Aset Negara Jadi Bancakan Koruptor Pertamina

Aset Negara Jadi Bancakan Koruptor Pertamina

Sumber Gambar: kompas.com

Berkembang sejak era pertama, Pertamina di bawah kepemimpinan Ibnu Sutowo (1957-1976) memiliki model yang terlalu otoriter, di mana perusahaan negara ini dijalankan layaknya kerajaan bisnis pribadi. Dalam periode tersebut, Pertamina turut masuk ke bisnis lain seperti hotel, maskapai penerbangan, hingga rumah sakit dengan pengawasan yang minim sehingga banyak terjadi penyimpangan dan korupsi. 

Utang luar negeri yang membengkak mencapai sepuluh miliar pada 1970-an. Penyalahgunaan dana perusahaan untuk kepentingan pribadi dan politik menjadi simbol awal bancakan aset negara di Pertamina. 

Mohammad Hatta dan pengamat lain bahkan menuding Ibnu Sutowo bertanggung jawab atas penyimpangan besar ini. Sejak itu, paradigma aset negara sebagai ladang keuntungan pribadi mulai melekat di Pertamina. 

Hal tersebut berlanjut hingga kasus-kasus korupsi modern yang mencerminkan praktik pemanfaatan aset dan keuangan.

Penulis berpendapat hal ini merupakan tragedi besar penyebab kerugian negara dan masyarakat yang sangat signifikan. Korupsi Pertamina tidak hanya berdampak pada kerugian finansial negara, yang mencapai triliunan rupiah, tapi juga merugikan masyarakat secara langsung. 

Misalnya melalui praktik pengoplosan bahan bakar jenis Pertamax yang merugikan hingga 17,4 triliun rupiah per tahun dan mengurangi produk domestik bruto 13,4 triliun rupiah. Korupsi ini merusak kepercayaan publik, menghambat pengembangan infrastruktur energi, dan meningkatkan ketergantungan impor energi yang berdampak negatif pada stabilitas ekonomi nasional. 

Kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi Pertamina dan pihak swasta ini menunjukkan sistem yang rusak dan lemahnya pengawasan internal di perusahaan pelat merah tersebut.  Hal ini mendorong kebutuhan mendesak untuk reformasi tata kelola, penguatan sistem pengawasan, dan transparansi agar kejadian serupa tidak terulang.

Korupsi di Pertamina membawa dampak sangat merugikan dari segi ekonomi nasional hingga kesejahteraan masyarakat. Pertama, kegiatan korupsi menyebabkan kerugian finansial negara yang sangat besar, tercatat hingga triliunan rupiah per tahun. Hal tersebut merupakan akibat dari penggelembungan harga impor minyak mentah, pengoplosan bahan bakar, dan pengelolaan aset yang tidak transparan. 

Kerugian ini mengurangi anggaran negara yang semestinya digunakan untuk subsidi, kesehatan, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur energi. Sayang, korupsi ini menyebabkan inefisiensi nasional dan membengkak biaya produksi serta distribusi bahan bakar.

Hal tersebut akhirnya dibebankan ke konsumen dalam bentuk harga BBM yang lebih tinggi dan kualitas pelayanan yang menurun. Hal tersebut berdampak langsung pada biaya hidup masyarakat sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menyusutkan produk domestik bruto (PDB).

Sebagai kesimpulan, penulis ingin menekankan bahwa korupsi di Pertamina adalah masalah serius yang harus diatasi dengan segera. Pemerintah harus bekerja sama dengan lembaga-lembaga anti-korupsi untuk menghukum koruptor dan memastikan aset-aset negara dikelola dengan baik. Hanya dengan demikian, kita dapat membangun Indonesia yang lebih adil dan sejahtera.

Opini ini ditulis oleh Ahmad Abi Aris, mahasiswa Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan FKIP Unmul 2025