Pengajuan Keringanan UKT FPIK Dibatasi, Mahasiswa Diminta Selesaikan Kuliah Tepat Waktu
Sumber Gambar: Alpenia/Sketsa
SKETSA – Desember 2022 lalu, Unmul keluarkan Surat Keputusan (SK) Rektor Nomor 4013/UN17/HK.02.03/2022 terkait Pedoman Pengajuan Penurunan Uang Kuliah Tunggal (UKT) Semester Genap Tahun Akademik 2022/2023. Terkait implementasi kebijakan di tingkat fakultas, sejumlah polemik turut menyertai.
Dilansir melalui unggahan Instagram BEM FPIK Unmul pada Senin (30/1) lalu, keringanan UKT yang didapatkan mahasiswa FPIK tak sesuai dengan yang diajukan. Mulai dari adanya pembatasan pengajuan bagi mahasiswa yang memiliki UKT golongan III ke bawah, hingga mahasiswa yang tidak bisa kembali ajukan keringanan UKT jika di semester sebelumnya telah mendapat penurunan. Selain itu, pengajuan keringanan yang disetujui, mayoritas berada pada nominal Rp500.000 serta pengajuan penurunan kategori 50% juga dianggap belum merata.
Untuk memperoleh informasi lebih lanjut, Sketsa menghubungi Gubernur BEM FPIK 2023, Abdullah Faqih pada Selasa (7/2) lalu melalui pesan teks Whatsapp. Ungkapnya, permasalahan UKT telah menjadi problematika menahun.
“Pengajuan keringanan UKT dipukul rata, (mahasiswa) hanya mendapatkan potongan sebesar Rp500.000 saja,” terangnya.
Tak tinggal diam, langkah audiensi untuk berdiskusi bersama para ketua lembaga kemahasiswaan di Kampus Perikanan pun turut ditempuh BEM FPIK. Agenda tersebut menjadi jalan konsolidasi masalah pengajuan keringanan UKT yang juga dihadiri oleh Wakil Dekan Bidang Umum dan Keuangan FPIK, Muhammad Syahrir pada Jumat (27/1) lalu.
Dari audiensi tersebut, setidaknya terdapat tiga tuntutan yang dilayangkan oleh pihak BEM FPIK. Pertama, menolak pembatasan pengajuan keringanan UKT sebanyak satu kali selama berkuliah. Kedua, menolak adanya pembatasan keringanan kategori golongan III (Rp2.500.000) ke bawah yang sudah tidak bisa diturunkan kembali. Terakhir, penolakan adanya pembatasan kuota pengajuan keringanan UKT.
Melalui tuntutan tersebut, BEM FPIK sekaligus meminta kejelasan terkait persyaratan dokumen pengajuan keringanan UKT serta mendesak birokrat kampus membuat aturan terbaru mengenai regulasi pembayaran kategori lima puluh persen.
Sketsa kemudian menghubungi Arif Rizky, mahasiswa FPIK 2020 yang mengajukan penurunan UKT. Bebernya, keringanan yang ia ajukan ditolak dengan alasan UKT yang didapatkan telah sesuai dan jumlah penurunan yang diajukan berjumlah Rp1.000.000.
Arif pun pernah mengalami penolakan serupa di semester sebelumnya. Namun, dikarenakan masa validasi yang hanya memakan waktu selama kurang lebih tiga hari, ia pun kembali mengajukan penurunan dengan jumlah yang lebih rendah. Yakni dari Rp1.000.000 menjadi Rp500.000, sehingga kemudian pengajuan tersebut dikabulkan.
Menyoal jangka waktu penurunan, Arif mengaku bahwa waktu yang diberikan untuk mengurus berkas di semester genap ini sudah cukup.
“Namun, waktu validasi yang diberikan tidak mencukupi. Karena waktu validasi melewati waktu kita untuk mengurus UKT, sehingga saya tidak bisa mengurus UKT saya apabila pengajuan saya ditolak,” keluhnya saat diwawancarai melalui pesan teks WhatsApp, Selasa (7/2) lalu.
Beralih ke Alvion, mahasiswa FPIK 2020 ini turut alami penolakan saat mengajukan penurunan UKT. Saat diwawancarai pada Rabu (8/2) lalu, dirinya mengaku ini bukan kali pertama mengajukan penurunan UKT. Ia selalu mengajukan penurunan UKT dari golongan IV ke golongan III di tiap semester, tetapi baru kali ini ditolak.
“Iya, pengajuan setiap semester, penolakan baru semester ini. Alasannya karena sudah pernah mendapat penurunan di semester lalu.”
Alvion pun berharap agar ke depannya pihak kampus dapat memberi keringanan kepada mahasiswa yang telah berusaha mengajukan penurunan UKT.
“Apalagi yang memiliki bukti berkas-berkas ekonomi terdampak,” tuturnya.
Di wawancara terpisah, awak Sketsa turut menemui Muhammad Syahrir, Wakil Dekan Bidang Umum dan Keuangan FPIK pada Jumat (10/2) kemarin. Sebutnya, protes dari mahasiswa terjadi lantaran adanya kesalahpahaman terkait regulasi pengajuan keringanan UKT.
Menurutnya, pihak akademik telah memberikan kelonggaran yang cukup. Di mana apabila mengacu pada SK Rektor terbaru, untuk kategori yang mendapat penurunan lima puluh persen adalah mahasiswa yang mengambil minimal atau sama dengan 6 SKS. Namun, di FPIK sendiri terangnya, mahasiswa yang mengambil 8 SKS pun telah bisa mendapatkan keringanan.
“Jadi memang akademik itu agak longgar sedikit, jadi sebenarnya kalau mereka (mahasiswa) pahami dengan baik itu, mereka tidak akan seperti itu,” ujar Syahrir.
Dengan diberikannya kelonggaran tersebut, ia pun menegaskan bahwa aturan perlu diperketat. Tegasnya, pengajuan keringanan UKT haruslah berbasis output. Ihwal tersebut, mahasiswa diharap tak hanya menuntut keringanan, namun juga harus menyelesaikan kuliah dengan tepat waktu jika sudah mengajukan penurunan UKT.
Imbuhnya, kebijakan tersebut bermuara dari arahan Rektor Unmul dalam agenda audiensi yang berlangsung Senin (16/1) lalu. Di mana, pengajuan keringanan UKT kategori lima puluh persen dan seratus persen hanya bisa dilakukan sekali.
Menyoal tuntutan yang menolak adanya pembatasan keringanan bagi kategori UKT dengan nominal Rp2.500.000 yang sebelumnya tidak bisa kembali diturunkan, pihak BEM bersama Wakil Dekan bidang Umum dan Keuangan FPIK juga telah berunding.
Lebih lanjut, Syahrir menerangkan meski besaran penurunan UKT di semester mendatang masih menjadi wewenang kampus, pihaknya akan mempertimbangkan data mahasiswa yang layak menerima keringanan yang telah dihimpun oleh BEM FPIK agar menjadi tepat sasaran.
Setelah adanya audiensi, Syahrir turut membeberkan bahwa polemik mengenai pengajuan keringanan UKT telah usai. Harapnya, di masa mendatang terdapat sinergitas yang dibangun bersama BEM FPIK mengenai penanganan pengajuan keringanan UKT di fakultas tersebut.
“Sudah di-clear-kan, dan ke depan ya mereka (BEM FPIK) sangat diharapkan bisa membantu kami. Karena terus terang kalau dia bantu kami kayak tiga semester kemarin, wah, enak sekali kami,” ujar Syahrir. (tha/fza/ord/ems)