Dilema Kupu-Kupu Vs Kura-Kura: Menyibak Pola Hidup Mahasiswa Masa Kini

Dilema Kupu-Kupu Vs Kura-Kura: Menyibak Pola Hidup Mahasiswa Masa Kini

Sumber Gambar: Arsip Sketsa

SKETSA –  Di era yang serba dinamis, kehidupan mahasiswa telah mengalami evolusi yang signifikan. Tidak lagi sekadar tentang mengejar nilai akademis, masa perkuliahan kini menjadi ajang eksplorasi berbagai gaya hidup yang dapat membentuk masa depan mereka.

Ada fenomena dualisme kehidupan mahasiswa yang telah lama menjadi sorotan di lingkungan perguruan tinggi. Di mana satu sisi terdapat kelompok mahasiswa yang dikenal sebagai "kupu-kupu" (kuliah-pulang), sementara di sisi lain ada "kura-kura" (kuliah-rapat) yang aktif dalam berbagai kegiatan organisasi kampus.

Namun, bagaimana sebenarnya dampak kedua pilihan gaya hidup ini terhadap perkembangan akademis dan personal mahasiswa? 

Penelitian yang dilakukan oleh Videlitha pada akun Instagram @anak.kuliah menemukan bahwa stereotip “kupu-kupu” dan “kura-kura” hadir dari keyakinan tentang atribut personal yang dimiliki oleh mahasiswa. Atribut ini mencakup penilaian jangkauan bersosialisasi dan cara mereka mengelola waktu.

Mahasiswa "kupu-kupu" dikenal sebagai sosok yang memilih untuk fokus pada kehidupan akademik. Sesuai namanya, rutinitas mereka umumnya terbatas pada kuliah dan pulang dengan sebagian besar waktu dicurahkan untuk mengerjakan tugas, belajar, dan agenda lain yang lepas dari giat akademik.

Adapun Talitha, seorang mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Unmul yang memutuskan hanya berfokus pada dunia akademik, mengaku dirinya punya target dari perkuliahan. Maka dari itu, mahasiswa kupu-kupu jadi pilihannya.

“Sejak awal aku memang fokus mau menyelesaikan kuliah dengan IP (Indeks Prestasi) bagus. Aku ngerasa kalau terlalu banyak kegiatan, fokus belajar bisa keganggu. Lagian, orang tua berharap aku bisa lulus tepat waktu aja,” jelas Talitha saat ditemui langsung pada (2/10).

Di sisi lain, mahasiswa "kura-kura" adalah mereka yang aktif dalam berbagai kegiatan organisasi kampus. Julukan ini muncul karena mereka sering kali menunda waktu pulang akibat padatnya jadwal rapat dan kegiatan organisasi.

Walaupun dihadapkan dengan jadwal padat oleh kegiatan organisasi, Amadea Aryanto, yang juga satu prodi dengan Talitha menyatakan, bahwa kunci utama menjaga keseimbangan kehidupan organisasi dan akademik adalah manajemen waktu. 

Lebih lanjut, ia menjelaskan hal itu dapat direalisasikan melalui penggunaan kalender di ponsel untuk memantau tenggat tugas kuliah dan jadwal organisasinya.

Meski terkesan bertolak belakang, kedua gaya hidup ini sebenarnya memiliki titik temunya masing-masing. Baik kupu-kupu maupun kura-kura, keduanya memiliki kesempatan yang sama untuk sukses dalam karirnya kelak. Yang terpenting adalah bagaimana mahasiswa dapat memaksimalkan pilihan gaya hidup mereka.

“Kalau memang lebih nyaman fokus kuliah, gak masalah sama sekali. Yang penting tetap mengembangkan diri dengan cara masing-masing. Bisa lewat hobi, part-time job, atau kegiatan lain,” terang Talitha.

Perihal alasan, Amadea yang memilih untuk mengeksplor dunia di luar bidang akademik, mengaku ingin menambah relasi juga melatih untuk terbiasa dengan kerja tim. Tak hanya itu, menjadi mahasiswa kura-kura juga membuatnya terlatih untuk mengatur waktu kegiatan.

“Alasan utamanya jelas, untuk bikin CV (Curriculum Vitae) makin kece,” beber Amadea saat ditemui langsung (2/10) lalu.

Di tengah dinamika kehidupan kampus yang terus berubah, keberagaman gaya hidup mahasiswa justru memperkaya warna-warni dunia perkuliahan. Alih-alih mempertentangkan mana yang lebih baik antara kupu-kupu dan kura-kura, mungkin sudah saatnya kita menghargai keunikan setiap pilihan dan bagaimana hal tersebut berkontribusi pada pembentukan generasi penerus bangsa yang beragam dan berkualitas. (lap/mar)