BEM KM Unmul melakukan serangkaian gerakan dalam mengadvokasi polemik UKT 2013. Dari mulai diskusi, konsolidasi, audiensi hingga puncaknya aksi mahasiswa di halaman Rektorat Unmul pada Selasa (25/7) lalu. Pasca aksi tersebut, benarkah advokasi yang dilakukan oleh BEM KM Unmul dianggap gagal?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita tidak bisa melihatnya dari sudut pandang yang empiris (pengalaman subjektif) beberapa minggu terakhir. Bahwa, perjuangan menolak pembayaran dengan sistem UKT ini telah berlangsung sejak awal UKT ini diterapkan di kampus tahun 2013. Namun, sampai sekarang, sistem pembayaran UKT bukan semakin menguntungkan mahasiswa, justru semakin menimbulkan masalah. Lalu, apakah kita bisa mengatakan bahwa perjuangan yang dibangun oleh gerakan mahasiswa sejak beberapa tahun lalu merupakan sebuah kegagalan. Tentu ini adalah pasang surut gerakan yang harus kita lihat secara dialektis (menarik keterkaitannya).
Seringkali kita mengalami atau menyaksikan, gerakan mahasiswa membesar hanya ketika ada momentum-momentum tertentu saja (untuk sekarang, momentum pembayaran UKT). Setelah momentum tersebut berlalu, atau tuntutan yang dilakukan berhasil atau tidak berhasil sama sekali, gerakan mahasiswa-pun akhirnya mengalami demoralisasi.
Berbagai organisasi mahasiswa kemudian kembali melakukan aktivitas di organisasi mereka masing-masing untuk menyukseskan program kerjanya, serta bergerak secara terpisah. Seolah memisahkan program kerja organisasi dengan program perjuangan melawan pendidikan yang mahal. Inilah penyakit dalam gerakan mahasiswa yang masih terjangkit penyakit spontanitas dan sektarianisme, yakni hanya besar ketika ada momentum tertentu saja, kemudian surut seiring momentum tersebut berlalu.
Apakah yang menyebabkan penyakit tersebut? Persoalan utamanya adalah terdapat kekeliruan dalam memahami akar persoalan dari polemik pendidikan. Memahami akar masalah hanya karena UKT yang mahal, membuat gerakan mahasiswa mengkonsentrasikan segala daya dan upayanya untuk menuntut transparansi, pengurangan UKT, dan sebagainya. Lalu, ketika perjuangan yang dilakukan tersebut menemui jalan buntu, secara otomatis gerakan akan mengalami demoralisasi. Apalagi, masalah dalam dunia pendidikan itu ada banyak sekali, seperti fasilitas belajar yang tidak memadai, tenaga pengajar yang tidak berkompeten, upah pekerja pendidikan yang tidak layak, dan sebagainya.
Di Unmul misalnya, untuk menutupi kekurangan anggaran pendidikan, universitas membuka seluas-luasnya penyerapan anggaran dari tes masuk perguruan tinggi, yang kita kenal sebagai Seleksi Mandiri (SMMPTN). Penerimaan ini tidak diimbangi dengan penyediaan fasilitas yang memadai dan tenaga pengajar yang berkualitas. Tahun 2015 lalu, rasio antara dosen dan mahasiswa di Unmul mencapai 1:53,8 (984 dosen tetap dan 32.753 mahasiswa), yang prodi dengan rasio paling jomplang yakni Ilmu Administrasi Bisnis dengan rasio 1:140,7 (6 dosen tetap dan 844 mahasiswa). Situasi ini tentu tidak membuat produktif aktivitas belajar.
Belum lagi universitas menggandeng kerja sama dengan pebisnis, seperti membuka Indomaret, yang akan semakin menggusur kreatifitas mahasiswa dan pedagang kecil karena kalah bersaing dengan pasar yang lebih besar. Kemudian, gedung-gedung kampus yang bukan hanya dijadikan sebagai sarana ilmiah pengembangkan ilmu pengetahuan, tetapi digunakan untuk panggung konser, acara pernikahan, dan sebagainya, dengan dalih penyerapan anggaran.
Persoalan pendidikan yang terjadi tersebut, bukan hanya dialami oleh Unmul saja. Tetapi, seluruh universitas di Indonesia, bahkan dunia juga mengalami hal yang sama. Lantas, apakah masalah tersebut akan kita selesaikan satu demi satu? Selesaikan dulu persoalan biaya kuliah, lalu, lanjut ke masalah fasilitas, setelah selesai, kemudian masalah tenaga pengajar, dan sebagainya, dan sebagainya, hingga habis segala daya dan upaya. Tentu tidak. Kita harus memiliki motivasi yang tepat dalam melihat berbagai persoalan, menarik keterkaitan setiap masalah yang terjadi dengan akar persoalannya.
Kita harus mempertegas, bahwa akar masalah dari pendidikan kini adalah kapitalisme dan komersialisasi pendidikan. Karena komersialisasi pendidikan, pendidikan dijadikan sebagai sarana untuk mencetak tenaga kerja murah yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Karena kapitalisme, pendidikan digunakan untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pemilik modal yang memiliki kekayaan sangat besar. Maka, tidak heran jika berbagai permasalahan yang ada di dunia pendidikan kini merupakan sesuatu yang sangat kompleks. Oleh karena itu, motivasi yang tepat perlu kita bangun dalam mewujudkan pendidikan yang lebih baik, yakni melawan Komersialisasi Pendidikan.
