Sumber Gambar: Website Presiden RI
Ibu Kota Nusantara atau sering disebut IKN digadang-gadang menjadi solusi bagi banyak masalah yang sedang dialami Indonesia. Permasalahan ini dimulai dari ketidakmampuan Jakarta di masa depan sebagai ibu kota, permasalahan pemerataan pembangunan, serta menghapuskan stigma negara “Jawa sentris”. Semua hal ini dibahas dalam UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara.
Semua harapan dan impian yang disuarakan saat ini tentu saja penulis dukung karena memberikan banyak dampak positif. Namun, di sisi lain, kita juga tidak bisa buta terhadap permasalahan yang dapat terjadi akibat IKN yang bisa menimbulkan pertanyaan: apakah pemerintah siap untuk membangun IKN?
Pada tulisan ini, penulis akan menganalisis UU Nomor 3 Tahun 2022 secara langsung. Beberapa pasal yang penulis baca ternyata memiliki implikasi negatif bagi keberlangsungan masyarakat lokal. Khususnya pada tata kelola pemerintahan yang dibangun di IKN.
Pertama, disebutkan bahwa otorita IKN diutamakan dalam pasal 17, yakni pembelian tanah di daerah IKN. Walaupun disebutkan di pasal 21 bahwa pengelolaan mempertimbangkan hak-hak komunal masyarakat adat, tetapi penggunaan diksi diutamakan dapat menjadi permasalahan di masa depan apabila terjadi sengketa dengan pemerintah dan masyarakat adat. Undang-undang ini juga menjelaskan di pasal 39 ayat 3 bahwa hal yang di luar wilayah IKN adalah hak pemerintah daerah setempat. Secara administratif ini tidak masalah. Namun, implikasi dari pembangunan IKN ini tidak hanya terdapat pada kawasan IKN saja. Kita perlu mengingat bahwa IKN juga memiliki daerah-daerah penyangga, bahkan sampai di Kalimantan Tengah di Kabupaten Barito Timur. Tanpa perlindungan serupa, imigrasi besar-besaran di daerah IKN dapat menggerus kondisi masyarakat adat di daerah tersebut.
Kedua, dikecualikan wilayah IKN layaknya pemerintah daerah lainnya. Konsep seperti ini banyak diterapkan di negara federal seperti di Amerika Serikat dengan Federal Lands mereka. Ibu kota mereka yaitu Washington D.C. juga bekerja seperti ini. Perlakuan seperti ini terhadap otorita IKN secara fundamental berbeda dengan bentuk negara Indonesia sebagai negara kesatuan. Implikasi dari kebijakan ini sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat 3 dan 6 tentunya besar. Mulai dari ketiadaan perwakilan daerah untuk membahas pemerintahan daerah yang berimplikasi pada hal lainnya, seperti pembatasan suara masyarakat lokal di tingkat daerah yang hanya bisa diperjuangkan melalui pemerintah nasional.
Hal serupa telah terjadi di Washington DC. Sekitar 500 ribu masyarakat yang membayar pajak tidak memiliki perwakilan di pusat. Di Indonesia, mengingat perkiraan populasi IKN, 1,5 juta orang bisa saja tanpa perwakilan daerah. Problematika-problematika khas daerah akan sulit untuk diakomodasikan melalui saluran nasional. DPD IKN nantinya juga tidak bisa berbuat banyak dikarenakan jumlah mereka yang terbatas. Di Amerika, masalah keterwakilan masyarakat Washington DC digunakan sebagai amunisi politik bagi beberapa pihak demi kepentingan politisnya sendiri. Apakah nasib masyarakat IKN nantinya akan sama? Hanya waktu dan tanggapan pemerintah yang bisa menjawab.
Ketiga, ketidakjelasan masa jabatan kepala dan wakil kepala otorita IKN. Di Pasal 10 ayat 1, dikatakan bahwa “Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara dan Wakil Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat ditunjuk dan diangkat kembali dalam masa jabatan yang sama”. Tidak dijelaskan apakah kepala otorita dan wakil otorita IKN memiliki masa jabatan. Ada kemungkinan dimana kepala otorita IKN menjabat lebih dari dua periode dan mematikan regenerasi pemerintahan. Minimnya regenerasi ini akan menghambat masuknya ide-ide baru yang dapat mengarahkan IKN ke arah yang lebih baik.
Keempat, masih berkaitan dengan poin ketiga, posisi kepala dan wakil kepala otorita IKN yang setara dengan menteri. Kita tahu bahwa di Indonesia sering terjadi reshuffle kabinet beberapa tahun sekali. Posisi kepala dan wakil kepala otorita IKN yang setara dengan menteri ini turut jatuh ke dalam masalah ini. Akankah kepala dan wakil kepala otorita IKN hanya sebagai boneka presiden yang menjabat pada saat itu saja dan ketika masa jabatannya habis akan digantikan? Melihat kondisi politik Indonesia, hal ini sangat mungkin terjadi. Jika hal ini terjadi, perencanaan jangka panjang tentunya akan sulit tercapai.
Beberapa hal yang telah disampaikan hanyalah segelintir permasalahan yang dapat penulis sampaikan. Mengingat betapa masif skala pembangunan IKN ini, pemerintah perlu melalukan kajian terus menerus secara mendalam agar dapat meminimalkan masalah di masa depan. Dengan demikian, mimpi dan harapan yang disematkan kepada IKN akan terwujud dan pemerintah bisa dikatakan siap dengan maksimal dalam membangun IKN.
Opini ditulis oleh Marcello Ahimsa Hayamaputra, mahasiswa Ilmu Pemerintahan, FISIP 2021.