
Sumber Gambar: www.danantara.id
Senin (24/2) lalu, Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto meresmikan peluncuran Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara atau yang dikenal dengan singkatan “Danantara”.
Peresmian tersebut ditandai dengan penandatanganan Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 2020 tentang Pengangkatan Dewan Pengawas dan BPI Danantara Indonesia serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 2025 tentang Organisasi dan Tata Kelola BPI Danantara.
Danantara yang dibentuk sebagai super holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini menggabungkan sejumlah perusahaan, di antaranya Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), PLN, Pertamina, Bank Negara Indonesia (BNI), Telkom Indonesia, dan Mining Industry Indonesia (MIND ID).
BPI Danantara akan mengelola sejumlah aset BUMN yang nilainya mencapai 900 miliar dollar Amerika Serikat (AS) atau sekitar 14,6 ribu triliun rupiah. Mengenai dana awalnya sendiri bersumber dari efisiensi anggaran pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang mencapai hingga 20 miliar dollar AS atau setara dengan 326 triliun rupiah. Angka yang begitu fantastis nilainya.
Melalui Danantara, Pemerintah Indonesia bertujuan untuk mengefektifkan pengelolaan perusahaan BUMN, optimalisasi dividen, dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Tidak hanya itu, pembentukan Danantara juga digadang-gadang sebagai instrumen alat dalam pembangunan ekonomi Indonesia, meningkatkan nilai tambah untuk negara, serta menghasilkan lapangan kerja dan menyejahterakan masyarakat. Sehingga, cita-cita Indonesia Emas 2045 pun semakin jelas di depan mata.
Benar, bahwasanya hasil akhir yang direncanakan sangatlah membawa titik terang dan harapan bagi perekonomian dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Namun, perlu diingat, bahwa segala sesuatunya memiliki dua sisi. Ada hitam, ada putih. Ada gelap, dan ada terang.
Tentu, kita haruslah optimis serta percaya bahwa segala sesuatunya memiliki risiko. Dan untuk mendapat hasil besar, kita juga harus mempertaruhkan hal yang tidak kecil sembari bersiap akan risiko besar di kemudian hari.
Akan tetapi, yang menjadi kekhawatiran ialah masa depan negara yang dipertaruhkan. Ada sisi harapan untuk Indonesia lebih sejahtera dan membaik. Namun di baliknya, ada juga krisis ekonomi yang menunggu apabila Danantara tidak dijalankan dengan optimal dan mengalami kegagalan.
Jika dilihat dari respons masyarakat, Danantara ditanggapi dengan kekhawatiran. Mulai dari maraknya ajakan untuk menarik dana dari Bank BUMN, hingga menurunnya harga saham. Dikutip dari Tempo.co, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok sebanyak 7,83 persen ke level 6.270 pada perdagangan 24—28 Februari 2025. Dikatakan, penurunan tersebut diduga akibat sentimen publik terhadap Danantara.
Jika hal tersebut terus terjadi, bukankah tujuan untuk menciptakan perekonomian yang lebih baik bagi Indonesia justru semakin mudah untuk ditepis?
Belum lagi ketakutan akan intervensi politik pada pergerakan Danantara ke depannya. Tentu, akan sangat mengkhawatirkan apabila Danantara berjalan dengan adanya campur tangan sekelompok orang berkepentingan.
Oknum-oknum yang diberi kepercayaan untuk menjalankan suatu hal, namun malah mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri, yang merugikan negara dan masyarakat luas.
Sebagai contoh, kasus korupsi pada penjualan Pertamax oplos Pertamina yang kerugiannya mencapai angka 968,5 triliun rupiah atau bahkan bisa mencapai angka satu kuadriliun. Ada juga kasus Asuransi Jiwasraya yang kerugiannya mencapai angka 17 triliun rupiah. Bahkan, hingga saat ini nasabah yang menjadi korban masih menuntut pengembalian dana.
Wajar jika masyarakat skeptis akan kebijakan Danantara ini dan merasa ada kepentingan di baliknya. Daripada sebagai upaya untuk menyejahterakan masyarakat, ini lebih terlihat seperti upaya memperbesar arena serta peluang untuk para ‘tikus-tikus berdasi’ bergerak mengambil keuntungan.
Perilaku buruk yang terus terjadi dan masih menjadi rapor merah Indonesia ini menimbulkan keraguan terhadap jalannya kebijakan danantara. Akankah Danantara kemudian berhasil dan benar-benar bertujuan untuk memperbaiki indonesia serta menyejahterakan masyarakatnya? Atau justru menjadi arena para tikus berdasi untuk bergerak lebih leluasa?
Tidak ada yang tahu seperti apa hasilnya? Oleh karena itu, pengawasan ketat dalam pergerakan Danantara ke depannya sangat diperlukan. Adanya transparansi dan peninjauan rutin perlu untuk mengantisipasi pergerakan-pergerakan yang tidak diinginkan.
Masyarakat lelah dengan kerugian yang terus menerus terjadi akibat ulah para oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Sebab, masyarakat lah yang selalu berada di posisi yang dirugikan.
Dengan demikian, kita sebagai masyarakat juga punya hak dan memiliki peran penting untuk mengawal pergerakan Danantara ke depannya agar berjalan sesuai dengan cita-cita yang telah disampaikan.
Opini ini ditulis oleh Risna, mahasiswi Ilmu Komunikasi FISIP Unmul 2022