SKETSA – Secara persentase, anggaran untuk lembaga kemahasiswaan dialokasikan sebesar lima persen dari anggaran yang dimiliki Unmul. Adapun, dana yang diterima tiap Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Unmul variatif, berkisar antara Rp3 juta hingga Rp80 juta-an.
Angka itu mesti diakui unggul jauh jika dibandingkan dengan yang diterima UKM di Universitas Negeri Semarang. Melalui Wakil Rektor (WR) III-nya, diketahui Encik UKM tersebut hanya menerima jatah berkisar Rp5 juta dan paling tinggi Rp7 juta. Tentu ini belum termasuk perhitungan mengenai beda harga dan beda-beda yang lain.
Fakta ini membuat WR III Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Encik Akhmad Syaifudin malu, bahkan agak berang. Adanya pemberian dana di tiap tahunnya kurang lebih sama, namun tidak diimbangi dengan peningkatan prestasi.
“Malu saya. Kalian di sini dapat berapa? Ada yang 10, 28, 40, 50 (juta). Tapi prestasi tidak ada, terus bagaimana? Itu yang harusnya dipahami. Jadi, jangan tanya soal nominal dulu, tapi lihat kerjanya dulu,” kata Encik menekan.
Sadar meresahkan, Encik lantas membuat keputusan bersama para dekan yang melahirkan SOP khusus guna mengatur alokasi dana kemahasiswaan. 50 persen dari dana tersebut wajib digunakan untuk dana prestasi, sementara sisanya dibebaskan untuk program kerja, pendelegasian, maupun kepanitiaan. Bagi Encik, selain minim prestasi, UKM juga masih kurang kreatif menghimpun dana. Terkesan berharap pada anggaran kemahasiswaan semata.
“Yang penting itu bukan nilai, tetapi kemampuan kita untuk berkreasi mencipatkan peluang agar bagaimana tidak tergantung dengan pendanaan, kita yang harus cari. Kreatif,” ujarnya.
Sementara itu, Hanna Pertiwi Menteri Hubungan Luar BEM KM Unmul 2017 tak setuju jika UKM dikatakan tidak kreatif mencari dana. Menurutnya, justifikasi semacam itu tidak dapat menggeneralisasikan bahwa semuanya sama.
Mahasiswi FKIP itu mengaku dalam berbagai kesempatan mengisi agenda kemahasiswaan, ia sering menyampaikan soal sponsorship atau kehumasan. Bahwa memang harus kreatif mencari dana kegiatan. Hal ini pula yang coba dilakukannya dalam setiap organisasi yang dia ikuti untuk menutupi kekurangan dana. Hanna mengibaratkan birokrat sebagai Bapak.
“Pendapatan utama kita memang dari mereka, tapi kita juga cari uang dari luar,” kata Hanna.
Hanna melihat jatah yang diberikan rektorat sering tidak cukup. Justru di situ letak tantangannya, mahasiswa dituntut pintar-pintar memutar uang. Menurut Hanna cara yang digunakan bisa dengan berjualan atau usaha lain sesuai kemahiran.
“Mungkin rektorat harus mengadakan kelas untuk menjadi creative person or creative UKM,” imbuhnya seraya tertawa.
Dalam berbagai kesempatan mengisi agenda itu pula, Hanna kerap mendengar keluhan dari rekan sesama organisasinya. Ada yang baru cair dananya saat penghujung periode dan rupa-rupa keterlambatan pencairan anggaran lainnya.
Sedangkan dalam aktivitasnya mengunjungi sejumlah instansi saat menjalin hubungan kerja sama, Hanna mengaku pernah mendapatkan pertanyaan ‘Kampus enggak kasih uang kah?’ melihat banyaknya tumpukan proposal di meja mereka yang mengatasnamakan organisasi kemahasiswaan Unmul. (aml/erp/pil/wal/adl)