SKETSA – Tudingan pelanggaran Perda Nomor 5 Tahun 2013 oleh Aliansi Kampus dan Warga kepada pihak Masterpiece kini mulai menemui titik terang setelah dua bulan terakhir bergulir.
Bangunan yang berlokasi di Jalan Muhammad Yamin tersebut kembali dibahas secara akademis di Gedung Aula Fakultas Hukum (FH) Unmul pada Rabu (20/12). Diskusi tersebut digagas oleh mahasiswa Konsentrasi Hukum Perdata Kelas A 2014 FH bertajuk “Mencari Solusi Hukum Atas Keberadaan Masterpiece di Jalan Muhammad Yamin Kota Samarinda.”
Sontak, isu ini langsung menarik perhatian ratusan mahasiswa FH. Total 173 lebih peserta hadir, termasuk beberapa dosen.
“Penting bagi segenap mahasiswa FH untuk mendapat informasi agar bisa membuat analisa yang baik dan benar. Harapannya, kita bisa menghasilkan rekomendasi agar tuntas secara aspek hukum,” pesan Dekan FH Mahenda Putra Kurnia dalam kata sambutannya sebelum membuka sesi diskusi.
Setelahnya, diskusi dimulai. Penuturan pihak Masterpiece, Aliansi Kampus dan Warga, serta Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (BPPTSP) kota Samarinda membuat banyak pihak akhirnya mengetahui duduk perkara yang dipermasalahkan.
"Mari kita berdiskusi seperti mengosongkan gelas dan mengisinya dengan hal yang bermanfaat,” kata Ketua Panitia, Rillo Probokusumo.
Suara dari Mereka yang Bersengketa
Mula-mula pihak Masterpiece menyebut pihaknya sudah melakukan perizinan dengan mengisi beragam form rekomendasi beberapa dinas, dan warga setempat.
Masterpiece juga menggelar rapat bersama warga sekitar, dan hasilnya tak ada keberatan. Kemudian urusan berlanjut ke Dinas BPPTSP.
"Tapi setelah bangunan jadi, banyak yang kontra, tapi mereka tidak langsung datang ke kami. Yang saya baca, banyak mahasiswa dan masyarakat yang resah,” terang legal officer Masterpiece Guntur Rahman.
Setelah menuai banyak penolakan secara langsung maupun ujaran di media, Guntur berinisiatif mendatangi Norman Iswahyudi selaku koordinator Aliansi Kampus dan Warga dan Pusdima Unmul.
“Kami ini karaoke keluarga. Tidak ada alkohol, tidak ada live music, tidak ada ladies, tidak ada perjudian. Para RT juga tidak ada yang kontra. Kalau ada silakan ditunjukkan,” tantang Guntur.
Sementara itu, Yuli Fitranto, warga RT 23 dan tergabung dalam aliansi kembali mengeluarkan tudingan pelanggaran Perda Nomor 5 Tahun 2013 yang telah dilakukan Masterpiece.
Lebih spesifik, titik tekan yang paling pihaknya permasalahkan yakni jarak Masterpiece yang harusnya radius 300 meter dari pemukiman, tempat ibadah, sarana pendidikan, dan kantor. Tetapi oleh Masterpiece aturan ini tak diindahkan.
“Karena bicara hukum, kita harus mengkaji situasi yang ada. Perihal jarak inilah yang jadi keresahan dari sebagian masyarakat. Maka akhirnya kami membentuk aliansi,” ucapnya.
Pola gerak aliansi pun lebih memilih langkah-langkah soft, tak pernah demonstrasi. Yuli pun menyatakan tidak serta-merta menolak investasi Masterpiece, tapi menolak hal yang tak sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dari sudut pandang lain, Dinas BPPTSP Kota Samarinda yang diwakili Kepala Bidang (Kabid) Pengawasan dan Pengendalian Ahmad Nawawi menyatakan Masterpiece tidak bermasalah dalam hal perizinan.
“Yang mengikat kalau karaoke keluarga tidak boleh ada minuman beralkohol hingga live music. Jadi selama ini Masterpiece sudah benar, kami persilakan untuk dijalankan,” ucapnya.
