Privilege dalam Penerimaan IISMA Disoroti Warganet, Arif: Bukan Pembenaran untuk Berhenti Berusaha

Privilege dalam Penerimaan IISMA Disoroti Warganet, Arif: Bukan Pembenaran untuk Berhenti Berusaha

Foto: Dokumen Pribadi

SKETSA — Beberapa waktu lalu, Indonesian International Student Mobility Awards (IISMA) sempat menjadi perbincangan hangat oleh warganet Twitter. Sebagian klaim menyebut, program IISMA dinilai kurang inklusif hingga tak memenuhi sistem merit-based. Mahalnya biaya tes kemampuan bahasa Inggris yang menjadi salah satu syarat mendaftar, membuat IISMA dianggap memiliki barrier of entry atau hambatan masuk yang tinggi. 

Beragam opini pun bermunculan, salah satunya datang dari akun Twitter @DripZhouEnlaiMenurutnya, tak sedikit mahasiswa penerima program IISMA yang berasal dari kalangan ber-privilege sehingga mampu mengikuti program pertukaran pelajar serupa dengan biaya pribadi. 

Selain itu, program tersebut dinilai telah lepas dari tujuan awalnya sebagai upaya memfasilitasi dan memberikan kesempatan bagi masyarakat kurang mampu. Cuitan ini lantas menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan.

Sketsa kemudian berbincang dengan Ananda Nazeli Ahsan, alumni Awardee IISMA 2021. Bagi Nanda, asumsi tersebut tak begitu relevan. Sebab, dirinya yang bukan berasal dari keluarga kaya pun berhasil lolos dalam program tersebut. Meski begitu, ia tak membantah adanya beberapa Awardee IISMA yang berasal dari kalangan ber-privilege

Well, nggak bisa dibilang sepenuhnya benar juga kalau anak-anak underprivileged itu enggak bisa lolos IISMA. Kayak yang aku bilang tadi, contohnya itu aku, gitu,” kisah Nanda saat dihubungi pada Selasa (3/1) lalu.

Imbuhnya, IISMA tidak hanya memberikan kesempatan bagi seseorang dengan prestasi akademik yang cemerlang, namun juga orang-orang yang memiliki prestasi non-akademik serta potensi diri masing-masing. 

Asumsi terkait tingginya barrier of entry IISMA pun tak sepenuhnya ia benarkan. Pasalnya, beberapa universitas diketahui telah memberikan sejumlah subsidi kepada mahasiswa yang ingin mendaftar. Seperti halnya Unmul yang selama dua tahun ke belakang konsisten dalam memfasilitasi pelatihan dan tes bahasa Inggris. 

Baca: Enam Mahasiswa Unmul Lolos dalam Program IISMA 2022

“Waktu angkatan aku, ya, kita dikasih tes. Dibayarin, gitu English test-nya. Dari beberapa ratus anak, top 20 itu dibayarin. Alhamdulillah, aku keterima.” 

Nanda turut berpendapat bahwa opini-opini yang beredar di internet muncul lantaran adanya sejumlah Awardee IISMA yang hanya menampilkan hal-hal menyenangkan di media sosial mereka. Keterbatasan media sosial inilah yang kemudian memicu asumsi liar di kalangan warganet.

“Hal-hal begini yang penting buat nunjukin kalau Awardee itu nggak sekadar dibayarin buat liburan dan bersenang-senang,“ tuturnya mantap. 

Selasa (10/1) lalu, Sketsa turut mewawancarai Arif Wicaksa, Dosen Hubungan Internasional FISIP Unmul. Ia menjelaskan bahwa wacana privilege dalam media sosial muncul akibat adanya logical fallacy atau kesalahan dalam berpikir logis. Menurutnya, butuh riset akademis untuk mengkaji lebih lanjut hipotesis terkait privilege

“Karena bahasan serta diskusinya sangat luas. Tidak bisa kita reduksi menjadi hipotesis bahwa tidak ber-privilege maka tidak bakal lulus IISMA,” jelas Arif ketika diwawancarai secara daring melalui WhatsApp.

Terangnya, hipotesis tersebut akan berbahaya bagi masyarakat jika hanya berdasarkan asumsi dan wacana media saja. Terdapat masalah struktural yang berakar dan peran wilayah terkait wacana privilege dan underprivileged

Tak ketinggalan, ia turut berpesan untuk tidak menjadikan  hal tersebut sebagai alasan untuk tidak berjuang. Bagi Arif, permasalahan struktural ini harusnya dapat menjadi motivasi untuk anak daerah yang tidak memiliki privilege agar tetap mandiri dan tidak patah semangat. 

“Yang saya harapkan, jangan sampai istilah underprivileged digunakan sebagai pembenaran untuk menyerah atau pembenaran untuk berhenti berusaha,” pungkasnya. (kya/jla/dre)