SKETSA – Sejatinya sistem online jadi jawaban atas minimnya partisipasi mahasiswa dalam pemilihan presiden dan wakil presiden BEM KM Unmul. Sistem ini diketahui memudahkan mahasiswa untuk memilih di mana saja dan kapan saja sesuai waktu yang sudah ditentukan. Bahkan, sistem ini mampu menghemat lebih banyak anggaran Pemira daripada sistem konvensional. Tragis, tahun ini hasilnya mengecewakan, turun drastis dari Pemira online sebelumnya.
Kepada Sketsa, Presiden BEM KM Unmul Teguh Satria mengatakan, meski turun dan jauh dari target penyelenggara Pemira online tahun ini hasilnya cukup merata. Tren di tiap fakultas mengalami kenaikan. Walaupun, ada penurunan drastis di FKIP dan FEB yang biasanya jadi lumbung suara Pemira.
“Wajar saja menurun drastis. Pertama karena memang penerimaan mahasiswa Unmul tiap tahun menurun, ditambah arus propaganda untuk golput (golongan putih) cukup gencar. Jadi 3.733 itu cukup realistis dan sama saja dengan tren hasil Pemira sebelumnya,” papar Teguh, kemarin (26/7).
Akan tetapi, mahasiswa semester akhir di FEB itu mengakui, kedua pasangan calon yang bertarung pada Pemira tahun ini memang tidak memiliki ketokohan yang cukup dikenal oleh mahasiswa Unmul. Berbeda dengan Pemira sebelumnya yang diikuti oleh calon-calon presiden dan wakil presiden yang sudah lebih dulu dikenal, bahkan memiliki basis pendukung kuat di tiap simbul mahasiswa.
Terkait angka golput yang membengkak dan menampar penyelenggara Pemira, menurutnya tak perlu dipermasalahkan. Hal itu merupakan bagian dari aspirasi mahasiswa. Sah dalam sistem berdemokrasi. Pasalnya, persoalan golput bukan hanya terjadi di Pemira Unmul, melainkan hampir terjadi di semua pesta demokrasi se-Indonesia. Bahkan, Pilkada serentak 2015 lalu, angka golput mendekati 50 persen.
Dikatakannya, fenomena golput di Pemira Unmul tahun ini bermuara pada tiga masalah. Pertama, ketidakpahaman mahasiswa terhadap fungsi dan peran BEM KM Unmul. Kedua, keterpaksaan karena unsur ketiadaan fasilitasi di sebagian kampus, serta penolakan lembaga yang sangat kuat atas gelaran Pemira dengan sistem online. Terakhir, Perlawanan dalam bentuk propaganda golput sebagai bentuk perlawanan politik mahasiswa yang tidak sepakat dengan kedua calon yang berkompetisi.
“Masalah pertama masih bisa diatasi. Kalau masalah kedua dan tiga sangat bergantung sikap politik lembaga yang bersangkutan,” ujar dia.
Selain itu, pria yang pernah menjabat sebagai ketua BEM FEB Unmul 2014 itu menyatakan, sejak awal minimnya partisipasi mahasiswa dalam Pemira 2016 sudah diprediksi. Tapi dengan total suara yang masuk, tren pemilih dia anggap masih sesuai jalur.
“Banyak faktor, seperti kreativitas kampanye, pola sosialisasi, hingga ketidakpahaman tentang pentingnya peran BEM KM Unmul,” sebutnya.
Namun, ia menolak jika muncul opsi Pemira online dihapuskan. Karena tidak ada jaminan jika kembali ke sistem konvensional partisipasi mahasiswa bakal bertambah. Buktinya, pada Pemira konvensional terakhir pada 2013 lalu, partisipasi hanya mencapai sekira 2.000 suara. Bahkan, diwarnai aksi kekerasan dari mahasiswa yang menolak Pemira.
“Online atau konvensional itu hanya faktor teknis. Bukan masalah mendasar. Lagi pula penentuannya (online, Red.) sudah melewati tahapan musyawarah di internal DPM KM Unmul,” pungkasnya.
Sebagai informasi, sejak kemarin hingga hari ini merupakan tahapan pengajuan keberatan atas hasil Pemira online. Adapun Jumat (28/10), merupakan penetapan hasil Pemira. Jika tak ada masalah berarti, DPM KM Unmul beserta KPPR bakal menetapkan Norman-Bhakti sebagai pemenang Pemira 2016. (bru/im)