Ditambahkan Nawawi, dulu pernah ada kasus serupa. Ada pihak yang ingin membuka tempat karaoke di dekat Masjid Raya, namun karena banyaknya penolakan dari masyarakat sekitar, akhirnya tempat karaoke itu urung beroperasi.
Tanggapan, Bias, dan Tidak Percaya
Setelah semua pihak yang terlibat selesai bicara, peserta diskusi diberikan waktu menanggapi. Febri, salah satu peserta memberi pandangan. Dia mengkritisi tidak hadirnya Norman Iswahyudi sebagai salah satu pemateri, padahal posisinya sebagai koordinator aliansi. Febri juga mengkritisi beberapa statement Norman yang seolah-olah memprovokasi keadaan.
Dia juga memandang Masterpiece sudah melakukan langkah benar dengan rapat bersama warga sekitar dan meminta rekomendasi sebelum membangun. Febri juga tak keberatan Masterpice berdiri di lokasi sekarang, karena fungsinya karaoke keluarga.
“Dalam Permen juga dijelaskan. Bila seiring berjalan waktu, Masterpiece menyediakan ladies, miras, sudah ada yang mengatur dicabut izinnya. Jadi kita tidak perlu mempermasalahkannya,” ujarnya.
Tanggapan lain datang dari Aditya Ferry Noor yang memandang banyak izin bangunan tempat hiburan di Samarinda tak sesuai Perda. Mahasiswa FEB itu khawatir permasalahan tersebut menjadi stigma buruk di masyarakat.
Ia pun mengungkapkan sempat mendengar statemen dari sekretaris kota yang akan meninjau ulang perihal izin tempat hiburan di Samarinda. “Sekretaris kota mengatakan ke depan akan dilakukan moratorium,” ungkapnya.
Isu moratorium dari sekretaris kota itu rupanya tidak dipercayai utuh pihak BPPTSP: Ahmad Nawawi. Diakuinya, dulu pernah ada rapat menyeluruh dengan semua SKPD se-Samarinda dan walikota menyampaikan sebuah moratorium.
"Tapi walikota sempat ngomong ini terakhir kita tidak akan mengeluarkan moratorium izin lagi,” lanjutnya.
Perihal jarak Masterpiece yang menurut aliansi tak sesuai perda, Nawawi membantah. Kendati begitu, ia mengakui kesalahan pihaknya dalam pengukuran lokasi Masterpiece dengan Masjid Babussalam dan kantor BPK yang jaraknya memang di bawah radius 300 meter.
“Jadi kita ini manusia, Pak, kadang-kadang bisa khilaf,” kata Nawawi.
Nawawi lantas menawarkan pencerahan. “Kuncinya di pasal 9 ayat 4. Kalau memang benar nantinya melanggar, kita kasih waktu 5 tahun. Saya balik tanya ke Masterpiece, Anda siap berapa tahun? Kalau sanggup 5 tahun, silakan pindah di zona yang lebih aman. Kan begitu,” tambahnya.
Waktu diskusi yang semakin mendekati akhir membuat moderator bersiap menutup rangkaian diskusi. Namun tepat sebelum ditutup, pihak Masterpiece memotong.
“Mohon maaf sebentar, ini kan diskusi terbuka untuk mencari solusi. Apakah kita harus mengevaluasi Perda Nomor 5 Tahun 2013, atau Pemkot Samarinda harus membuat zona untuk penempatan karaoke keluarga itu?” keluh Guntur yang merasa diskusi tampak bias dan belum ada adanya solusi konkret.
Diskusi tak juga membuahkan titik temu. Akademisi FH Warkhatun Najidah akhirnya buka suara menawarkan ide sebagai solusi secara hukum bagi Masterpiece.
“Kita cari dulu kesalahannya di mana. Yang dilanggar itu apa, uji administrasi atau uji pokok, bisa direvisi. Insyaallah untuk Samarinda lebih baik, dosen-dosen mau untuk berpikir bersama,” gagasnya.
Tak lama kemudian, semua pihak sepakat dan diskusi berakhir. Walhasil, pertemuan tersebut belum melahirkan solusi apa-apa atas prahara Masterpiece. Saat ini semua pihak masih bekerja, sembari menunggu hasil kajian para akademisi FH tersebut. (dan/erp/aml)