social engineering, and social welfare).
Opini ditulis oleh Luthfi Ahmadani Rahman, mahasiswa Prodi Ilmu Hukum, FH Unmul 2021