Upaya Ringankan Beban Mental Mahasiswa Gen Z, Himapsos FISIP Unmul Helat Seminar Gender Nasional
Sumber Gambar: Ai/Sketsa
SKETSA - Himpunan Mahasiswa Pembangunan Sosial (Himapsos) FISIP Unmul menghelat seminar gender nasional bertema “Dilema Gen Z: Kebebasan Berekspresi dan Ketidaksamaan Beban Mental Antar Gender” di aula lantai 3 Perpustakaan Unmul pada Rabu (23/10) kemarin.
Mendatangkan dosen Psikologi Agnes Sandra dan anggota komunitas Savrinadeya Support Group, Erick Julian Pratama, acara ini dihadiri mahasiswa dari Unmul, Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur (UMKT), Politeknik Negeri Samarinda, Universitas Borneo Tarakan, dan Universitas Negeri Yogyakarta secara hybrid.
Ketua Panitia Bachtiar Adi Nugroho Espe menjelaskan, seminar ini diadakan atas keinginan untuk meringankan beban mental anak muda, khususnya Gen Z. Beban mental tersebut dapat berasal dari keluarga dan pertemanan.
“Jadi untuk meringankan dan membantu Gen Z merasa baik-baik saja,” ungkapnya pada Rabu (23/10).
Bachtiar menambahkan, beban mental yang dihadapi berupa ekspektasi yang dituangkan melalui pertanyaan-pertanyaan mengenai tujuan hidup seperti pekerjaan, nikah, dan lulus kuliah.
“Apalagi Gen Z sudah masuk di umur 20 tahun-an, yang laki-laki ditanya kamu sudah kerja kah? Yang perempuan enggak nikah kah? Kok masih belum lulus?”
Pertanyaan-pertanyaan tersebut kerap membebani anak muda di kalangan Gen Z. Selain itu, Bachtiar berharap, dengan lebih memahami soal beban mental membuat anak muda saat ini lebih ramah dalam bermedia sosial.
“Harapan saya untuk Gen Z yang datang, mereka lebih paham mengenai beban mental seseorang, terutama anak Gen Z. Jadi mereka dalam media sosial lebih ramahlah terhadap mereka-mereka yang dalam keadaan tidak baik-baik saja.”
Lebih lanjut, dosen Psikologi Unmul sekaligus pemateri pertama, Agnes Sandra menyebut, paling tidak kita perlu memiliki satu orang teman curahan hati (curhat) agar kita merasa didengarkan orang lain.
Kecenderungan seseorang berekspresi di media sosial dengan membuat kalimat panjang, disebabkan karena tidak adanya teman curhat dalam kehidupan nyata sebagai wadah berekspresi.
“Namun banyak juga di luar sana yang bisa jadi temannya banyak, tapi merasa enggak puas kalau curhat sama temannya. Akhirnya banyak yang bikin status panjang,” ujarnya saat menyampaikan materi pada (23/10).
Terkait bermedia sosial, Agnes menyinggung adanya stigma yang bermunculan, seperti perbedaan isi komentar pada yang dianggap cantik dengan perempuan yang dianggap tidak memenuhi standar kecantikan.
“Kalau komennya bilang haus, haus. Berarti itu cewek cantik banget, tapi kalau ada yang komen. ‘Semangat kak, kamu cantik kok’, Berarti bisa jadi itu kurang cantik dan itu jahat sebenarnya.”
Masih berkaitan dengan topik yang sama, Erick Julian Pratama sebagai pemateri kedua turut menyoroti bagaimana kehidupan Gen Z yang tidak pernah luput dari gawai dan media sosial memiliki dampak terhadap kesehatan mental.
Misalnya ketika seorang pengguna media sosial membuat cerita di akunnya, namun audiens atau yang memberi reaksi kurang, akan membuat pemilik akun tersebut kepikiran bahkan sulit tidur akibat hal tersebut.
“Itu bikin ada gangguan, jadi enggak bisa tidur, pikiran kayak mulai bertanya-tanya ‘kok aku enggak eksis’ gitu,” kata Erick di pemaparan materinya saat itu.
Adapun menyoal pembagian peran juga pemaknaan terhadap gender yang tak lepas dari peranan media sosial turut disebutkan oleh Erick. Tafsir pembagian peran ini kemudian menimbulkan problema tertentu.
Pemberian stigma berdasarkan gender yang kerap terjadi misalnya, di mana ketika seorang laki-laki memilih untuk menari akan dihujami berbagai reaksi negatif. Hal ini sebab stereotip masyarakat terhadap suatu seni menari yang umumnya dilakukan oleh perempuan.
“Misal perempuan yang bekerja di lapangan nih, ‘jangan, biar laki-laki aja’, ya terus kenapa? Kalau dia kena bom, selesai. Enggak ada perbedaan (gender) yang khusus.”
Setelah kedua pemateri tuntas menyampaikan informasi, acara ini kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab sebelum akhirnya resmi ditutup. (mlt/yra/mar)