Perjuangan dalam melawan komersialisasi pendidikan ini sekali lagi tidak bisa dilihat hanya dari sudut pandang yang empiris, melalui umur manusia. Menggunakan sudut yang empiris membuat gerakan mahasiswa akan terlena jika mengalami kekalahan atau kemenangan kecil dalam sebuah gerakan. Padahal, perjuangan dalam melawan komersialisasi pendidikan ini telah dilakukan oleh gerakan mahasiswa berpuluh-puluh tahun lamanya. Semenjak kapitalisme mengemuka pasca revolusi industri di Inggris (1750-1850), tenaga ahli sangat diperlukan untuk menjalankan mesin-mesin dan teknologi baru agar tidak rusak dan berkarat, untuk itulah dunia pendidikan awal mulanya dibentuk agar dapat menjalankan teknologi baru untuk keuntungan kapitalis.
Dalam perkembangannya, pelajar/mahasiswa semakin sadar untuk melakukan perubahan terhadap ketertindasan yang dia alami. Pada tahun 1939 di Cekoslovakia, kaum muda, pelajar, dan mahasiswa melakukan perlawanan terhadap penjajahan fasis NAZI Jerman. Mereka menggelar demonstrasi besar hingga mendapatkan tindakan represif habis-habisan oleh rezim fasis. Peristiwa tersebut diperingati sebagai momentum International Students Day (ISD) atau Hari Pelajar/Mahasiswa Internasional, yang setiap tahunnya hingga kini diperingati oleh pelajar/mahasiswa di berbagai negara untuk melawan komersialisasi pendidikan.
Pengalaman menarik di Perancis tahun 1968, pemogokan mahasiswa di kampus-kampus menentang pendidikan yang kapitalistik, meluas menjadi demonstrasi umum bersama kelas buruh dan rakyat lainnya menolak perang imperialis terhadap revolusi Vietnam, upah layak, dan sebagainya. Sementara di Afrika Selatan tahun 2016 lalu, mahasiswa bersama kelas buruhnya bukan hanya bergerak bersama melawan komersialisasi pendidikan dan sisitem outsourching, tetapi juga melawan sistem Apertheid (yang rasis) peninggalan kolonialisme Eropa.
Lalu, apa yang perlu dilakukan oleh gerakan mahasiswa di Indonesia? Pertama, adalah belajar. Dengan membangun diskusi ilmiah, riset, dan konsolidasi secara rutin di setiap kampus, untuk memahami setiap masalah yang diakibatkan oleh kapitalisme dan komersialisasi pendidikan. Untuk melawan sistem yang menindas, kita perlu memahami bagaimana sistem tersebut berjalan. Sebab, bagaimana mungkin kita melawan apa yang tidak kita ketahui.
Banyak mahasiswa yang memiliki semangat baja dalam berjuang, namun, semangat saja tidaklah cukup, yang penting untuk dibangun adalah berjuang karena kesadaran, bukan karena ikut-ikutan. Kedua, adalah solidaritas. Sebab, kapitalisme dan komersialisasi pendidikan bukan hanya merugikan mahasiswa. Tetapi, orang tua kita yang kelas buruh, kaum tani, nelayan, dan sebagainya. Selain karena kesulitan memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari, mereka juga kesulitan untuk membiayai anak mereka menempuh pendidikan yang tinggi. Oleh karenanya, solidaritas terhadap sektor rakyat lainnya perlu dibangun dalam melawan kapitalisme dan komersialisasi pendidikan.
Banyak organisasi mahasiswa seolah-olah mempertentangkan, program kerja mereka dengan perjuangan melawan komersialisasi pendidikan. Seringkali dalam konsolidasi, organisasi mahasiswa terpecah-belah karena sektarianisme berbagai organisasi. Entah karena ada rapat internal, mengadakan event, dan sebagainya. Padahal, dengan motivasi yang tepat, setiap program yang dibangun semestinya dimuarakan untuk melawan komersialisasi pendidikan, sesuai dengan realitas atau keadaan konkret. Bukan hanya untuk mensukseskan program kerja tahunan agar terkesan baik kepengurusannya, tetapi, untuk cita-cita yang lebih mulia, yakni mewujudkan pendidikan yang lebih baik untuk semua.
Gerakan yang dibangun oleh BEM KM Unmul dalam menolak UKT yang mahal untuk mahasiswa angkatan 2013 ini, tentu saja kegigihannya harus kita apresiasi. Namun, apresiasi yang baik tentunya harus disertai kritik. Selain karena gerakan yang dilakukan terkesan spontanitas, terlalu kooperatif, juga masih belum mendalamnya analisis untuk dimuarakan dalam melawan komersialisasi pendidikan. Oleh karenanya, memaknai setiap gerakan adalah dorongan untuk membangun gerakan yang lebih besar dikemudian hari. Sebab, dalam mewujudkan kehidupan yang lebih baik, perlu diperjuangkan oleh masyarakat itu sendiri. Sistem pendidikan yang berorientasi profit, utopis, serta mengasingkan manusia dari kesadarannya, harus dilawan dengan upaya yang sadar dan sistematis. Seperti yang Antonio Gramsci katakan “melawan hegemoni dengan hegemoni."
Ditulis oleh Angga Kusuma Wijaya anggota Lingkar Studi Kerakyatan