Sumber Gambar: Nessa Witias
SKETSA - Pada 30 Maret 2021, Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik, yang merupakan amanat dari pasal 35 ayat (3) UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Kini, dasar hukum mengenai pemungutan dan royalti menjadi lebih kuat.
Ditetapkannya PP mengenai pengelolaan royalti hak cipta lagu atau musik tentu menuai pro dan kontra dalam masyarakat. Meski sebagian menganggap bahwa PP tersebut akan membawa angin baru. Seperti pernyataan Anang Hermansyah, Selasa (13/4) sebagai Ketua Harian Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia yang dilansir dari kontan.co.id, PP tersebut akan memberikan dampak baik pada industri musik di Indonesia. Terlebih ketika melihat adanya keinginan pemerintah untuk memahami teknologi digital agar menciptakan suatu sistem yang lebih transparan.
“Karena kebutuhannya sudah cukup mendesak untuk penarikan royalti ini. Hal ini juga menjadi sistem yang akuntabel dan menunjukkan adanya concern terhadap penegakan hak cipta di Indonesia,” ujarnya pada laman kontan.co.id.
Akan tetapi, Roy Nicholas Mandey yang merupakan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) berharap agar aturan yang ditetapkan dalam PP itu ditangguhkan dulu pelaksanaannya selama pandemi Covid-19. Dilansir dari Asumsi.com, Roy menyatakan adanya kewajiban membayar royalti ini akan memberikan beban biaya tambahan dan akan memberatkan pengusaha ritel. Sebagai tambahan, Roy menganggap bahwa aturan ini tidak mendesak untuk diterapkan.
Kebijakan dari implementasi mengenai PP ini dijelaskan oleh akademisi Unmul, Zulvia Makka, dosen Fakultas Hukum (FH) Unmul pada Selasa (13/4) lalu. Ia menjelaskan bahwa PP Nomor 56 Tahun 2021 tentang pengelolaan royalti dan hak cipta lagu/musik adalah sesuatu yang baru dan dianggap dapat memberikan kepastian hukum terhadap pencipta lagu, pemegang hak cipta, penyanyi atau hak serupa sebagai manfaat ekonomi dari keuntungan yang didapatkan atas lagu yang dikomersilkan oleh orang lain.
“Dikatakan dalam Pasal 3 yang melakukan penggunaan secara komersil lagu atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersil harus membayar royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta, pemilik hak terkait melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional.
Apa lembaga ini? Lembaga ini adalah lembaga yang memiliki kewenangan untuk menarik menghimpun dan mendistribusikan royalti serta pengelolaan kepentingan mengenai keuntungan pencipta maupun hak terkait dalam bidang lagu dan musik," paparnya.
Kemudian, royalti bersifat komersil apabila lagu tersebut diperdengarkan pada saat seminar, konferensi, restoran, kafe, pub, diskotik, klub, konser, kapal laut, pesawat, bus, dalam pameran atau pasar. Lagu yang disiarkan tersebut akan diberikan royalti. Selain itu, pada saat di bioskop wajib memberikan royalti. Bank, pusat rekreasi, hotel, pertokoan sampai radio. Hal tersebut menjadi bentuk penambahan layanan publik yang bersifat komersil.
Sejalan dengan pendapat yang diberikan Zulvia, Febri Noor Hediati, dosen FH pada Selasa (13/4) lalu menyatakan bahwa PP tersebut akan memberikan keuntungan kepada pencipta lagu atau musik. Juga memberikan perlindungan hukum serta mengoptimalisasikan royalti yang didapatkan pencipta terkait dengan pamanfaatan ciptaan serta produk hak yang berkaitan dengan bidang lagu atau musik, sehingga ia cenderung mendukung diterapkannya PP tersebut.
Meskipun demikian, ia melanjutkan bahwa membutuhkan waktu yang lama dalam memberikan sosialisasi terkait dengan PP tersebut agar sampai kepada seluruh lapisan masyarakat.
“Setelah disosialisasikan butuh kesadaran dan kejujuran dari masyarakat mengenai penggunaan lagu atau musik,” ucap Febri.
Salah satu pemilik kafe di Samarinda, Nova, menjelaskan bahwa hingga saat ini ia belum mendapatkan sosisalisasi terkait dengan PP Nomor 56 Tahun 2021. Meskipun demikian, ia mengaku bahwa kafe miliknya sering kali memutar musik guna menghibur pengunjung. Sehingga bagi Nova adanya kebijakan terkait dengan pengelolaan royalti dan hak cipta lagu atau musik merupakan sesuatu yang membebani usahanya.
“Harapanya bisa diperjelas lagi mana yang termasuk pembayaran royalti dan mana yang bebas royalti. Misal usaha karaoke kan jualan utamanya memang lagu. Seperti itu pantas untuk membayar royalti, tapi kami kan bukan menjual lagu. Hanya menambah kenyamanan pengunjung menggunakan lagu."
"Kecuali jika lagu itu kami buat live dan di-cover, mungkin bisa dikenakan royalti tanpa terlalu memberatkan tentunya. Kalo hanya memutar ulang di YouTube atau MP3 saran saya sih jangan ditarik royalti,” tutupnya (21/4). (wps/vyl/hdt)